Jumat, 30 Januari 2015

Kenangan di RSUD Dr. Soedono Madiun (11) : Akhirnya Nara Pulang

Balon sapi
Nara sehat














Selama Nara dirawat inap, dokter yang memeriksa hanya melihat kondisi pasien saat pagi hari kala jam tugas sudah dimulai. Dokter ini biasanya masuk ruangan sekitar pkl. 08.00-10.00. Sebagai dokter yang berpengalaman dia hanya mengunjungi masing-masing pasien sekitar lima menit saja. Mengingat banyak pasien lain yang juga memerlukan pertimbangan medisnya sehingga dia harus berkeliling dari satu ranjang ke ranjang lain. Ayah tidak pernah sempat melihat wujud dokter bernama Meidy Ramadhan ini dikarenakan ketika dia mengunjungi pasien bertepatan dengan jam pengusiran yang diberlakukan oleh petugas kebersihan.

Sejak dirawat inap hari Sabtu, Nara baru mendapat kunjungan dokter ini pada hari Senin pagi. Saat itu Nara sudah diindikasikan membaik namun supaya kondisinya lebih prima lagi maka dianjurkan untuk menginap sehari lagi baru bisa pulang. Kunjungan kedua dilakukan Selasa pagi sambil memberikan suntikan obat. Saat itu Nara sudah direkomendasikan untuk pulang. Hati ayah dan ibu lega mendengar persetujuan yang diberikan oleh dokter yang khusus menangani pasien anak itu.

Sekitar jam sepuluh tanda-tanda berakhirnya masa perawatan sudah terlihat pula pada beberapa pasien yang ada di ruangan Melati itu. Setelah dinyatakan sehat dan boleh pulang, maka orang tua segera mempersiapkan diri untuk pengurusan administrasi akhir. Demikian juga dengan ayah yang menunggu panggilan untuk penyelesaian administrasi. Waktu menunggu terasa lama mengingat banyak yang saat itu sudah mendapatkan rekomendasi sembuh, sehingga harus menunggu panggilan dari pihak kepala ruangan untuk penyelesaian pemberkasan. Ketika giliran nama Nara dipanggil, ayah pun segera menuju ruang administrasi yang berada di lantai bawah. Berkas yang diperlukan sudah diserahkan dan diperiksa. Nara pun sudah dinyatakan boleh pulang.

Setelah berpamit sana-sini, ayah dan ibu pun berkemas dan bergegas meninggalkan ruang rawat inap yang berkesan namun tak berharap untuk kembali ke sini. Sebelum meninggalkan rumah sakit, ayah pun mencoba memesan taksi. Segera saja ayah bertanya pada petugas keamanan nomor telepon taksi yang bisa dihubungi. Ada dua orang yang saat itu berjaga. Pria yang bertubuh besar yang lebih paham dan memberikan nomor telepon yang kini sudah tak diingat lagi oleh ayah. “Siap pak..apakah ditunggu di pintu tengah ?” kata operator taksi. Ayah pun tak paham mana pintu tengah dan belakang. Ayah menjawab “Loh, di sini pintu masuk kan cuma satu…pintu tengah yang mana lagi ?”. Ayah menjawab seperti itu karena memang pintu masuk kendaraan hanya satu saja di depan pintu masuk IRD. Pintu pagar tengah bukan digunakan untuk masuknya kendaraan.

Operator taksi itu pun segera saja bertanya “bapak sekarang ada di posisi mana…”. Pertanyaan itu untuk mengakhiri kebuntuan pemahaman masing-masing pihak. Ayah pun menjawab “Saya di depan IRD…”. Operator itu pun mengakhiri dengan menjawab “Oke pak, di depan UGD ya…”. Lalu sambungan telepon pun ditutup. Ketika itu ayah juga lupa menanyakan taksi apa yang tadi dipesan. Sebelum terlanjur lupa, ayah pun bertanya lagi pada petugas keamanan “Itu tadi taksi apa pak, yang saya telpon…”. “Taksi Bima, pak…” jawab pak Satpam Gendut itu.

Ketika menunggu taksi, beberapa teman ibu yang berasal dari guru TK masih sempat pula bertemu untuk mengetahui kondisi kesehatan Nara. Beruntung sekali belum sampai ketinggalan pulang. Tak lama taksi pun tiba. Nara pun sesaat masuk taksi sudah mengingatkan untuk beli balon. Memang saat dia dirawat dan beberapa kali ditangani tim medis, kami sering menjanjikan akan membelikan balon kalau sudah sembuh. Janji itu semata untuk menghibur saja supaya dia tidak terlalu menderita kala ditangani tim perawat.

Ketika taksi sudah meluncur menuju pintu keluar, mata jeli Nara melihat beberapa balon bergelantungan di tepi jalan raya. Saat itu kami mengira bahwa ada penjual balon di depan rumah sakit, sehingga kami berkata kalau mobil sudah bisa keluar ke jalan akan dibelikan balon. Namun ternyata penjual balon itu juga pengendara yang terjebak macetnya jalan raya. Ketika lalu lintas mulai lancar, penjual balon itu pun segera melarikan laju motornya. Nara yang sudah mulai menagih balon tak bisa dilawan lagi. Akhirnya pengemudi taksi menambah kecepatan untuk mengejar penjual balon tersebut.

Masuk ke tikungan penjual balon itu pun tertangkap di depan gedung DPRD Kota Madiun yang berlokasi di jl. Perintis Kemerdekaan. Penjual balon itu pun berhenti setelah dipanggil oleh pengemudi taksi. Nara semula beberapa kali bilang supaya dibelikan balon sponge-bob. Namun ketika ayah turun hendak menebus salah satu balon figuratif itu Nara pun berteriak “ojo pom bob..ojo pom bob…”. Ayah pun bertanya “Nah balon apa…”. Segera dengan spontan Nara menjawab “bayon capiii…”. Ayah pun membayar sepuluh ribu untuk sebuah balon figur Sapi berbintik hitam putih. Nara pun senang dan gembira sudah bisa pulang sambil membawa sebuah balon. Sudah ya, nak…jangan sakit-sakit lagi. Tetap sehat, Tuhan mengasihimu selalu. Ayah dan ibu juga menyayangimu.


( Okky T. Rahardjo, 085645705091, okkie_rahardjo@yahoo.com, 518CC94A )

Kenangan di RSUD Dr. Soedono Madiun (10) : Nara dan Doraemon


Saat pertama kali Nara diputuskan untuk dibawa ke rumah sakit, beberapa perlengkapan sudah dipersiapkan sejak mulanya. Selain baju dan keperluan pribadi Nara, ada satu benda yang tidak boleh dilupakan untuk dibawa. Benda tersebut bernama guling Doraemon. Guling kecil berwarna kombinasi biru-putih ini selalu dibawa ke mana pun Nara ikut pergi. Guling yang dipanggilnya sebagai emon ini tidak pernah lepas dalam genggaman ketika Nara tidur sejak dia pertama kali lahir ke dunia. Itu berarti sudah lebih dua tahun dia tidur berteman guling kecil yang dibeli ayah dan ibu di Royal Plasa Surabaya ini.

