Rabu, 29 Mei 2013

Murry dan Dendang Untuk Kota Surabaya


            Kota Surabaya sangat beruntung memiliki pernah melahirkan seorang pemain drum berbakat yang legendaris. Namanya adalah Kasmuri atau yang biasa dikenal dengan nama Murry. Kalau nama ini sudah disebut, pasti kita akan langsung mengarahkan ingatan pada grup musik Koes Plus. Benar, Murry adalah salah seorang personel Koes Plus yang dilahirkan di Surabaya pada 18 Juni 1949.

            Pria kelahiran jl. Keraton ini memang terlihat bakat bermain musiknya sejak usia sekolah menengah pertama. Saat masih menempuh pendidikan di SMP Muhamadiyah, Murry di bawah asuhan guru keseniannya yaitu bpk Sayuti, membentuk band bocah untuk mewadahi bakat seninya yang sudah mulai muncul. Dalam beberapa kali kesempatan, Murry sering unjuk kebolehan dengan beraktraksi bermain drum dengan mata tertutup. Pendek kata, saat itu Murry merupakan salah seorang pemain drum yang patut diperhitungkan di kota Surabaya.

            Pada tahun 1968, Murry bergabung bersama Tonny Koeswoyo dan Yon Koeswoyo untuk membentuk sebuah grup musik Koes Plus, sebagai pengganti Koes Bersaudara. Bersama pemain bass yang juga kelahiran kota Surabaya yaitu Toto AR, mereka melahirkan rekaman perdana yang bertajuk Dheg-Dheg Plas. Di kemudian hari, album ini sering disebut sebagai album Koes Plus volume 1.

            Murry sebagai musisi termasuk seorang yang terbuka. Karya-karyanya tidak hanya dinyanyikan oleh personel Koes Plus, namun juga dibawakan oleh artis lain. Edy Silitonga, Titiek Sandhora, Amy Belinda,  Yayuk Suseno dan Nia Zulkarnaen termasuk yang pernah meraih sukses berkat polesan tangan dingin beliau. Pada tahun 1977, Murry sempat memisahkan diri dari Koes Plus membentuk Murry’s Group bersama personel Yeah-Yeah Boys, grup band yang juga berasal dari kota Surabaya.

            Murry ditemani Pius, Uki dan Hari berhasil melahirkan sejumlah hits yang cukup mewarnai dunia musik Indonesia masa itu. Murry’s Group menelorkan lagu-lagu berirama rock ‘n roll macam Papiku Mamiku, Besi Tua dan Palapa. Bahkan sebuah lagu yang cukup menyayat hati sebagai tanda  perpisahan yaitu Selamat Tinggal Saudaraku sempat popular di radio-radio masa itu. 

            Sebagai musisi kelahiran kota Surabaya, Murry juga memiliki kepedulian dengan kampung halamannya melalui beberapa lagu yang diciptakannya. Pop Jawa merupakan sarana Murry untuk berekspresi dengan gaya suroboyoan. Bila dalam album jawa Koes Plus lagu yang beliau hasilkan terkesan hati-hati menggunakan bahasa yang halus, saat bersama Murrys group gaya Suroboyoannya terasa kental diucapkan.

            Simak saja syair lagu berikut :
“Bulane padhange koyo rino,
yo’ konco rame-rame suko-suko
 Yo’ podho ndeleng ludruk suroboyo…” 

Pada lagu yang berjudul jula-juli suroboyo itu Murry memasukkan kidungan suroboyo yang dimainkan oleh seorang pemain tambahan. Lagu ini mengingatkan akan kesenian asli masyarakat Surabaya yaitu ludruk. Murry benar-benar memainkan dirinya sebagai sosok seniman yang tidak lupa akan asalnya. Kacang tidak akan meninggalkan kulitnya. Beberapa lagu lain yang dinyanyikan oleh Murrys group juga menunjukkan bahwa mereka solid sebagai seniman asal Surabaya walaupun eksis di ibu kota. Hal ini bisa dibuktikan ketika kita mendengarkan Konco Becaan, Jo Bowo Jo Miling, Eh Ya Ya Oh dan Jok Rerasan.

