Kamis, 20 Oktober 2011

Cattan ku tentang album Pop Jawa Nomo Koeswoyo






“ Ngene Gus, wong urip nang alam donya kuwi mung ngrampungake lelakone nang alam donya…mulo yen biso mbok iyo nganggo ati nurani …”

Kalimat di atas merupakan sebuah kata-kata pembuka yang disampaikan oleh Nomo Koeswoyo pada lagu yang berjudul “ Kahanan”. Sebagaimana umumnya lagu-lagu pop Jawa, kata-kata celetukan atau umumnya disebut senggakan seringkali menjadi pelengkap yang unik pada lagu yang dinyanyikan. Demikian juga pada lagu ini, pada bagian pembuka, tengah maupun penutup celetukan dari sang penyanyi mampu menjadi penguat isi lagu.

Kahanan merupakan salah satu lagu yang ada pada album baru Nomo Koeswoyo dengan irama Pop Jawa. Sudah lama kita menantikan pemain drum Koes Besaudara ini menghasilkan karya baru, tanpa kita duga ternyata tahun 2011 beliau meluncurkan album dalam kemasan cd ini. Sebagaimana biasanya karya khas Nomo Koeswoyo, kita bisa melihat berbagai rasa dalam lagu-lagu karya beliau. Pitutur yang disampaikan dengan bahasa yang jenaka seakan sudah menjadi ciri khas maestro musik yang saat ini menetap di Magelang itu.

Kahanan merupakan sebuah pitutur untuk kita hidup berhati-hati dalam dunia yang makin sulit ini. Penyajian yang santai pada lagu ini membuat seseorang tidak merasa digurui oleh sang penyanyi. Bahkan seakan-akan Nomo sedang akrab berbincang kepada seseorang yang disebutnya dengan kata “ Gus…”. Gus merupakan sebuah panggilan untuk laki-laki di suku Jawa. Lagu kedua pada album ini masih juga bersifat nasehat yang diberi judul Piweling. Nomo seakan mengajak kita untuk terus bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan tidak melupakan kata-kata bijak dari pendahulu kita sebagai penuntun langkah kehidupan.

Sebuah lagu dengan kata-kata agung dan penuh makna yang tinggi terdapat pada track ketiga yang berjudul “ Kembang Jagung”. Bila dibandingkan dengan sebagian besar lagu-lagu lain, lagu ini memuat kata-kata dalam bahasa Jawa yang tidak populer. Perumpamaan yang dipakai pun mengandung makna yang tinggi. Coba kita simak syair berikut :
“ kembang – kembang jagung
omah gedong pinggir lurung,
Jejer-jejer telu sing tengah dadi omahku
Cempo munggah guwo
banjur medun kebon rojo
Metik kembang soka, dicaoske Kanjeng Romo”

Konon syair ini sudah dikenal di kalangan masyarakat Jawa pada periode tahun 1940an. Merupakan syair yang agung dan memiliki makna yang tinggi. Sebuah ungkapan syukur dari seorang manusia kepada Tuhan Yang Maha Agung. Bahkan dikatakan “ jejer jejer telu sing tengah dadi omahku” yang maksudnya adalah manusia terdiri dari tiga bagian, yang kita huni adalah yang sisi tengah terdiri dari nafsu, pikiran dan kemauan. Demikian seperti diungkapkan oleh Goesmanto, orang dekat Nomo Koeswoyo.

Sekilas tentang proses pembuatan lagu Kembang Jagung ini, berawal dari Goesmanto yang mempunyai aransemen musik yang menurutnya bagus lalu diserahkan pada Nomo supaya diisi dengan lirik untuk menjadi sebuah lagu yang bagus. Nomo lalu teringat tentang syair kuno bahasa Jawa seperti yang tertulis di atas. Namun sayang sekali, ada beberapa bagian pokok yang beliau lupa. Demi menuntaskan rasa penasarannya, John sang kakak ditelpon untuk membantu mengingatkan syair sacral tersebut. John pun segera memenuhi dengan mengirim syair lagu melalui sms.

Namun bila kita jeli, sebenarnya Nomo sendiri pernah merekam syair serupa pada album No Koes Pop Jawa Melayu “ Nagih Janji ” tahun 1975 dengan judul “ Omah Kampung “. Hanya saja pada album No Koes, dibawakan dengan tempo cepat. Hal lain yang membedakan, pada album No Koes terjadi perbedaan kiasan. Pada Pop Jawa Melayu vol 2 itu kiasan yang dipakai adalah “ kembang kangkung” tapi pada album ini digunakan kata “kembang jagung”. Bahkan kata “ omah gedong “ pada lagu ini sebelumnya direkam dengan kata “ omah kampung “. Seharusnya Nomo lebih teliti dalam menggunakan kutipan syair supaya tidak terkesan terjadi pengulangan namun malah meleset dari aslinya.