Mengingat sejak sebelum Nara lahir guling ini sudah disiapkan maka dalam kesehariannya pun Nara tidak mau lepas dari guling yang merupakan tokoh kartun dari Jepang ini. Sebuah kisah unik mengenai Nara dan doraemon ini juga terjadi kala Nara dirawat di rumah sakit. Hari Minggu sore Nara mendapatkan kunjungan dari salah seorang teman keluarga ibu. Tamu yang akrab dipanggil Bu Sus ini mengunjungi Nara sambil membawa sebuah bungkusan yang terbalut kertas kado. Nara semula tidak begitu semangat menerima kunjugan tamu. Dia hanya meringkuk dalam gendongan ibu. Sejak siang dia cuma merengek saja yang merupakan efek kejenuhan berada di rumah sakit.

Saat itu Nara penasaran dengan kado yang disodorkan kepadanya. Saat itu Bu Sus mempersilakan untuk membukanya. Ibu pun membantu membuka kado yang cukup membuat Nara penasaran itu. Perlahan kado tersebut dibuka, Nara pun mengulurkan tangannya meraih benda yang ada di dalam kertas kado itu. Setelah dia mengetahui isi kado tersebut, dia pun berteriak kegirangan “Doraemooonnnn….”. Nara yang semula terkesan malas-malasan sekejap menjadi ceria lagi. Dia pun segera memainkan boneka Doraemon itu dengan gembira.

Nara segera mempertemukan kedua Doraemon yang saat itu berada di sekitarnya. Yang pertama guling kecilnya dan boneka Doraemon ukuran tanggung yang baru dimilikinya. Nara terlihat begitu ceria, gembira dan seakan lupa bahwa dia adalah pasien yang masih dirawat di rumah sakit. Ya begitulah anak-anak yang selalu gembira ketika mendapatkan mainan baru. Hal ini pun cukup menghibur ayah dan ibu yang selama ini mencemaskan keadaan dirinya.

Segera sembuh dan sehat ya, nak…Supaya bisa bermain bersama boneka Doraemon lagi.


 ( Okky T. Rahardjo, 085645705091, okkie_rahardjo@yahoo.com, 518CC94A )

Kenangan di RSUD Dr. Soedono Madiun (9) : Nasi Pecel Depan Rumah Sakit



Para pasien anak memang mendapatkan jatah makan setiap hari sebanyak tiga kali dari pihak rumah sakit. Namun bagaimana dengan nasib para orang tua dalam mengurus problem “kampung tengah” mereka masing-masing ?. Bagi yang mendampingi pasien rawat inap selama beberapa hari tentu hal ini membutuhkan kreativitas masing-masing demi mendapatkan jalan keluar untuk mengatasi orkes keroncongan di dalam perut ini.

Bila siang menjelang mungkin urusan makan tidak begitu menjadi persoalan. Kiriman konsumsi dari pihak keluarga atau pun pembesuk menjadi hiburan tersendiri di kala menjalankan program penghematan biaya. Demikian juga kalau malam, sepanjang jalan depan rumahs akit menawarkan banyak menu beraneka ragam. Jl. Dr. Soetomo Madiun memang merupakan salah satu jalan protokol yang tentu menjadi jujukan para pedagang kuliner. Apalagi menyambung lurus ke depan terdapat stasiun besar Kota Madiun yang tentu memudahkan akses untuk mencari makanan pengganjal perut di kala malam hari.

Namun bagaimana ketika pagi hari harus mencari makanan untuk sarapan ?. Satu-satunya jujukan bagi penunggu pasien rawat inap adalah penjual nasi pecel yang duduk berjajar di sepanjang trotoar depan rumah sakit. Memang kala pagi hari tidak terlalu banyak ragam kuliner yang bisa ditemukan di area sekitar rumah sakit milik pemerintah provinsi Jawa Timur ini. Madiun yang terkenal sebagai kota pecel membuktikan bahwa sepagi itu hanya makanan yang berkombinasi sayur dan sambal itu yang akan mudah ditemukan. Mau tidak mau keluarga penunggu pasien akan menjadikan nasi pecel ini sebagai rujukan utama bagi sarapan paginya.

Saat pagi sudah menjelang, sekitar pkl. 04.30 sudah dapat kita jumpai berderet ibu-ibu tua penjual nasi pecel di depan rumah sakit ini. Mereka berjualan dengan bermodalkan dua buah meja kecil sebagai penopang barang dagangan. Selain sayuran dan sambal yang menjadi muatan utama sajian ini, terdapat juga berbagai lauk yang dapat dinikmati sesuai selera. Tempe goring, telur ceplok, ayam goreng, ati dan ampla serta berbagai kerupuk atau rempeyek sebagai pendamping. Semua bisa kita pilih dengan perbedaan harga pada masing-masing lauk yang dipilih. Sementara pembeli yang makan di tempat disediakan tikar sebagai alas duduk sekedarnya. Minuman yang bisa dipesan teh atau kopi hangat mampu menyemarakkan acara sarapan sepagi itu di pinggir jalan yang masih sepi.

Setiap pagi sekitar tiga atau empat pedagang nasi pecel mengadu nasib dengan berjualan di depan rumah sakit terbesar di kota Madiun ini. Mereka berjualan dengan saling toleransi. Tidak ada ritme persaingan sebagaimana irama hidup di Kota Madiun yang menyajikan ketenangan. Satu dengan lainnya berusaha melayani pelanggan dengan sebaik mungkin. Bila di satu tempat terlihat ramai pembeli, maka pihak yang satu akan menyediakan diri untuk menampung. Menu yang disediakan rata-rata sama antara satu penjual dengan lainnya. Sesekali penjual kue bersepeda ikut menimbrung menawarkan dagangannya sebagai alternatif pencuci mulut sesudah sarapan. Menjelang pkl. 07.00 para pedagang nasi pecel ini akan segera membereskan dagangannya. Entah sudah kesepakatan atau memang peraturan, setelah pkl. 07.00, kita tidak akan menjumpai mereka berjualan di trotoar depan rumah sakit lagi.

Selama beberapa hari mendampingi rawat inap di sini, ayah juga termasuk pembeli setia nasi pecel ini di kala pagi hari. Pada awalnya memang menikmati sajian pecel asli Madiun ini, namun hari berikutnya setengah terpaksa karena memang tidak ada penjual makanan lain yang tersedia sepagi itu. Harga yang ditawarkan relatif terjangkau sesuai menu yang dipilih. Pada hari pertama ayah mencoba membeli nasi pecel dengan lauk ayam goreng sebanyak dua bungkus. Ternyata oleh penjual dihargai masing-masing sebesar sepuluh ribu rupiah. Ketika keesokan hari berganti dengan telur ceplok maka harga yang dipatok perkemasan hanya enam ribu rupiah.