Saat ini menjelang usia kota Surabaya ke-720, kita merindukan sosok seperti Murry yang berani menunjukkan ciri khas lokal walaupun sudah melangkah sukses di ibu kota Jakarta. Murry adalah sosok seniman yang membanggakan kota Surabaya dengan sosoknya yang sederhana itu. 

Pengagum Fuad Hasan dan Ringo Star yang besar di jl. Genteng Butulan itu kini tetap berusaha eksis sebagai musisi walaupun usianya sudah tidak mudah lagi. Sosok semangatnya yang merupakan jiwa Surabaya itu menjadi cermin bagi musisi generasi selanjutnya.

Suwun Cak Murry, tetap sehat dan terus berkarya.

( Okky T. Rahardjo, penggemar Murry dari Surabaya-085645705091 )
           

Minggu, 26 Mei 2013

The Gembell's dan Dendang Untuk Kota Surabaya


                



 Penggemar musik kota Surabaya tentu tidak asing dengan sebuah nama yaitu The Gembell’s. Band yang beraliran Afro-funk ini memang tumbuh dan berkembang di kota Pahlawan. Band yang sebagian besar personelnya merupakan mahasiswa Universitas Airlangga ini berdiri pada tahun 1969. Terdiri dari Minto (drum), Abu (bass), Anas Zaman (keyboard), Rudy (gitar) dan Victor Nasution (vokal & gitar).

                The Gembell’s sendiri merupakan akronim dari kata Gemar Belajar. Cukup unik memang, namun nama ini menjadi familiar di telinga anak-anak muda masa itu. The Gembell’s tampaknya mencoba menyajikan sesuatu yang lain dari pada band-band lain yang saat itu mulai bermunculan. Mereka tidak hanya menyanyikan lagu-lagu cinta komersil yang memang saat itu laris. Namun masyarakat mengenal The Gembell’s sebagai band yang kritis terhadap perkembangan kota Surabaya. 

                Berbagai lagu yang mereka sajikan sebagai hits, sebenarnya merupakan bentuk kekaguman sekaligus kritikan terhadap laju perkembangan kota Surabaya yang saat itu mulai beranjak maju. Semua tentu mengenal karya fenomenal mereka yaitu Ballada Kalimas. Ketika kita mendengarkan baris demi baris lagu ini, spontan kita akan mengingat tentang heroiknya kota Surabaya yang sampai hari ini masih kita rasakan.

                “ Dahulu kala, sura dan buaya bertarung berperang memilikimu..
                  Pernah kau tampung darah pahlawan,
                  Memerah jembatan, memerah pula airmu….
                  Kalimas, kalimas, kalimas….
                                Wahai mengapa, mengapa kau tetap membisu..
                                Kau menjadi saksi dalam perang dan damai….
                                Insan sekitarmu….”

                Jujur, sampai hari ini ketika orang membicarakan sungai kalimas, ingatan kita pasti akan melayang pada lagu Ballada Kalimas ini. Hal itu pula yang membuat Radio Suzana mengadakan karaoke lagu “Ballada Kalimas” pada tahun 1995. Saat itu pemerintah kotamadya Surabaya sedang mengadakan program bersih-bersih kalimas. Bahkan personel asli The Gembell’s juga dihadirkan untuk memeriahkan acara tersebut.

                Cover album perdana The Gembell’s juga sarat dengan nuansa kota Surabaya karena mengambil pose di depan Taman Makam Pahlawan yang terletak di jl. Kusuma Bangsa. Saat itu mereka membuat sebuah lagu yang sangat kritis yaitu Pahlawan Yang Dilupakan. Ketika Rumah Sakit Simpang masih berdiri dengan megah di jl. Pemuda, sekelompok anak-anak band ini juga prihatin terhadap perlakuan beberapa oknum dokter kepada pasien yang berobat di tempat itu. Mereka melihat sebagian pasien kurang diperhatikan dengan baik. Bahkan terkesan ada diskriminasi terhadap pasien kurang mampu yang rata-rata merupakan korban kecelakaan kendaraan bermotor. Hasilnya, Victor Nasution pun dipanggil oleh perkumpulan dokter untuk menjelaskan maksud dari lagu yang dinyanyikan.

