Rabu, 28 Agustus 2013

Pemilu Lagi...Pilgub Lagi,



                Entah sudah berapa kali saya mengikuti pemilihan umum, lupa ya…Bukan karena usia saya yang tua yang membuat saya sering mengikuti Pemilu. Namun di usia yang memasuki gerbang kepala tiga ini berkali-kali pemilihan umum telah saya ikuti, semata karena memang situasi negara ini yang terkesan mencari jati diri. Ya sebuah pengalaman baru dari situasi yang bernama reformasi mengajarkan pada saya dan pemilih muda lain untuk memilih pemimpin secara langsung dan terbuka.

                Situasi ini tidak pernah saya lihat ketika saya masih kecil. Saat itu semua seakan diharuskan tunduk pada sebuah organisasi setengah partai, yang selalu menang saat pelaksanaan pemilu. Bagaimana untuk memilih pemimpin ? Wah, tidak ada proses yang heboh sebagaimana yang terjadi saat ini di Jawa Timur. Gubernur adalah pilihan dari Presiden, selaku dalang utama dari segala suksesi yang terjadi di negeri ini. Saya pernah alami, saat itu gubernur yang pernah melintas pada masa kecil saya adalah gubernur Soelarso. Setelah itu, hadirlah seorang gubernur yang merupakan mantan wakil gubernur Jakarta yaitu Basofi Soedirman. Eh, ternyata beliau adalah seorang penyanyi dangdut yang mantab juga. Masih ingat lagu yang terkenal saat itu adalah “Tidak Semua Laki-Laki”.

                Sekali lagi kembali pada pemilihan kepemimpinan, rasanya tidak pernah seheboh belakangan ini. Sekitar dua puluh tahun lalu, semua pergantian kepemimpinan rasanya hanya lewat begitu saja. Tinggal terima keputusan ketika Poernomo Kasidi menjabat walikota, tinggal bungkus ketika mendapati Soenarto Sumoprawiro menduduki kursi nomor satu di walikota. Apalagi untuk level gubernur, tidak ada rame-ramenya.

                Kalau boleh dihitung, seingat saya pemilu yang pernah saya ikuti diawali pada tahun 1999. Pemilu pertama pada era reformasi. Wuih, banyak banget pesertanya…48 partai ya. Sampai saat itu ada istilah “tiga ke kanan, lima ke bawah” untuk memilih sebuah parpol dengan nomor urut tiga puluh lima. Setelah itu tahun 2004, ada pemilu lagi. Malah sampai dua kali. Yang pertama, memilih anggota DPR. Selain itu, memilih Presiden yang berlangsung secara seru. Tau kan, siapa yang menang. Hmm, iya beliaunya masih bertengger di kursi kekuasaan saat ini.

                Taun 2008, ada pemilihan umum lagi yaitu pemilihan gubernur. Pemilu kali itu menurut saya melelahkan sekali karena berlangsung hingga tiga putaran. Beragam pemilu yang saya ikuti, kaya’nya yang lebih mengesankan adalah ketika terjadi pada tahun 2006 untuk memilih kepala desa. Lumayan, dapat uang jalan. Hal ini berulang lagi tahun 2013 yang terjadi lagi pemilihan kepala desa dengan kedua calon yang sama. Lagi-lagi dapat uang jalan, wah seru bisa dibuat jalan-jalan ke Tunjungan Plaza waktu itu, hehehehe…

                Sudah ya, besok warga Jawa Timur akan menghadapi pemilihan gubernur lagi. Calonnya ada yang sama, ada pula tambahan yang baru. Mau pilih mana, ya terserah saja. Mau pilih yang berkumis atau tidak, ya monggo. Mau golput, ya terserah saja…Mau tidak mencoblos, ya terserah saja. Semua keputusan bergantung pada pilihan politik kita masing-masing.  Doa saya, mudah-mudahan pemilihan umum yang berlangsung besok pagi, 29 Agustus 2013, berlangsung dengan aman dan lancar.