Namun harus diakui bahwa penjual nasi pecel ini tanggap terhadap kebutuhan pembelinya. Bila ada yang menghendaki untuk membeli dengan cara dibungkus mereka juga menyediakan sendok plastik sehingga pembeli tidak kesulitan menikmati makanan khas Jawa Timur ini. Selain itu mereka juga terkenal murah hati dibandingkan penjual nasi goreng yang berdagang pada malam harinya. Bila kita membeli nasi pecel tanpa nasi, kita masih bisa dilayani dengan baik. Lain halnya dengan penjual nasi goreng, bila kita membeli tanpa pakai nasi mereka biasanya marah-marah dan memasang muka cemberut. Duh,


( Okky T. Rahardjo, 085645705091, okkie_rahardjo@yahoo.com, 518CC94A )

Rabu, 28 Januari 2015

Kenangan di RSUD Dr. Soedono Madiun (8) : Jam Pengusiran




Bila petugas yang paling ditunggu para ibu penunggu pasien yaitu tukang antar jatah makanan, petugas yang paling dibenci pasien anak yaitu para perawat maka para bapak pun juga punya petugas yang paling dibenci. Petugas tersebut yaitu petugas bagian kebersihan. Hal ini dikarenakan ketika petugas ini datang maka secara otomatis para bapak harus segera meninggalkan kamar pasien dalam waktu yang cukup lama. Betapa tidak, ruangan harus dibersihkan selama kuarng lebih tiga jam sehingga bapak-bapak harus menunggu di luar dengan waktu yang tidak pasti.

Petugas ini merupakan pegawai negeri khusus menangani kebersihan ruangan. Mungkin dia khusus ditempatkan di ruang Melati setiap harinya. Petugas yang kalau tidak salah bernama Pak Sakur ini setiap pagi datang sekitar pkl. 07.30. Kalau dia sudah memasuki ruangan Melati pada pagi hari, maka para bapak yang berada di dalam ruangan pun segera “diusirnya”. Ketika Pak Sakur menampakkan dirinya, dia akan segera menyampaikan maklumatnya. “Yang menunggu cukup satu orang saja, yang lain supaya keluar..” demikian yang dia ucapkan hampir setiap pagi. Artinya, setiap pasien hanya boleh ditunggu oleh satu orang saja yang tentu kebanyakan para ibu. Kecuali pasien yang memang dari awal ditunggui hanya oleh ayahnya saja, seperti halnya pasien yang ada di sebelah kanan Nara.

Pak Sakur selalu menunjukkan wajah masam setiap kali masuk ruangan untuk pembersihan. Hal inilah yang membuat para bapak yang sudah beberapa hari menginapkan anaknya di sini segera tahu diri ketika beliau memasuki kamar perawatan. Oleh kaena setiap kali beliau datang segera meminta para bapak keluar, maka kami pun menyebut saat-saat kedatangannya sebagai “jam pengusiran”. Waktu pembersihan ini lama sekali bisa dua jam malah kadang sampai tiga jam belum selesai. Bahkan jam pembersihannya menabrak jam pembesukan yang ditetapkan di ruangan itu sendiri. Bayangkan, beliau membersihkan mulai jam 07.30 sampai jam 11.00 belum menampakkan tanda akan selesai. Sementara jam besuk dimulai pkl. 10.00 hingga satu jam berikutnya.

Bosan menunggu Pak Sakur selesai bertugas, biasanya para bapak ada yang mengelilingi rumah sakit sekedar untuk jalan-jalan. Sementara ada juga yang menunggu di ruang tunggu bawah seperti halnya ayah yang duduk sambil membaca koran ditemani bapak penunggu yang lain. Ada juga yang duduk sambil tertidur di depan pintu masuk ruang Melati sambil menantikan saatnya bisa masuk ke dalam ruangan. Bagi yang tidak sabar, sesekali ada yang mengetuk pintu untuk menanyakan apakah sudah selesai atau belum. Jawaban yang didapat bukanlah sebuah perkataan dari petugas yang bersangkutan. Sebuah gerakan menutup pintu yang dilanjutkan dengan bunyi kunci sebanyak dua kali cukup menjawab rasa penasaran penunggu yang bertanya.

Ayah pun pernah mencoba menyelinap masuk kala Pak Sakur membersihkan di kamar yang lain. Namun aksi ayah ini segera diketahuinya yang spontan meminta ayah segera keluar lagi sambil diiringi omelan beliau. Suatu kali petugas yang dikenal tegas dan lugas ini harus mengalami protes dari ibu-ibu yang merasa tidak puas. Setelah Pak Sakur menyelesaikan aksi pembersihannya, sekitar satu jam kemudian ibu-ibu penunggu pasien memanggil beliau dengan nada kecewa. Mereka menanyakan kenapa ruangan terasa panas sekali, padahal sebelum pria berkumis ini masuk pendingin ruangan masih terasa dengan baik. Semula Pak Takur masuk dengan wajah yang masam dan menggerutu, ternyata memang didapatinya bahwa AC yang tadinya dimatikan belum sempat dinyalakan lagi olehnya. Apalagi remote AC hanya dia yang menguasai. Jadilah dia meminta maaf dan mengeluarkan senyum kecutnya.

Walau bagaimana pun galaknya Pak Sakur, namun semua demi kebaikan pasien dan kebersihan ruangan. Selepas Nara dibolehkan meninggalkan ruang perawatan, kami pun tak lupa berpamitan pada Pak Sakur yang kalau sedang tidak bertugas wajahnya dipenuhi senyum yang ramah. Matur nuwun Pak Sakur….


( Okky T. Rahardjo, 085645705091, okkie_rahardjo@yahoo.com, 518CC94A )

Kenangan di RSUD Dr. Soedono Madiun (7) : Menebus Obat Di Apotik


Salah satu tempat yang sering dituju oleh keluarga pasien rawat inap di rumah sakit ini tentu saja sebuah Apotek. Ruang pelayanan obat ini terbuka selama dua puluh empat jam yang terletak di bagian depan ruang IRD RSUD Dr. Soedono Madiun. Apotek ini melayani penebusan obat baik secara mandiri maupun BPJS. Bagi yang menebus obat secara mandiri tentu harus bersiap biaya lebih banyak dibandingkan mereka yang membawa jaminan berupa BPJS Kesehatan.

Seringnya keluarga pasien mengantre di Apotek ini tentu membuat kejenuhan tersendiri. Mengingat setiap penanganan oleh tim medis seringkali menghasilkan resep yang harus dibawa ke ruang yang terletak di sebelah kantor unit pelayanan Bank Jatim ini. Hal ini membuat perwakilan keluarga yang ditunjuk mengurus obat harus sering mondar-mandir sambil membawa resep obat. Tidak terkecuali dengan ayah yang harus naik turun sambil membawa setumpuk berkas mendampingi resep obat yang diperlukan menuju Apotek yang terletak di lantai bawah. Selain jenuh menunggu di ruang tunggu apotek, juga seringnya naik turun tentu membuat kelelahan sendiri, mengingat kamar tempat Nara dirawat berada di lantai dua.

Mengatasi kejenuhan beberapa kali mengantre di ruang tunggu Apotek tentu ada banyak hal yang bisa disiasati. Kadang ada yang saling berbincang sesama keluarga penunggu, ada juga yang membaca koran yang dibawa dan ada pula yang bermain smartphone untuk sekedar membunuh waktu. Berbincang dengan sesama keluarga penunggu pasien merupakan cara tersendiri untuk berbagi beban penderitaan mengingat mereka yang mengambil obat rata-rata ya orang yang sama juga ketika ditemui di ruang tunggu. Saling mendukung dan memberikan informasi merupakan keasyikan tersendiri yang menarik untuk diperbincangkan selain membicarakan kondisi pasien yang ditunggu.