                Pengalaman pahit melalui lagu pernah mereka alami juga ketika mendendangkan lagu Peristiwa Kaki Lima yang menyoroti aparat pamong praja membongkar lapak-lapak pedagang tanpa memperhitungkan belas kasihan. Hati mereka sebagai seniman tentu menjerit terhadap hal ini. Tidak bisa hal lain yang dilakukan kecuali bersenandung dalam lagu. Walaupun sebagai konsekuensi mereka sempat dicekal oleh pemerintah daerah waktu itu.

                Bagaimana mereka memandang pejabat yang bermuka dua ? Simak saja lagu yang berjudul Si Munafik yang mengisahkan seorang pejabat yang di rumah terlihat alim luar biasa, namun di luar malah mengunjungi tempat-tempat hiburan malam. Begitulah gaya The Gembell’s dalam menyoroti laju pembangunan di kota Surabaya yang makin tak terkendali, mengikuti gerak menuju kota metropolis.

                The Gembell’s berkibar meraih sukses ketika rekaman di bawah label Indra Record’s. namun sebagaimana sebagian musisi yang lain, mereka pun tergoda untuk hijrah ke ibu kota. Band yang selama di Surabaya bermukim di jl. Sulawesi ini selanjutnya merekam lagu-lagu mereka di Remaco. Mereka sempat juga menghasilkan album pop melayu, yang harus diakui langkah ini secara perlahan menyurutkan kebesaran nama mereka di dunia musik.

                Saat ini di tengah kota Surabaya menjelang berusia 720 tahun, kita merindukan grup musik sebagaimana The Gembell’s. kita merindukan lagu-lagu macam mereka yang mampu membangkitkan semangat kepahlawanan, membuka wawasan tentang kota Surabaya sekaligus memberikan kritik sebagai tanda cinta untuk kota kelahiran kita ini.

                Demikian yang dapat saya sajikan mengenai sebuah band yang lahir dari kota Surabaya kali ini. Mohon maaf atas setiap kesalahan dalam rangkaian kata dan tulisan. 

                Maju terus seniman kota Surabaya !

                Okky T. Rahardjo ( Penggemar The Gembell’s dari kota Surabaya—085645705091 )


Kamis, 23 Mei 2013

Usman Bersaudara dan Dendang Untuk Kota Surabaya










“Suroboyo, rame tenan..Rame tenan kahanane, mobil becak, lan bis kota, tukang becak ora ketinggalan..” Sebaris kalimat di atas merupakan penggalan dari syair lagu yang pernah disuarakan oleh sebuah grup musik yang terdiri dari empat orang bersaudara. Kali Ini kita akan melihat sejenak sosok sebuah grup band yang lahir dari kota Surabaya yaitu Usman Bersaudara. Keempat personel grup ini terdiri dari Usman, Said, Sofyan dan Mamo Agil. Mereka adalah salah satu contoh figur  keberhasilan perjuangan seorang yang berangkat dari daerah menuju ibu kota, dengan segala keterbatasan modal serta fasilitas.

Usman Bersaudara mengeluarkan album rekaman mereka pertama kali pada tahun 1976 dengan tajuk “Omong Kosong”. Album ini direkam di bawah label Indah Records dengan hits Kasih Mama. Uniknya grup ini terletak pada vokalisnya yaitu Sofyan yang memainkan alat music drum. Tidak seperti umumnya grup lain yang vokalisnya adalah pemain gitar atau keyboard.

Usman Bersaudara menunjukkan jati diri sebagai grup musik yang serius tapi santai. Sebagian lagunya bernuansa jenaka walaupun sebagian yang lain tetap merupakan pop Indonesia yang serius. Grup bersaudara ini lahir dari kota Surabaya, karena itu dalam beberapa lagunya mereka berusaha menampilkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kampung halaman mereka itu dalam lagu-lagu yang mereka hasilkan.

Kita dapat melihat nuansa kota Surabaya melalui lagu-lagu jawa yang direkam oleh Usman Bersaudara. Guyonan, parikan, senggakan dan istilah yang sering diucapkan oleh anak-anak muda khas Surabaya pada masa itu dilagukan dengan baik oleh keempat bersaudara yang tumbuh di jl. Ngagel Mulyo itu. Simak saja pop jawa vol. 1 yang memuat lagu Jaran Teji, Teng Tengan Ciluk, Kulo Nuwun dan Markeso yang sangat khas Suroboyo banget. 