                Oya, sekedar sebagai pengingat saja…Pasangan calonnya yaitu Soekarwo-Syaifullah Yusuf, Eggy Sudjana dan Sihat, Bambang DH-Said Abdullah dan Khofifah_Herman “mantan Kapolda”. Monggo,
                                                                                                                                                                                   

Selasa, 20 Agustus 2013

Album "Glodok Plaza Biru", Sebuah Catatan Singkat




Bulan Agustus ini kita akan kembali mencoba menengok keberadaan album Koes Bersaudara maupun Koes Plus yang beredar di tahun-tahun yang lalu. Pada bulan kedelapan ini terdapat sebuah album yang rilis pada tahun 1980, yaitu Glodok Plaza Biru. Sebuah album yang direkam atas nama Koes Bersaudara. 

Kehadiran album ini sebenarnya cukup mengejutkan juga, kalau tidak boleh dibilang membingungkan. Mengingat setelah kurang berhasilnya reuni Koes Bersaudara melalui album Kembali dan beberapa album yang mengikutinya, keberadaan grup yang dikomandani oleh Tonny Koeswoyo ini sudah beralih kembali menjadi Koes Plus sejak tahun 1978. Namun keberadaan album dengan nama Koes Bersaudara ini pun juga bukan langkah yang pertama, karena setahun sebelumnya mereka sudah muncul melalui album “Boleh Cinta Boleh Benci”. 

Sebagaimana kemunculan album “Boleh Cinta Boleh Benci” yang tidak digarap secara utuh oleh personel Koes Bersaudara, album Glodok Plaza Biru (selanjutnya kita sebut GPB) pun juga tidak menghadirkan keempat musisi bersaudara itu dalam penggarapan albumnya. Bisa dikatakan bahwa kemunculan album Koes Bersaudara setelah era “Kembali”, seakan mereka hanya mencoba untuk eksis di tengah persaingan industri musik pop Indonesia yang seakan tak lagi ramah kepada mereka seperti pada masa sebelumnya. Hal ini dikarenakan rekaman album mereka tidak lagi diikuti dengan penampilan panggung sebagaimana lazimnya sebuah group musik yang mempromosikan album baru mereka.

Lagu pertama yang kita dengar ketika memainkan album ini melalui pita kaset produksi Purnama atau yang memiliki versi Piringan Hitamnya, kita akan mendengarkan sebuah lagu syahdu bertajuk “JanganLagi”. Lagu ini dinyanyikan dengan penuh penghayatan oleh Nomo Koeswoyo. Lagu ini mengisahkan kerinduan seseorang untuk berkumpul kembali dengan kekasihnya. Namun bisa juga dikiaskan sebagai kerinduan seorang Nomo untuk tetap akrab dan akur lagi bersama ketiga saudara kandung yang seakan meninggalkannya seorang diri. Nomo memang seorang yang ikonik dengan band Koes Bersaudara sehingga memunculkan suara emasnya dalam urutan pertama memang sebuah sajian yang menarik perhatian tersendiri. Penggemar akan mudah tertarik simpatinya terhadap personel yang dulu pada masa jaya Koes Bersaudara menduduki posisi penggebuk drum ini.

Urutan kedua yaitu “Glodok Plaza Biru” yang sekaligus merupakan judul album ini. GPB disajikan dengan melankolis oleh Yon Koeswoyo yang ditimpali oleh Tonny Koeswoyo pada bagian reffreinnya. Yon Koeswoyo melagukan keprihatinannya pada sebuah tempat yang lima belas tahun lalu mereka sebut sebagai bui sekarang telah berubah menjadi sebuah plaza yang berhiaskan kemewahan dan menjadi jujukan orang untuk berbelanja. Begitu manisnya sang pembuat lagu mengubah istilah yang seram seperti penjara, tahanan atau bui menjadi rumah dosa. Seakan mereka menyadari bahwa mereka pernah menghuni tempat tersebut sebagai orang yang berlumur aib. Oleh karena itu hanya pertobatan sebagai seorang berdosa yang membuat mereka harus mengalami proses di tempat yang pernah mereka tunggu itu. 

Hmm, cukup enak kedengarannya juga..”yang pernah ku tunggu” bukan “yang pernah aku mendekam atau sejenisnya..”. idiomatik seperti ini tentu membuat pendengarnya bertanya-tanya apa yang dimaksud oleh sang penyanyi sebelum akhirnya penasaran dan membuka catatan lama tentang kisah Koes Bersaudara. Mengapa Koes Bersaudara dipenjara ? Ah, rasanya saat ini bukan waktu yang tepat untuk membahasnya. Perlu ada sebuah ruang lain untuk kembali mengenang masa itu.