Sebelum keluarga penunggu menebus obat yang diresepkan, berkas yang harus disiapkan adalah kartu kontrol obat yang disertai surat keterangan menginap baik dari pihak rumah sakit maupun pihak ruangan yang diinap. Bagi peserta BPJS tentu ditambah dengan foto kopi kartu jaminan kesehatan tersebut. Berkas-berkas tersebut harus difoto kopi lebih dulu bagi yang pertama kali menebus resep obat. Tempat foto kopi tersedia di samping kiri pintu masuk IRD yang juga buka selama dua puluh empat jam. Hal ini tentu saja mempermudah pasien yang membutuhkan layanan secara cepat.

Suatu kali ada seorang keluarga penunggu pasien yang sudah sekian belas menit duduk di ruang tunggu tapi tidak segera dilayani. Sementara keluarga yang lain sudah selesai membawa sebungkus tas plastik isi obat, dia masih terus duduk menunggu. Saat satu per satu pengambil obat meninggalkan apotek, dia segera bertanya pada petugas apotek sambil menunjukkan nada kecewa dan gusar. Petugas apotek yang terdiri dari siswi magang sebuah sekolah keperawatan menanyakan apakah bapak sudah menumpuk berkas di keranjang depan loket, tentu saja dia menjawab belum sambil kebingungan tentang hal yang dimaksud. Segera saja perugas menunjukkan tempat penumpukan resep obat berupa keranjang kecil. Ya ampun, pantesan dari tadi diam saja, nah mau nunggu sampai kapan.

Ada juga penunggu yang sepertinya tidak sabar mengantre di ruang tunggu apotek. Hal ini bisa dilihat ketika beberapa nama yang dipanggil oleh petugas tidak segera menunjukkan wajahnya. Kalau sudah seperti ini, biasanya para penunggu yang lain akan segera kompak menjawab “lewati…lewati…”. Petugas biasanya memberi kesempatan dengan memanggil sebanyak dua atau tiga kali panggilan. Hal yang begini ini yang membikin penunggu lain jengkel, maka ada saja yang menyeletuk “tiga kali panggilan tidak ada, lewati…”. Ya semacam memanggil undian berhadiah. Betapa tidak jengkel, sudah sama-sama butuh obat yang mendesak kok malah ditinggal begitu saja. Karuan kalau tidak ikut antre sekalian dari pada menghambat waktu bagi pengantre lain.

Namun ada satu hal yang kami, para penunggu antrean depan loket apotik, menjadi salut pada salah satu keluarga pasien. Saat itu ada seorang bapak yang menghampiri seorang ibu penunggu antrean. Bapak itu berkata kalau anak ibu tersebut menangis sendirian di ruang perawatan. Para penunggu lain sudah berusaha menenangkan namun tetap tidak mau berhenti. Kebetulan ayah dari anak ini sedang tidak bisa menunggu, jadinya sang ibu yang harus repot mengurus anak dan menebus obat. Anak ini rupanya bernama Haikal yang masuk rumah sakit hampir bersamaan dengan dirawatnya Nara. Bapak yang tadi bermaksud membantu ibunya Haikal menggantikan menunggu obat. Jadinya ibunya Haikal segera membayar terlebih dulu jumlah obat yang diperlukan lalu pengambilnya dialihkan pada bapak yang baik hati tadi. Uniknya, karena lupa nama anak yang dimaksud maka setiap kali ada panggilan bapak tadi segera berdiri hendak menuju loket apotek, dikira itu nama yang ditunggunya. Kata bapak ini “yo, podo-podo golek tombo, mas…” (sama-sama cari pengobatan…).

Demikian sebagian liku-liku mengantre penebusan obat di ruang tunggu apotek. Bila tidak bisa menghibur diri sendiri maka akan terus dilanda kemurungan. Mengingat masuk di rumah sakit itu sudah merupakan kesedihan tersendiri. Ayah menebus obat di apotek ini setidaknya empat kali dengan situasi yang berbeda. Kadang sepi, antre satu dua orang dan juga pernah antre dengan banyak orang yang menunggu. Mudah-mudahan tidak akan pernah antre di apotek rumah sakit lagi. Amiiiinnnn…..


( Okky T. Rahardjo, 085645705091, okkie_rahardjo@yahoo.com, 518CC94A )

Minggu, 25 Januari 2015

Kenangan di RSUD Dr. Soedono Madiun (6) : Antre Nomor Urutan BPJS

Kantor BPJS saat jam buka













K

Pembagian nomor urut panggilan 


Setiap kali pasien dirawat di rumah sakit tentu harus memiliki jaminan pembiayaan yang baik. Bagi yang mampu secara finansial tentu tidak masalah bila mengeluarkan biaya secara mandiri. Beberapa orang lagi ada yang mengandalkan asuransi kesehatan yang sudah diikutinya. Namun sebagian besar ada yang menyerahkan urusan pembiayaan kesehatan dengan mengikuti program BPJS Kesehatan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi beban biaya sebagaimana yang sering disampaikan dalam program pemerintah.

Ketika Nara dirawat di rumah sakit hingga beberapa hari tentu akan merupakan kesulitan tersendiri dalam segi pembiayaan. Namun ayah sudah jauh hari mengantisipasi dengan mendaftarkan satu keluarga yang tersusun dalam Kartu Keluarga untuk menjadi peserta BPJS. Dalam hal ini ayah, ibu dan Nara sudah terdaftar sejak bulan Oktober sebagai peserta BPJS Kesehatan secara mandiri. Siapa juga yang mau sakit, namun ketika harus mengalami kendala kesehatan seperti ini maka segala sesuatunya sudah diantisipasi.

Sejak Nara masuk rumah sakit dan diputuskan untuk opname, maka ayah menunjukkan pada dokter jaga kartu BPJS Kesehatan atas nama Christina Elvira (nama aslinya Nara). Ketika kartu itu sudah ditunjukkan maka segala keperluan pembiayaan mulai penginapan, perawatan hingga obat-obatan tidak perlu ditanggung sendiri. Setiap kali menebus obat, maka ayah tinggal menyodorkan kartu pengambilan obat beserta resep yang dilampiri juga foto kopi kartu BPJS. Dengan itu obat sudah bisa diambil tanpa menebus biaya. Tak terkira bila setiap resep harus ditanggung sendiri. Mengingat setiap pengambilan obat harga yang tertera pada nota kasir sebagian besar di atas seratus ribu rupiah dan itu sudah berlangsung selama tiga kali. Yang keempat hanya sebesar delapan belas ribu rupiah untuk obat terakhir.

Sementara itu bagi pasien yang menjalani rawat inap harus segera pula mengurus Surat Elegibilitas Peserta (SEP) yang dikeluarkan oleh kantor BPJS rumah sakit setempat. Surat ini kurang lebih merupakan surat keterangan menginap yang membebaskan peserta BPJS dari biaya penginapan. Nah karena Nara masuk rumah sakit pada Sabtu malam, maka ayah baru bisa mengurus SEP ini pada hari Senin. Saat itu ayah mendapatkan keterangan dari salah seorang perawat bila mengurus SEP harus datang pagi-pagi sekali usai subuh untuk mendapatkan nomor antrian.