Pada album kedua pop jawa mereka juga masih menampilkan Surabaya dalam lagu “Motor Mogok” yang sebagian baris lagunya tertulis di atas. Lebih mengena lagi dalam album kelima yang berjudul Ngombe, Usman Bersaudara menggambarkan kebiasaan beberapa anak muda yang suka “minum” dengan menyelipkan guyonan khas. Saat itu digambarkan Usman sedang sakit perut karena banyak “minum”, bahkan Sofyan mengingatkan kalau ngombe, ojo lali tambule…khas Suroboyoan.

Pada tahun 1983, karena lama meninggalkan kota Surabaya, Usman bersenandung melalui lagu dangdut berbahasa Jawa judulnya Hallo Surabaya. Lagu ini terdengar cukup mengharukan dengan untaian kalimat yang mampu mendeskripsikan kerinduan seseorang pada kampung halamannya. Berikut sebagian cuplikan syair lagunya.

“ Halo Cak..Halo Cak..Suroboyo, yo’opo kabare..mergo wis suwe aku ‘ra tau mulih..
Halo Cak..Halo Cak, Suroboyo opo tambah rame..krungu, krungu dalane wis tambah gede…
Mobil, bemo, taksi lan bis kota saiki ono dalane dewe-dewe..
Gedung biskop wis ono, kolam renang wis ono, komplit maneh panganane..”

Sekian tahun berlalu, Usman Bersaudara lama tak terdengar kabar beritanya. Berkali-kali album mereka rekam namun tak terdengar lagi gaungnya seperti pada masa kejayaan mereka dulu . Album mereka yang terakhir terhitung rekaman pada tahun 1994 yaitu Percayalah dan Pop Jawa Marlena Tukang Jamu.  Usman sendiri secara pribadi pernah tampil pada peringatan tujuh belas agustusan di sebuah panggung sederhana pada tahun 2006 di SDN Ngagel Rejo I (Balantara). Hal ini mengingatkan pada masa awal mereka merintis karier yang berkiprah dari satu panggung ke panggung lain pada perayaan kemerdekaan Republik Indonesia. Setahun berikutnya, Usman Bersaudara secara full team sempat diundang untuk tampil di gedung balai pemuda menjelang hari ulang tahun kota Surabaya.

Saat ini menjelang hari jadi kota Surabaya ke-720, kita merindukan band seperti Usman Bersaudara yang melagukan kota Surabaya dalam baris syair dan nada mereka. Saat ini musisi asal kota Surabaya memang segudang, tapi tidak banyak yang bersuara tentang kota Surabaya. Cak Usman sendiri telah tiada, namun karya-karyanya akan selalu tetap kita kenang.

Usman Bersaudara, kami merindukanmu…

sumber foto : cak arie damai

Selasa, 21 Mei 2013

Mus Mulyadi dan Dendang Untuk Kota Surabaya


                Mus Mulyadi, siapa yang tidak kenal dengan sosok yang satu ini ? Apa yang ada di benak kita bila mendengar nama tersebut ? Mungkin segera kita akan menyebut dengan seorang penyanyi keroncong, atau penyanyi lagu-lagu Jawa, dia adalah seorang penyanyi dangdut bersama Ida Laela, sebagian mungkin akan mengenal beliau sebagai vokalis Favourite’s Group. Benar sekali beberapa identitas tersebut sempat disandang oleh Mus Mulyadi pada masa kejayaan beliau pada dekade ’70 dan ‘80an.

                Kita mengenal Mus Mulyadi sebagai pendendang tembang hits Angin Malam kala bersama Favourite’s Group tahun 1972, Kota Solo dan Dewi Murni yang berirama keroncong juga merupakan identitas beliau sebagai seorang vokalis, bahkan sebagian kita tentu masih ingat duet larisnya bersama Ida Laela dengan iringan OM Awara membawakan Setelah Jumpa Pertama. Tapi dari sekian banyak lagu yang beliau suarakan, nampaknya Rek Ayo Rek memperkokoh jati dirinya sebagai seorang yang tangguh dalam dunia tarik suara. Sampai hari ini bila kita mendengar lagu Rek Ayo Rek kita selalu mengidentikkan dengan Mus Mulyadi, demikian sebaliknya kita tentu mengenal Mus Mulyadi sebagai penyanyi Rek Ayo Rek. Sedemikian identiknya dua bagian ini, sampai-sampai sebagian besar dari kita malah melupakan sosok pembuat lagu tersebut yaitu Is Haryanto.