GPB sendiri bisa dibilang merupakan trilogi dari lagu-lagu yang mengisahkan sekelumit kisah mereka menghuni rumah dosa. Dua lagu yang lain yaitu “Di Dalam Bui” dan “Balada Kamar 15” telah dengan gamblang mereka dendangkan pada tahun 1967. Kedua lagu sebelumnya dilahirkan ketika energi muda mereka masih meluap dengan berbagai gejolak emosi yang tak terbendung, namun edisi ketiga ini hadir ketika mereka sudah matang oleh usia dan pengalaman hidup. Mengapa harus ada tambahan kata “biru”..Saya yakin bukan karena gedungnya berwarna biru. Namun biru merupakan sebuah warna yang melambangkan kesedihan. Situasi yang murung dan penuh keprihatinan. Hal ini pernah tergambarkan pula dalam sebuah lagu yang berjudul “Melati Biru”. Sekilas petikan melody gitar pada bagian interlude lagu ini oleh Tonny Koeswoyo mampu menyita sejenak emosi keharuan kita terhadap perjuangan hidup yang mereka alami. Itulah salah satu kejeniusan sang maestro musik pop Indonesia.

Tak mau larut dalam kesedihan, Tonny Koeswoyo menggebrak melalui lagu “Mengapa” pada urutan ketiga. Sebuah lagu rancak khas Tonny yang selama ini terselip dalam sebagian besar album mereka. Rasanya ada segudang lagu dengan judul “Mengapa” pada album Koes Plus namun yang ini rasanya tidak boleh dilewatkan begitu saja. Begitu kita mendengar intronya, seakan secara spontan mengajak kita untuk bangkit dari tempat duduk dan bergoyang mengikuti irama lagu. Bahkan kalau perlu ikut bergumam “oh yeah..” sebagaimana diucapkan oleh sang vokalis. Salah satu keunikan lagu ini yaitu adanya break pada akhir lagu. Pendengar yang menganggap lagu ini usai tiba-tiba saja dikejutkan dengan munculnya lagi vokal sang maestro melanjutkan sisa lagu yang masih belum rampung dibawakan.

Selanjutnya, joget dan berbagai goyangan sementara waktu berhenti dulu. Seakan menyilakan untuk kembali duduk, perasaan kita dihanyutkan melalui lagu “Tanpa Hati”. Rasanya saya tidak perlu banyak berkomentar tentang lagu ini. Coba nikmati lagu ini dalam sebuah kesunyian, ditemani cahaya lampu yang temaram. Kita akan benar-benar mengerti pesan apa yang disampaikan oleh pembuat lagu ini. Sebuah bunyian semacam suara saxophone akan mebuat perasaan kita ngelangut dan melayang mundur mengingat masa-masa hidup yang pernah kita alami. Tapi kalau kita mendengar sambil lalu saja, maka kedalaman lagu ini tidak akan pernah kita nikmati. Mau bukti ? Coba putar lagu ini melalui sarana apa pun yang anda miliki.

Segudang pula tema malam minggu yang pernah dinyanyikan oleh Koes Plus, kali ini Yon Koeswoyo melagukan “Minggu Malam”. Sebuah tema yang unik dan jarang sekali diangkat. Kalau Hari Minggu pun juga sudah beberapa kali diangkat, namun lagu tentang malam senin ya hanya sekali ini. Sebuah karya yang unik dan kreatif walaupun isi lagu masih seputar tentang cinta anak manusia, sebagaimana sebagian besar karya mereka. 

“Di Sepanjang Sungai Kecil” merupakan sebuah lagu yang terasa jazzy. Kita akan dibawa pada sebuah pengalaman nge-jazz bersama Koes Bersaudara melalui lagu yang sarat makna ini. drum yang dimainkan juga tidak banyak hentakan. Petikan gitar muncul sesekali seperti nyelonong untuk memberi hiasan khas nuansa jazz. Kita pun juga dibuat kagum dengan munculnya kembali suara saxophone yang diyakini dimainkan sendiri oleh Tonny Koeswoyo. Asyik juga mendengarkan lagu ini. sekali pun album Boleh Cinta Boleh Benci sepintas juga jazzy, namun sebagian besar penggemar meyakini bahwa yang memainkan musik bukan Tonny Koeswoyo karena tetulis iringan No Koes.