Senin pagi, sekitar pkl. 04.50 ayah bergegas menuju kantor BPJS RSUD Dr. Soedono sambil membawa map berisi berkas-berkas yang diperlukan. Benar saja, ternyata sepagi itu sudah antri ratusan orang di ruang tunggu padahal kantor masih tertutup rapat. Celakanya lagi, di pintu kantor memasang tulisan buka pkl. 07.00-11.30. Nah kalau begitu ini antre apa dong….Dari hasil bisik-bisik antar penunggu, ternyata mereka di situ antre nomor panggilan. Biasanya yang membagi petugas keamanan setempat. Saat itu terlihat para penunggu yang berjuang mendapatkan nomor antrean duduk mengisi kursi ruang tunggu berjajar rapi sampai ada juga yang berdiri berbaris secara teratur.

Tepat pkl. 05.10 seorang petugas keamanan datang membagikan nomor antrean. Secarik kertas itu diberikan mulai dari yang duduk di barisan depan ke samping hingga ke belakang. Selanjutnya yang berdiri mulai ujung depan hingga belakang menerima nomor antrean juga secara tertib. Semua menyadari siapa yang datang lebih dulu dan yang kemudian, sehingga tidak ada satu pun yang saling menyerobot. Rupanya sudah diatur sedemikian rupa. Sehingga siapa yang mendapatkan tempat duduk lebih awal, dia yang akan mendapatkan nomor urutan panggilan lebih dulu.

Ayah yang berdiri di barisan tengah mendapatkan nomor urut 106. Padahal pengantre lain di depan ayah mendapatkan nomor 104. Nah siapa yang mendapatkan nomor 105, mungkin kartu nya hilang tanpa disadari oleh petugasnya. Usai semua mendapatkan nomor urut panggilan, barisan pengantre ini pun bubar dengan sendirinya. Mereka pulang ke rumah atau berbalik ke kamar pasien untuk selanjutnya kembali lagi mengantre pada pkl. 07.00 saat kantor BPJS sudah mulai beroperasi.

Menjelang pkl. 08.00 ayah sudah mendapatkan panggilan pengurusan sesuai nomor yang diurutkan. Persyaratan yang diminta sudah dibawa yaitu Kartu Kontrol Obat, Surat Jaminan Pelayanan, Surat Pengantar Pasien IRD hingga Surat Pengantar Ruangan. Tak lupa harus disertakan kartu BPJS asli. Aduh, ayah sempat lupa membawa karena tertinggal di ruangan di dalam dompet ibu. Ayah hanya membawa foto copinya saja. Ayah pun diminta mengambil dan ketika kembali langsung saja menuju meja pengurusan tanpa harus antre lagi. Tak lama SEP pun selesai.

Luar biasa budaya antre yang diterapkan oleh pihak RSUD Dr. Soedono Madiun. Yang begini ini belum tentu bisa dijumpai di Surabaya, yang bisa jadi siapa datang awal akan mendapatkan nomor belakangan dan yang antre belakangan jadi dapat nomor awalan. Tertibnya antrean ini membuat satu dengan lainnya saling bertoleransi. Hanya saja kalau kelewatan panggilannya, resiko ditanggung sendiri. Seperti yang dijumpai ayah pada keesokan harinya di ruang tunggu depan. Ada seorang bapak yang sebelumnya berjuang antre mulai subuh mendapatkan nomor panggilan urutan 78, namun karena bangun kesiangan jadinya ketika kantor sudah dibuka dia kelewatan panggilan. Betapa tidak, jam buka pkl. 07.00 tapi dia terbangun pkl. 07.30. Ketika dia antre lagi, dapatlah dia nomor urutan 365. Ya ampun, keterlaluan sampean pak….

( Okky T. Rahardjo, 085645705091, okkie_rahardjo@yahoo.com, 518CC9A )



Kenangan di RSUD Dr. Soedono Madiun (5) : Trauma Pada Perawat


Ada satu hal yang tidak bisa dilupakan walaupun ketika mengalaminya kadang ya kasihan juga. Setiap beberapa jam sekali di ruangan Melati ada pemeriksaan dari perawat yang bertugas. Kadang yang mereka lakukan adalah memeriksa kondisi infus apakah terpasang dengan benar, memberi obat melalui suntikan, mengukur suhu badan menggunakan thermometer atau sekedar menanyakan masih panas atau tidak.

Namun yang membuat prihatin sekaligus kasihan yaitu ketika diadakan kontrol oleh perawat, seringkali anak-anak yang diperiksa mengalami ketakutan tersendiri. Memang ini merupakan sesuatu yang wajar mengingat seusia mereka harus merasakan sakit yang luar biasa ketika disuntik. Hal ini sepertinya menimbulkan trauma tersendiri pada beberapa anak. Tak terkecuali pada Nara ketika ada seorang perawat baik itu perempuan maupun laki-laki yang mendatanginya, maka dia akan segera berontak dan menangis. Secara spontan dia akan meraih tubuh ibunya sambil berkata “emoh…emoh…” atau “gendon…gendon…”.

Masih lebih beruntung Nara yang tidak terlalu mengalami ketakutan luar biasa. Dia hanya takut ketika perawat itu menghampiri ranjang tempat dia berbaring. Sementara ada pula anak-anak lain yang sepertinya mengalami trauma yang luar biasa. Setiap kali ada perawat yang lewat, dia langsung menangis keras padahal perawat itu menghampiri anak yang lainnya atau hanya sekedar melintas untuk keperluan lain. Bahkan salah seorang ayah pasien sempat mengeluh ketika berbincang di ruang tunggu, dia berkata kalau anaknya setiap melihat ada yang berjilbab putih langsung menangis ketakutan. Memang perawat di ruang Melati kebanyakan mengenakan kerudung berwarna putih. Namun suatu kali sempat terlihat anak berusia sepuluh bulan yang dirawat di samping kiri Nara ini menangis ketakutan melihat perempuan berjilbab putih, padahal itu salah satu keluarga pembesuk. Ya ampun, sampai segitunya….

Hal yang sampai saat ini terngiang yaitu ketika Nara ditangani untuk disuntik obat maka dia akan meronta sambil berkata “sudah bu..sudah bu…”, “atit..atit..”; “puan..puan..” (maksudnya pulang). Tentu dia berkata itu sambil menangis. Kalau sudah begitu kami yang berada di sampingnya akan berkata “’ga apa apa kok..biar cepet sembuh..”. Kadang susternya juga ikut menenangkan sambil berkata “tidak ada jarumnya kok…”. Tentu itu hanya sekedar perkataan menghibur saja. Memang di bagian suntikan tidak ada jarumnya, namun pada bagian pergelangan tangan Nara sudah terikat bantalan kecil yang di dalamnya sudah terpasang jarum suntik setiap saat. Jadi ya sama saja….

Nah peristiwa disuntik dan dihibur inilah yang sampai beberapa hari sekeluarnya dari rumah sakit menjadi mainan tersendiri bagi Nara. Sesekali dia mengajak ayah atau ibunya main suntik-suntikkan. Ayahnya diminta berbaring lalu dia mengambil secarik tisu yang sudah disobek berbentuk tegak. Maksudnya dia akan membuat mainan model alat suntik. Lalu Nara menyuntik ayahnya. Ketika ayah disuntik, dimintanya ayah supaya pura-pura menangis. Saat ayahnya menangis itulah dia akan segera berkata “ora opo-opo..ora opo-opo…ga ada jarumnya kok…”. Kami yang melihat ulahnya bermain seperti itu tentu tertawa geli. Ya namanya juga anak-anak.