Lagu – lagu lain dinyanyikan dengan bahasa yang sederhana namun sarat dengan kritik sosial. Nomo pada album ini banyak menyoroti kondisi bangsa dan negara yang makin merosot karena maraknya kasus korupsi. Setidaknya tujuh lagu memuat kritik sosial tentang korupsi yaitu : Enda Endo, Pamong, Aji Mumpung, Sego Kucing, Jondal Jondil, Semut Ireng dan Eling. Bukan hanya langsung berani mengungkapkan kekesalan tentang korupsi namun juga rasa gemasnya pada para pemimpin yang Cuma bisa janji tapi tidak bisa menepati.

Bukan Nomo Koeswoyo kalau tidak berhasil mengangkat kehidupan sosial “ masyarakat ekonomi bawah” melalui lagu-lagu Jawa ciptaannya. Kita tentu ingat di kala No Koes lagu-lagu macam Ronda Malam, Gal Ugalan, Sariman, dan Pring Tutul merupakan lagu yang khas dengan masyarakat ekonomi bawah. Pada album ini masyarakat pinggiran disapa melaui lagu Panguripan dan Sego Kucing. Bumi yang semakin tua dengan ancaman kepunahan alam disinggung Nomo melalui lagu Jaman Edan. Kerinduan untuk berkumpul kembali dengan saudara-saudaranya diungkapkan secara lugas melalui lagu yang berjudul Katresnanku. Semua tema lagu seakan bisa dirangkum menjadi satu album yang komplit. Itulah kelebihan Nomo dalam mengemas sebuah karya.

Beberapa catatan yang bisa diberikan oleh penulis terhadap album ini yaitu supaya Nomo tidak terlalu sering mengulang lagu yang direkam dalam album sebelumnya dengan hanya mengganti judul. Sebagai contoh, pada album No Koes Jawa tahun 1983 sebuah lagu Surya Kencana direkam ulang pada album Koes Bersaudara Pop Jawa 1987 dengan judul “ Kodok Numpak Jaran”. Demikian juga pada album ini terdapat lagu Aji Mumpung yang sebelumnya pada tahun 1983 direkam dengan judul Semprul. Mungkin bagi masyarakat yang tidak mengikuti secara teliti perjalanan album beliau akan merasa semua lagu karya beliau adalah baru, namun bagi yang mengikuti karya beliau akan merasa bahwa seakan terjadi krisis ide walaupun lagu yang disajikan masih memiliki tema yang relevan.

Hal berikutnya adalah bahwa pada album ini musik secara keseluruhan diisi dengan sarana musik program keyboard atau elektone yang dimainkan oleh Goesmanto, mantan personel Dedelan Group yang saat ini aktif membantu Nomo Koeswoyo. Padahal dalam cover belakang tertulis musisi yang terlibat secara band. Walaupun ternyata diketahui bahwa band yang dimaksud adalah untuk pengiring Nomo Koeswoyo kala tampil live show. Goesmanto dalam album ini mampu bermain secara maksimal terutama ketika bagian interlude seakan mampu mencuri perhatian. Mengingatkan kita pada sosok Tonny Koeswoyo ataupun Pompy pada masa-masa lalu. Namun alangkah baiknya bila musik yang disajikan seharusnya juga bersifat band supaya terdengar lebih alami.

Bila kita simak mulai album Koes Bersaudara Kidung Nusantoro, Pop Jawa 2009, Jawa Tengah Bangkit hingga solo album Pop Jawa ini tampak sekali Nomo lebih nyaman menggunakan musik secara midi dari pada band. Dalam hal rekaman, proses ini tentu lebih mudah karena tidak membutuhkan waktu yang lama. Namun akan menemui kesulitan tersendiri ketika harus tampil secara live show. Pemain band harus menyesuaikan diri dengan permainan musik yang sudah jadi dalam rekaman.

Namun ada satu nilai lebih pada kemasan album ini dibandingkan dengan album baru Koes Plus maupun Yok Koeswoyo, solo album Pop Jawa Nomo Koeswoyo dikemas menggunakan hard cover yang menarik. Hal ini disebabkan distribusi album ini dibantu oleh Bravo Musik, perusahaan rekaman besar yang banyak bergerak dalam bidang rekaman musisi-musisi lama.

Pada akhirnya, album Pop Jawa Nomo Koeswoyo ini bagaimana pun penilaian kita mudah-mudahan dapat berkenan di hati masyarakat penggemar musik Koes Bersaudara, Koes Plus maupun No Koes. Catatan ini tentu tidak akan mempengaruhi baik atau buruk album ini, hanya merupakan sebuah bentuk apresiasi dari seorang penggemar yang selalu merindukan karya-karya terbaik dari Koes Bersaudara maupun Koes Plus.
( Okky T. Rahardjo – ketua JN Surabaya, 085645705091 )