Tembang selanjutnya yaitu “Kasihku” merupakan salah satu bukti kedewasaan dan kematangan mereka sebagai seorang penyair yang berlagu. Ungkapan cinta yang ditujukan pada seorang kekasih tidak lagi dibawakan secara spontan namun dengan berbagai kata kiasan yang sarat makna namun tepat pada sasaran. Mau menyatakan cinta pada pasangan melalui syair pada lagu ini ? kelihatannya cocok sekali. Selain Doa Suciku, lagu ini juga memuat sebuah ungkapan doa untuk sang kekasih tersayang. Lagu ini tidak bisa dikalahkan oleh karya musisi-musisi muda masa kini yang cenderung vulgar dan tidak mengindahkan unsur keindahan kalimat dalam pembuatan lagu bertemakan cinta.

Penutup album ini yaitu “Harap Harap Cemas” yang seakan sengaja dipilih untuk menetralkan perasaan yang dari beberapa lagu sebelumnya terbawa melankolis. Lagu ini mengajak kita untuk kembali bergoyang walau sejenak. Sedikit menggerakkan pinggang, bolehlah. Saya tidak tau, apakah frase “Harap Harap Cemas” ini sudah populer sebelumnya ataukah Koes Bersaudara yang pertama kali memperkenalkan, namun rasanya unik juga menyebutkan kata-kata ini. “Harap Harap Cemas” sepertinya berpadanan dengan kata “Dheg Dheg Plas” yang pernah mereka lontarkan belasan tahun sebelumnya.  Bagi telinga saya pribadi, mendengarkan interlude musik pada lagu ini sekilas seperti mendengarkan musik pada parade marching band. 

Sedikit catatan tambahan pada album ini, album GPB sepertinya tidak lagi melibatkan personel secara utuh pada penggarapan musik. Bahkan Yok Koeswoyo pun sepertinya tidak ikut terlibat pada proses pembuatan album ini, mengingat beliau saat itu fokus pada proyek solo album pertamanya yang bertajuk Nyanyian Hitam. Album ini bisa diinterpretasikan sebagai proyek solo Tonny Koeswoyo. Solo di sini bukan berarti beliau menyanyikan sendiri secara keseluruhan lagu-lagu yang ada. Namun seluruh lagu pada album ini merupakan dominasi karya beliau. Bahkan seluruh musik pada album ini tampaknya merupakan garapan beliau seorang diri. Walaupun masih perlu diperkuat oleh analisis dan masukan dari pengamat musik Koes Bersaudara & Koes Plus lain yang lebih senior.

Tak ketinggalan pada desain cover album yang terlihat unik dan artistik. Menggambarkan sepasang malaikat yang menaungi sebuah lilin dan tangan yang terpasung. Mungkin artinya, sebuah harapan dan doa pada Tuhan Yang Maha Kuasa di tengah hidup yang penuh tekanan dan situasi yang serba gelap tak menentu. Sebagaimana yang mereka pernah alami di dalam bui. 

Suatu ketika dalam sebuah perjumpaan, kami sempat mengkonfirmasi tentang album ini pada Nomo Koeswoyo.  Namun sayang sekali, beliau tampaknya lupa akan keberadaan album GPB yang fenomenal ini. Beliau sempat bergumam “ Saya kok tidak diberi tau sama mas Ton ya kalau ada album ini..” Bahkan beliau menduga bahwa album ini rilis pada tahun 1967 selepas dari penjara, mengingat ada kata Glodok.

Demikian yang dapat kami sampaikan mengenai catatan seputar album Glodok Plaza Biru. Mohon maaf atas setiap rangkaian kata, kalimat maupun data yang kurang berkenan. Jayalah selalu musik Indonesia.