( Okky T. Rahardjo, 085645705091, okkie_rahardjo@yahoo.com, 518CC94A )

Rabu, 21 Januari 2015

Kenangan di RSUD Dr. Soedono Madiun (4) : Menuju Ruang Melati





Ruang Melati yang berada di RSUD Dr. Soedono Madiun merupakan ruang perawatan untuk pasien anak. Letaknya tidak terlalu strategis berada di lantai dua yang tidak memudahkan orang untuk mencapainya. Mengapa demikian, hal ini dikarenakan tidak ada petunjuk di area depan lantai bawah untuk mencapai ruangan ini. Akses masuknya ada dua yaitu tangga melingkar dan sebuah lift yang sebenarnya digunakan untuk petugas medis dan pasien. Ayah yang sering mondar mandir ke lantai bawah harus menggunakan lift untuk menghemat tenaga dan waktu.

Setelah melalui lift dan tangga, maka kita akan menjumpai papan kecil berisikan petunjuk ruangan. Petunjuk ini menggantung di atas lorong menuju ruang Melati. Lift terletak di samping kanan denah ini. Adapun di sebelah kiri merupakan tempat duduk ruang tunggu bagi keluarga pasien. Ruang operasi pasien anak ada di arah kanan sebagaimana ditunjukkan oleh papan berwarna hijau itu dengan nama ruang IPI.

Dalam ruang Melati terdapat beberapa kamar yang diantaranya merupakan perawatan bayi yang baru lahir atau bayi yang mengalami gangguan fisik. Bayi usia di bawah dua tahun tidak ditempatkan dalam ruangan yang sama dengan pasien anak lainnya. Dalam ruang Melati ini ada sebuah kamar yang merupakan tempat perawatan seorang anak penderita Hidrocepallus atau kepala yang membesar. Usia anak ini sekitar 5-6 tahun. Konon anak ini sempat dibuang oleh orang tuanya di tempat sampah yang ditemukan oleh seseorang lalu diserahkan pada pihak rumah sakit untuk dirawat. Saat ini anak tersebut terbaring setiap hari di kamar depan tempat Nara dirawat. Kondisinya sudah lebih baik dari awal ditemukan. Mungkin orang tuanya malu, padahal anak itu juga titipan Tuhan.

Mengingat banyaknya pasien dan terbatasnya kapasitas ruangan, maka beberapa pasien anak sempat tertunda masuk ruangan Melati. Ada salah seorang anak yang dirawat di samping kanan Nara terpaksa masuk menunggu pasien sebelumnya pulang. Anak penderita demam berdarah ini masuk pada Jumat malam namun terpaksa harus menginap di ruang ROD atau ruang observasi. Hal ini dikarenakan ruang Melati sedang penuh pasien, sehingga belum ada tempat tidur yang tersedia bagi pasien baru.

(Okky Rahardjo, 085645705091, okkie_rahardjo@yahoo.com, 518CC94A)


Kenangan RSUD Dr. Soedono Madiun (3) : Jatah Makan Untuk Pasien

Kereta makan pasien ruang melati






            Setiap hari pasien RSUD Dr. Soedono Madiun mendapatkan jatah makan sebanyak tiga kali. Pagi hari kira-kira pkl. 06.30 makanan sudah diantarkan. Ketika siang menjelang pkl. 12.00 makanan pun sudah disiapkan begitu juga untuk makan malam, selepas pkl. 17.00 sudah disediakan bagi pasien. Tak pernah terlambat kedatangan makanan ini, sehingga pasien pun tidak  menunggu terlalu lama.

            Makanan yang disediakan diantar menggunakan semacam lemari dorong yang disebut dengan kereta makan. Saat pagi, siang dan petang ketika di ruangan terdengar getaran yang keras, seakan lantai nya ikut bergoyang maka itu pertanda kereta makan sudah tiba. Saat itu mas pembagi makanan masuk dan membawa sepiring makanan. Dalam piring yang terbungkus plastik itu terdapat nama masing-masing pasien yang dituju. Hal ini memudahkan petugas makanan ketika masuk ruangan sambil menyebutkan nama yang tertera pada secarik kertas kecil dalam piring tersebut.

            Uniknya, menu yang tersaji pada makanan yang disediakan tidak sama antara pasien satu dengan lainnya. Semua bergantung pada kondisi penyakit yang diderita. Bila tidak mengalami masalah dengan pencernaan, maka pasien mendapatkan jatah nasi. Namun bila pencernaan terganggu, seperti yang dialami Nara, maka dia akan menerima jatah makan berupa bubur. Namun untuk lauk dan makanan pendamping tidak jauh berbeda. Ada tempe, tahu dan daging yang diolah menjadi berbagai bentuk. Buah yang menjadi pendamping tidak berubah setiap hari yaitu pisang. Adapun untuk minum tersedia berupa segelas air mineral yang terangkum dalam rangkaian pada piring tersebut.

            Pada pagi hari jatah makan yang disediakan ditambah dengan segelas susu putih. Hidangan untuk sekedar pencuci mulut pun dibedakan antara pasien disesuaikan dengan kondisinya. Bila yang lain mendapatkan sepotong kue maka Nara dan beberapa anak lain yang mengalami gangguan serupa mendapatkan segelas godir. Semuanya tersedia dengan baik untuk menjaga kondisi kesehatan pasien lebih baik lagi. Kedatangan petugas pembagi makanan ini selalu dinantikan dengan gembira oleh setiap orang tua penunggu pasien, sehingga dia seakan menjadi idola baru dalam ruang Melati tempat perawatan pasien anak.

            Nara yang mendapatkan jatah makan berupa bubur sepertinya tidak begitu selera. Ya jelas saja, karena memang menu tersebut disajikan setiap jam makan maka lama kelamaan dia bosan. Awalnya masih mau mengkonsumsi setidaknya beberapa sendok, tapi berikutnya ya jenuh. Tapi mau bagaimana lagi, menu yang disediakan memang itu dan harus diterima. Pada beberapa kali kesempatan bubur itu yang menikmati ya bergantian antara ayah dan ibunya. Sementara Nara diberi roti sekedar sebagai pengisi perut, mengingat dia sering menolak ketika disuapkan bubur. Malahan kadang-kadang dia sendiri minta makan nasi. Ya sudah mumpung dia mau makan, bolehlah makan nasi sekira beberapa sendok. Mengingat beberapa kali dia tidak nafsu untuk makan dan hanya mau minum saja. Ya namanya juga anak-anak, tidak seberapa paham membedakan mana makanan yang baik untuk menjaga kesehatannya atau yang masih belum boleh disantap.