                Mus Mulyadi merupakan sosok seniman asli kota Surabaya. Sempat merantau di Singapura, Mus Mulyadi pertama kali melejit melalui lagu pertama yang beliau ciptakan sendiri yaitu Sedetik Dibelai Kasih. Namanya makin melejit kala A. Riyanto mengajaknya bergabung bersama personel 4 Nada dalam sebuah band yang bernama Favourite’s Group. Angin Malam adalah sebuah lagu abadi yang sampai hari ini kita kenal melalui suara emasnya yang direkam pada tahun 1972 diproduksi oleh Golden Hand Record.

                Rek Ayo Rek merupakan sebuah tembang yang direkam oleh Mus Mulyadi dalam sebuah album yang bertajuk Kroncong Jawa volume pertama tahun 1973. Album yang direkam duet bersama Titiek Sandhora tersebut sempat melejitkan Mus dan Titiek sebagai duet pop jawa yang sangat laris. Rek Ayo Rek sendiri sebenarnya terinspirasi kala personel Favourite’s Group yaitu Is Haryanto, A. Riyanto, Harry Toos dan Tommy WS serta Mus Mulyadi jalan-jalan di sekitar jalan Tunjungan Surabaya yang saat itu ramai dan dipadati oleh warga Surabaya yang menikmati keindahan kota di kala malam hari. 

                Banyaknya warga Surabaya yang hilir mudik menikmati semaraknya jalan Tunjungan, menginspirasi Is Haryanto membuat sebuah lirik lagu jawa, secara kebetulan A. Riyanto mempunyai aransemen musik yang belum ada lirik lagunya. Sehingga keduanya disatukan menjadi sebuah lagu yang saat ini kita kenal bertajuk Rek Ayo Rek. Lagu ini selanjutnya direkam Mus Mulyadi dengan iringan Favourite’s Group dalam sebuah solo album yang melejitkan namanya sebagai seorang penyanyi jawa. Begitu populernya lagu ini sehingga membuat perusahaan rekaman lain menjajal untuk membuat album pop tradisional. Remaco, sebuah perusahaan rekaman besar di Jakarta pun pada akhirnya menugaskan Koes Plus untuk membuat album pop jawa yang kemudian sukses dengan lagu Tul Jaenak. Favourite’s Group pun yang kala itu sudah tinggal berempat tanpa Mus Mulyadi pun juga ikut merekam lagu Rek Ayo Rek dalam album Basa Jawa Dangdut yang dibawakan oleh Is Haryanto dengan gaya khas yang jenaka. 

                Mus Mulyadi selama hidup di Surabaya tinggal di jl Kedung Turi gang I bersama adiknya Mus Mujiono. Saat ini kampung tersebut telah punah menjelma menjadi tempat parkir hotel JW Marriot. Pengabdian pada dunia seni oleh vokalis yang memiliki ciri khas berkaca mata hitam ini tidak diragukan lagi, bahkan keberadaannya seakan menjadi ikon seni kota Surabaya. Menjelang hari jadi kota Surabaya ke-720 ini, Pemkot Surabaya mulai berinisiatif untuk menghidupkan kembali kawasan jl. Tunjungan yang melegenda itu. Semangatnya sederhana saja, terinspirasi dari sebuah lirik lagu Rek Ayo Rek yang didendangkan Mus Mulyadi “Mlaku-mlaku nang Tunjungan”.
 
                Ketika Jl. Tunjungan bergeliat lagi dengan adanya acara Surabaya Urban Culture Festival pada 19 Mei 2013 lalu, kita jadi teringat dengan lagu Rek Ayo Rek. Kala kita teringat dengan lagu itu, kita teringat juga dengan sosok Mus Mulyadi. 

                Suwun cak Mus, sudah menginspirasi kami lagi…
(Okky T. Rahardjo, penggemar Mus Mulyadi dari Surabaya—085645705091)