( Okky T. Rahardjo, penggemar Koes Bersaudara—085645705091 )


Kamis, 15 Agustus 2013

Pedagang Kue Basah Keliling Di Kota Surabaya


 
                Pernahkah kita menjumpai penjual jajanan yang menempatkan dagangannya di sebuah tempat aluminium berbentuk bulatan ? pada tahun 1990an saya masih menjumpai penjual jajanan seperti ini di kota Surabaya. Jajanan yang disajikan biasanya berupa kue basah antara lain yaitu nagasari, lemper, pastel, roti kukus, donat, roti sus dan sejenisnya. Namun saat memasuki era millennium, di kota Surabaya sudah jarang dijumpai pedagang seperti ini yang keluar masuk kampung menjajakan dagangannya. 

                Menjamurnya minimarket di setiap pelosok kampung, membuat pedagang keliling tersaingi dan kesulitan menjajakan kue basah sebagaimana biasanya lagi. Berubahnya trend masyarakat yang mulai memasuki era modernisasi, secara perlahan meninggalkan kebiasaan membeli kue pada pedagang eceran keliling. Saya dulu masih menjumpai kebiasaan beberapa warga kampung yang setiap sore menantikan kedatangan pedagang kue ini melintas di depan rumah mereka. Namun semua telah berlalu seiring bertambahnya waktu, penduduk kota lebih suka menuju minimarket untuk mencari jajanan instan.

                Tak terduga, ketika saya melintas jl. Walikota Mustajab (Ondomohen) tiba-tiba menjumpai pedagang kue keliling yang menawarkan dagangannya. Di tengah arus lalu lintas yang macet dan cuaca kota Surabaya yang panas, ibu ini meletakkan bulatan aluminium berisi penganan sederhana di atas kepalanya. Dari gang ke gang, dari jalan ke jalan kue yang masih ada terus dijajakan kepada penghuni kantor yang terletak di salah satu jalan paling sibuk di kota pahlawan ini.

                Kadang ketika mereka lewat di depan rumah, tak jarang kita menolak untuk membelinya. Kini ketika keberadaannya sudah makin jarang, kita merindukan hadirnya pedagang kue menjajakan dagangannya di ujung kampung kita.

                Pada akhirnya, akankah semua kebiasaan tradisonal kita akan tergerus dengan alasan modernisasi yang kian hari menggempur kita ? Karena itu ketika menjumpai ibu-ibu seperti beliau ini menyunggih wadah makanan di atas kepalanya, jangan tunggu lama segera serbu dan ambil jajanannya. Eits, jangan lupa membayar tidak usah pakai nawar. Hehehe…
 
( Okky T. Rahardjo, pengagum kota Surabaya-085645705091 )

Selasa, 06 Agustus 2013

Tribute To Founding Father Komunitas Koes Plus Se-Indonesia



 
            Tahun 2013 ini kita melihat begitu marak perkembangan pelestarian perkoes plusan. Hal ini dapat dilihat dari begitu banyak muncul komunitas penggemar Koes Plus baru yang terbentuk di beberapa daerah. Trend ini diikuti juga dengan terbentuknya band pelestari yang makin berkembang dengan pesat di setiap pelosok wilayah. Bahkan bisa dikatakan setiap ada daerah yang memiliki komunitas penggemar Koes Plus, terdapat pula band pelestari sebagai pendukung keberadaan komunitas tersebut. Sebuah simbiosis mutualis yang tidak bisa dipisahkan.

            Ada satu hal yang mungkin terlupakan dari semaraknya komunitas penggemar dan band pelestari sebgaimana kondisi yang disampakan di atas. Kita sering kali lupa memberikan dedikasi dan apresiasi kepada sosok founding father atau pendiri, perintis dan pelopor awal keberadaan kegiatan pelestarian perkoes plusan yang terdapat di masing-masing daerah. Setiap daerah tentu memiliki sosok yang berbeda, namun keberadaan beliau-beliau ini memiliki tujuan yang sama yaitu menggemakan semangat mencintai karya Koes Plus pada kota atau kabupaten pada tempat mereka tinggal masing-masing.

            Harus diakui, karena seiring dengan perkembangan waktu dan kolektifitas masalah yang ada pada setiap komunitas penggemar Koes Plus di masing-masing daerah, maka keberadaan sebagian besar founding father ini makin terlupakan. Ada yang sudah terpisah karena berbeda paham, terpinggirkan karena tidak bisa mengikuti perkembangan kondisi, terceraikan karena kita menganggap adanya ketidak transparan dalam mengelola sebuah organisasi dan banyak sebab lain yang membuat kebersamaan dengan mereka tidak lagi kita alami semesra dulu. Tulisan ini tidak hendak membuka lama yang pernah terjadi, namun hanya mencoba sedikit mengingatkan pada beberapa sosok yang pernah menjadi pembuka jalan dalam pelestarian karya Koes Plus di beberapa daerah.