(Okky Rahardjo, 085645705091, okkie_rahardjo@yahoo.com, 518CC94A)

Kenangan di RSUD Dr. Soedono Madiun (2) : Televisi Ruang Melati


            Di depan ruang Melati kamar III D terdapat sebuah televisi yang menggantung di atas tembok. Televisi ini terletak persis di atas ruang Spoel Hoek yaitu tempat membersihkan kotoran hasil menangani pasien. Ruang spoel hoek ini kerap kali digunakan pula oleh keluarga pasien untuk membersihkan peralatan pribadi mereka semacam piring, gelas, dot dan sebagainya. Televisi yang menggantung di atas menjadi hiburan tersendiri bagi keluarga yang menunggu pasien yang dirawat. Mengingat televisi ini berada di tempat yang menjadi pertemuan beberapa kamar di ruang Melati ini, maka banyak pula orang yang memanfaatkan untuk mengisi waktu dengan menyaksikan tayangan yang ada di televisi.

            Pada malam pertama saat Nara masuk perawatan di ruangan ini, masih belum terlalu banyak pihak yang memanfaatkan menonton tayangan televisi. Dalam ruangan Melati ini televisi hanya tersedia dua buah. Yang pertama di ruang depan tempat berkumpulnya para perawat yaitu dekat ruang eksekusi. Yang kedua ya di pertemuan berbagai kamar di ruang Melati ini. Pada malam hari menjelang pkl. 24.00, seluruh akses keluar masuk ruang Melati terkunci. Saat itu para perawat yang kebanyakan perempuan tidur di ruang depan yang menjadi pusat administrasi dan penanganan pertama pasien. Ayah yang masih belum terlalu mengtantuk mencoba untuk menahan mata dengan menyaksikan tayangan berita di sebuah televisi swasta.

            Saat itu hanya ada seorang bapak berkopiah bundar yang duduk menghadap siaran berita yang ditayangkan oleh stasiun televisi milik pengusaha asal Aceh. Ayah mencoba menemani bapak itu sambil mengikuti pula perkembangan berita yang sedang menghangat. Saat itu siaran berita sedang meliput mengenai pelaksanaan hukuman mati terhadap enam narapaidana kasus narkotika. Bapak tadi penasaran ingin melihat tayangan langsung pelaksanaan hukuman tembak yang sedianya dilakukan tengah malam itu. Namun hal itu tidak mungkin akan disaksiikannya mengingat eksekusi hukuman mati tidak akan ditayangkan secara terbuka. Setelah ayah sempat menjelaskan perihal itu, sekilas bapak tadi tampak kecewa karena dari tadi dia ingin menyaksikan pelaksanaan eksekusi. Ya ampun, pak..’ga mungkin lah disiarkan langsung adegan orang ditembak di depan umum. Yang ada ya, kita tiba-tiba taunya mereka sudah meninggal ‘gitu aja…

            Namun kekhusyukan menyaksikan tayangan televisi seperti pada malam pertama ini tampaknya tidak terulang pada hari berikutnya. Hal ini dikarenakan pada hari minggu malam masuklah seorang pasien baru yang menempati ruang televisi itu. Kapasitas dalam ruangan Melati sudah terlalu penuh. Empat  kamar yang disediakan untuk pasien sudah tidak memadai lagi. Di ruangan tempat Nara menginap sudah dihuni oleh enam pasien yang masing-masing tiga tempat tidur saling berhadapan membujur antara timur dan barat. Datangnya dua pasien tambahan tentu membuat mereka tidak bisa masuk ke dalam kamar. Sambil tetap terbaring di atas brankar, dua pasien itu tidur di ruang televisi yang secara tidak langsung berarti tidur di tempat yang menjadi perlintasan lalu lalang orang yang berkepentingan di situ.

            Adanya penghuni tambahan membuat acara nonton televisi tidak lagi “sakral”, mengingat meja yang menjadi tempat berkumpul para penunggu sudah disingkirkan supaya penghuni baru bisa mendapatkan tempat yang lebih longgar. Namun keseruan nonton televisi kembali terjadi kala siaran televisi menayangkan acara sepak bola liga SCM. Saat itu yang sedang ditayangkan adalah pertandingan Persebaya melawan Persija. Beberapa pertandingan lain yang ditayangkan pun sempat mencuri perhatian para bapak yang sedang menyediakan waktu untuk menunggu putra dan putrinya yang masih tinggal dirawat dalam ruang Melati.


( Okky T. Rahardjo, 085645705091, okkie_rahardjo@yahoo.com, 518CC94A )

Kenangan di RSUD Dr. Soedono Madiun (1) : Dari Ruang Eksekusi Hingga Ruang Melati



            Sabtu malam, 17 Januari 2015 sekitar pkl. 22.00, Nara yang sudah tidur terlelap tiba-tiba muntah. apa yang sudah dia konsumsi saat itu keluar tanpa kompromi, sekalipun dia tidak banyak makan apa pun malam itu. Muntahnya Nara ini sebenarnya lanjutan dari hari Jumat malam sekitar pkl. 01.00 ( Sabtu dini hari). Ada banyak hal yang bisa diduga sebagai penyebab. Diantaranya karena dia sempat memakan buah yang tanpa disadari sudah basi. Buah tersebut tersaji dalam semangkuk es yang tidak bisa ditebak bagian mana yang sudah tidak layak makan. Seharian berikutnya dia pun juga tidak mau mengisi perutnya kala waktu makan tiba. Jadila pertahanan fisiknya melemah.

            Segera saja ketika dia muntah Sabtu malam itu, ayah dan ibu berinisiatif membawanya ke sebuah Puskesmas setempat. Mengendarai sepeda motor di sela gerimis yang mengucur, Nara didekap   ibu dalam perjalanan menuju Puskesmas Takeran. Perjuangan menembus malam saat itu terasa sia-sia ketika petugas Puskesmas tidak bisa menerima pasien dikarenakan kondisi ruangan yang sudah penuh. Nara juga tidak sempat diperiksa hanya dianjurkan langsung ke rumah sakit besar saja yaitu RSUD Dr. Soedono Madiun. Takeran memang masuk wilayah Magetan, namun rujukan medis terdekat tertuju pada rumah sakit yang ada di kawasan Madiun. Hal ini mengingat rumah sakit yang masuk wilayah Magetan masih terlampau jauh letaknya.

            Setelah pulang sejenak, akhirnya diputuskan untuk membawa Nara ke rumah sakit di Madiun sesuai anjuran petugas Puskesmas. Sekalipun tanpa surat tertulis, saat itu kami meyakini bahwa kalau dalam keadaan darurat tentu pihak rumah sakit tidak akan menolak. Pertimbangan berikutnya yaitu bagaimana cara membawa Nara ke rumah sakit Madiun. Apakah akan menembus malam lagi yang kala itu sedang dilanda hujan rintik-rintik atau apakah ada cara lain. Jadilah mbah putrinya (Mbah Ti) mencoba menghubungi salah seorang tetangga yang punya mobil. Usaha mengganggu tetangga malam itu berhasil dengan bersedianya mantan kepala desa yang tinggal tak jauh dari rumah untuk mengantar dengan mobilnya. Ibu, Nara dan mbah Ti serta adik ibu yaitu om Andre mengantar Nara menuju rumah sakit yang terletak di kawasan pusat kota Madiun. Sementara ayah menyusul menggunakan motor sendirian.

            Setiba di rumah sakit, ayah segera mengurus administrasi awal mengenai identitas pasien serta kelengkapan lain yang diperlukan. Setelah diperiksa oleh dokter jaga di bagian IRD maka diputuskan bahwa Nara harus opname di rumah sakit yang berada di jl. Dokter Soetomo itu. diagnosis awal oleh dokter yang menerima yaitu Nara mengalami kekurangan cairan akibat muntah banyak namun tidak banyak yang mengisi perutnya. Selanjutnya Nara dibawa menuju ke ruangan perawatan anak yang terletak di lantai atas. Sementara itu ayah mengurus administrasi sambil menebus obat yang diresepkan oleh dokter jaga. Saat itu dokter jaga mengatakan bila ruangan yang tersedia tinggal satu tempat tidur di kamar kelas tiga. Ayah pun menyetujui penempatan Nara di situ, mengingat secara kebetulan Nara sudah dimasukkan dalam jaminan BPJS kategori kelas tiga.

            Ketika berada di ruang Melati yang terletak di lantai dua inilah drama perawatan Nara dimulai. Saat ayah sudah menyusul di ruangan itu, Nara masih belum ditangani. Wajahnya masih terlihat pucat dalam gendongan ibu. Saat itu masih ada seorang lagi pasien yang ditangani oleh petugas medis di “ruang eksekusi”. Kami menamakan sebuah bilik sebagai ruang eksekusi karena di sinilah seorang anak ditangani terlebih dulu sebelum akhirnya dimasukkan ke kamar yang tersedia untuk masing-masing pasien. Samar terdengar bahwa pasien yang sedang ditangani bernama Haikal yang berumur sekitar 7-8 tahun. Saat itu dia mengalami luka di kaki yang tak terlalu jelas penyebabnya.

            Giliran berikutnya Nara yang ditangani di ruang eksekusi. Seorang dokter muda pria berwajah India segera menangani Nara dibantu oleh tiga orang suster. Ketika Nara dibaringkan oleh ibu di brankar yang menjadi tempat penanganan, Nara mulai protes. Saat itu Ibu dan ayah yang berusaha membantu memegang Nara diminta menunggu sambil duduk di luar bilik. Ayah dan ibu sempat miris mendengar Nara yang menangis sambil berteriak kesakitan “atit bu..atit bu..sama ibu..ibu sini..sudah bu…”. Ayah dan ibu cuma bisa terdiam, terpaku dan tak kuasa berbuat apapun. Mengingat saat itu Nara sudah menjadi bagian penanganan para tim medis. Mau menolong jelas tidak mungkin, tidak menolong tapi kok sepertinya tidak tega. Mungkin kedua hal itulah yang sempat berkecamuk dalam pikiran ayah dan ibu. Sekilas terlihat ibu menitikkan air mata, ayah pun gelisah mendengar tangis putri pertamanya ini. Mereka risau dalam usia yang masih menginjak dua tahunan sudah dua kali masuk rumah sakit yang sama. Saat pertama kali yaitu ketika hari pertama dia lahir ternyata tidak mau respon menerima cairan.

            Setelah sekitar sepuluh menit Nara “dieksekusi” oleh tim medis dengan hasil adanya jarum infus yang menempel di tangan kiri, Nara pun diboyong menuju ruangan kamar. Ruang Melati kamar III D menjadi hunian sementara Nara sejak malam itu untuk beberapa hari selanjutnya. Total penghuni ruangan pada malam itu sebanyak enam anak. Nara malam itu tertidur ditunggui oleh ibu, ayah dan mbah ti yang memutuskan untuk tidak pulang.


            Pada malam inilah kisah perawatan Nara dimulai. Saat inilah mulai terbayang betapa menderitanya anak usia dua tahun tujuh bulan ini yang harus dirawat di rumah sakit dengan segala hal yang harus dihadapi berikutnya. Di sinilah salah satu ujian berat yang harus dialami oleh ayah dan ibu selaku orang tua. Sepintas apa yang dialaminya saat ini hampir sama dengan kala dia masih berusia beberapa jam setelah lahir yaitu kekurangan cairan. Mudah-mudahan penanganan yang baik dialami Nara saat ini. Ya Tuhan, pakailah tim medis untuk bekerja dengan baik. Pada mereka lah kami percaya Engkau sudah menitipkan kuasa-Mu yang tak terbatas itu.

( Okky T. Rahardjo, 085645705091, okkie_rahardjo@yahoo.com, 518CC94A )

Minggu, 04 Januari 2015

Selamat Bersibuk Lagi,




Hari ini Senin, 5 Januari 2015 merupakan hari pertama segala aktivitas dimulai pasca libur panjang. Siswa yang bersekolah pun mmulai masuk. Pekerja dengan berbagai latar belakang profesi pun mulai bekerja lagi. Di Surabaya geliat aktivitas itu pun mulai tampak dengan penuh semangat lagi. Sungguh tak ada satu orang pun yang malas.

Siswa sudah mulai memenuhi jalan raya untuk menuju ke sekolah. Pegawai kantoran sudah mulai rapi dengan seragam dinasnya. Penjual di pasar juga mulai semangat menata dagangannya. Polisi pun juga tak ketinggalan semangat untuk melakukan tugasnya. Sementara yang bertugas di Polda Jawa Timur dan RS Bhayangkara untuk mengidentifikasi korban AirAsia pun juga tidak kendor semangat untuk melakukan tugas kemanusiaan. Hari ini Surabaya kembali bergeliat lagi.

Setelah beberapa hari menikmati libur panjang, tepat hari ini aktivitas mulai normal. Yang mengabdi di sekolah seperti saya pun juga mulai semangat menjalankan tugas. Guru-guru sudah mulai menata diri untuk melanjutkan kegiatan belajar mengajar. Berbagai obrolan pun sudah singgah di ruang guru yang mungil. Mulai perbincangan masalah kurikulum yang digunakan seputar Kurikulum 2013 dan KTSP, pencarian korban Air Asia hingga tertangkapnya salah seorang wakil kepala sekolah di sebuah SMA Negeri di Surabaya. Semua hangat menjadi satu dengan ucapan selamat hari natal dan tahun baru yang dibalut sajian oleh-oleh khas yang dibawa guru yang menikmati liburan di luar kota.

Raya Darmo mulai padat lagi. jl.  A. Yani pun macet lagi. Area jl. Tunjungan juga ramai lagi. Demikian pula yang mengarah ke Suramadu, Kalianak maupun Margomulyo. Tidak ada lagi kesempatan untuk santai. Namun tetap berhati-hati dan waspada dalam beraktivitas di jalan raya. Saatnya memantau perkembangan lalu lintas lagi di radio kesayangan. Waktunya membaca koran lagi dari tukang koran langganan di pojok jalan. Yang pasti, inilah kesibukan sudah dimulai lagi di segala penjuru kota

Sungguh hari ini kesibukan sudah dimulai. Sungguh hari ini aktivitas sudah mulai normal. Sungguh hari ini segalanya berjalan lancar. Kalau hari ini, kami yang di sekolah sudah siap beraktivitas (sekalipun kantuk masih melanda, karena terbiasa bangun siang beberapa waktu lamanya). Bagaimana dengan anda, sudah siapkah dengan aktivitas di tahun yang baru ini ? Selamat menjalani kesibukan yang sudah menanti di tahun yang baru ini. Jangan lupa, tetap jaga kesehatan.

( Okky T. Rahardjo, 085645705091, 518CC94A, okkie_rahardjo@yahoo.com )

Sumber gambar : skyscrapercity.com