            Di kota Magetan tersebutlah sebuah nama yaitu bp. Eddy Haryanto atau yang lebih dikenal dengan sebutan Eddy Oklex, seorang penyiar radio Magetan Indah. Melalui fasilitas siaran lagu-lagu Koes Plus yang beliau bawakan, penggemar Koes Plus mulai bersatu dalam sebuah komunitas yang bernama Magetan Koes Plus Community. Penggemar Koes Plus ini makin solid dengan adanya D Plus yang memperkuat dalam barisan band pelestari. Eddy Oklex mampu tampil menjadi sosok penyatu, sesepuh dan juga pengayom yang mampu diterima oleh semua kalangan penggemar Koes Plus di kota Magetan. Sebuah kota kecil namun mampu menggemakan pelestarian Koes Plus dengan cara tersendiri sesuai kekhasan yang mereka miliki.

            Malang, juga memiliki tokoh pendiri yang tidak bisa dilupakan begitu saja. Di kota ini gema pelestarian karya Koes Plus berawal dari sebuah siaran radio bertajuk Kolam Susu pada setiap Jumat malam. Tokoh awal pelestarian Koes Plus berjumlah tiga orang yaitu Wasis Susilo, Agoes Basuki dan Gatot Dwi Lesmono. Ketiga tokoh ini secara intensif menyuarakan suara Koes Plus dengan menjadi narasumber pada Radio Kencana Malang. Satu per satu penngemar Koes Plus mulai menggabungkan diri hingga mereka mendeklarasikan sebuah komunitas yang bernama Klub Penggemar Koes Plus Arema atau KPKA Malang. Deklarasi tersebut berlangsung pada Januari 2009 yang dihadiri oleh para penggemar Koes Plus dari beberapa daerah.

            Kota Tulungagung juga memiliki seorang tokoh yang tidak kenal lelah menggemakan pelestarian karya Koes Plus. Terdapatlah sebuah nama yaitu Dinda Analistiani yang berprofesi sebagai penyiar radio Perkasa. Radio yang terletak di jl. Mayor Sujadi ini memiliki sebuah siaran radio acara Koes Plus yang rutin diudarakan setiap hari Minggu, pkl. 15.00-18.00 WIB. Penyiar yang akrab dipanggil dengan sebutan mbak Dinda ini selalu hadir menyapa ruang dengar penggemar Koes Plus meliputi wilayah Tulungagung, Trenggalek, Kediri bahkan Batu. Bahkan beberapa kali even melibatkan band pelestari setempat yaiu G Plus. 

            Surabaya sebagai kota Pahlawan juga memiliki seorang tokoh yang militan dalam menyatukan penggemar Koes Plus. beliau adalah Kadar Husnaeni. Bermula pada even penampilan Koes Plus bulan Mei 2006 di Balai Pemuda Surabaya, Kadar mulai mengumpulkan penggemar Koes Plus yang saat itu menyaksikan penampilan band yang dimotori oleh Yon Koeswoyo dalam rangka ulang tahun kota Surabaya itu. Kadar mencoba memulai langkah dengan menjalin kontak pada beberapa penggemar Koes Plus sebelum mereka meninggalkan lokasi acara. Tak diduga saat itu dia berjumpa dengan Suprawoto, ketua UPTD THR Surabaya. Sejak itu beberapa kali pertemuan digagas untuk membentuk sebuah komunitas yang bernama Koes Plus Mania. Setelah itu mulailah gema pelestarian Koes Plus di kota Surabaya yang diwarnai dengan silaturahmi dari rumah ke rumah para penggemar Koes Plus yang selalu diisi dengan penampilan elektone lagu-lagu Koes Plus.

            Madiun pun memiliki tokoh tersendiri yang bisa dikategorikan sebagai founding father pelestarian Koes Plus. Agus Wisono atau yang lebih dikenal dengan nama Agus Gombez merupakan seorang tokoh senior di kalangan penggemar Koes Plus. Peran beliau secara pribadi dalam memberikan warna Koes Plus di kota Brem ini tidak bisa dibilang kecil. Beberapa kali beliau memfasilitasi penampilan B Flat di kota Madiun, bahkan menyediakan rumah yang terletak di jl. Glatik sebagai tempat menginap personel band pelestari yang sudah termasuk senior itu. Bahkan Murry, personel Koes Plus pernah berkunjung ke rumah pegawai negeri sipil yang berdinas di dinas koperasi Madiun ini. 

            Solo sebagai kota yang memiliki andil besar dalam pelestarian karya Koes Plus tampaknya harus bangga memiliki penggemar kelas berat macam Eddy Kuncoro dan Sunu Pribadi. Kedua penggemar sekelas kolektor ini tampaknya konsisten menyuarakan pelestarian Koes Plus melalui kapasitas yang mereka miliki. Keduanya memiliki jam siaran radio tersendiri untuk menggemakan lagu-lagu Koes Plus. Bila Eddy Kuncoro menetap pada Sabtu malam di Radio Mentari, maka Sunu memilih mengudara pada Rabu malam melalui RRI Solo. Kedua insane penggemar Koes Plus ini juga sama-sama memiliki koleksi album kaset maupun piringan hitam yang tidak kalah komplit, bahkan mereka juga saling bersaing dalam mengumpulkan berita di media cetak yang memuat berita tentang Koes Plus. Duet kolektor ini juga makin mantab manakala mereka juga ikut memeriahkan pelestarian karya Koes Plus melalui pementasan band pelestari di THR Sriwedari Solo.

            Pernah mampir Koes Plusan ke Yogyakarta ? Di sini kita tidak akan melupakan peran serta Wowo Nugroho dan Ki Sunarno. Duet penggemar Koes Plus ini merupakan pembuka hutan belantara pelestarian Koes Plus di kota gudeg ini. Bahkan rasanya belum komplit bila bertandang ke Yogya untuk ber-Koes Plus tapi belum berjumpa dengan mereka berdua. Tentu tanpa harus melupakan peran serta penggemar Koes Plus yang lain. Kedua orang tersebut merupakan kolektor yang tidak bisa diragukan lagi kecintaannya pada Koes Plus. Komunitas penggemar yaitu JKPC keberadaannya tidak lepas dari dukungan dua orang penghobby album lagu-lagu Koes Plus tersebut. Bahkan keduanya sempat diduetkan dalam kepengurusan dengan jabatan yang seakan bagai dua sisi mata uang. Bila Wowo bertugas sebagai Divisi Internal, maka Ki Sunarno menjabat Divisi Eksternal. 

            Demikian sekilas catatan kami mengenai tokoh-tokoh yang pernah mbabat alas dalam belantara per-Koes Plus-an pada beberapa daerah. Terlepas adanya konflik pribadi maupun internal organisasi yang pernah dialami, setidaknya kita bersedia memberikan apresiasi dan penghargaan setingginya atas dedikasi yang pernah mereka berikan dalam pelestarian karya Koes Plus. 

Bukan selembar piagam pengakuan atau sejumlah uang yang mereka butuhkan, namun sejumput maaf dan sesungging senyuman yang tulus dari hati kita akan membuat mereka terhibur selepas mereka menunaikan tugasnya dengan penuh perjuangan. Bisa jadi ketika detik ini kita bisa mendengarkan lagu-lagu Koes Plus dengan nyaman, tampil di panggung pelestarian dengan leluasa dan mengenal banyak kalangan penggemar Koes Plus atau masuk menyaksikan show Koes Plus itu karena usaha dan jerih lelah mereka. Maka setitik ucapan terima kasih tentu akan menambah energy hidup dan semangat beliau-beliau ini. 

Mohon maaf bila tidak semua komunitas Koes Plus dapat kami sebutkan melalui tulisan ini. Kiranya beberapa yang ada mampu mewakili semua keberadaan ungkapan kekaguman kami pada sesepuh pelestarian karya Koes Plus. Secara pribadi kami juga mohon maaf bila terdapat rangkaian data, kata dan kalimat yang kurang berkenan. Terima kasih atas perhatiannya.

( Okky T. Rahardjo, penggemar Koes Plus dari Surabaya-085645705091 )