Selasa, 28 Juli 2015

Edisi Jaga Kampung (2) : Tugas Jaga Bersama Pak Saiful



            Malam kedua merupakan giliran saya tugas jaga bersama Pak Saiful. Beliau ini tinggal di blok I yang terletak di gang belakang rumah saya. Menjelang pkl. 21.00, saya sudah bersiap di perempatan menata tempat duduk untuk berjaga semalaman. Sementara Pak Saiful ada di ujung gang yang satu untuk mengawasi sembari mengobrol bersama beberapa orang yang masih terjaga.

            Lima belas menit kemudian datang seorang ibu bersama seorang anak sambil membawa nampan berisi gelas. Rupanya Bu Sum sudah menyiapkan sajian minuman untuk bekal kami berjaga. Satu tempat minum yang besar berisi teh hangat, sedangkan yang lebih kecil berisi kopi. Gelas kecil disiapkan sebanyak tiga buah tertata dalam sebuah nampan plastik. Namun melihat tidak ada makanan dalam kursi tempat jaga kami, maka Bu Sum berinisiatif membelikan dua bungkus roti sisir di warung Pak Min yang masih buka di malam itu.

            Wah, lumayan pada jaga kali ini ada yang menyumbang konsumsi. Tidak cukup roti dan minuman hangat, setandan pisang pun diletakkan berderet menemani sajian lain yang sudah muncul lebih dulu. Sudah cukup ? Belum...Bu Sum masih menyediakan diri untuk membuat masakan bagi kami yang berjaga malam itu. Segera setelah masakan tersaji, saya menghubungi Pak Saiful untuk bergabung duduk di lincak tempat jaga yang sudah saya siapkan tadi. Nikmat sekali jaga malam dengan menyantap makan malam yang berlauk daging.

            Usai menikmati makanan, Pak Saiful kembali berkeliling sambil melanjutkan ngobrol bersama bapak-bapak di ujung gang Blok I yang tadi. Saya sengaja belum berkeliling, menunggu malam makin larut sehingga suasana sudah sepi. Saya duduk di perempatan sembari menanti kedatangan absensi yang harus ditanda tangani oleh kami selaku tim jaga. Pada malam kedua ini beberapa warga sudah mulai mudik mengingat ini adalah malam takbiran. Beberapa rumah sudah mulai sunyi ditinggalkan oleh penghuninya.

            Tidak hanya banyak warga yang mulai mudik, di kampung kami pun mulai kembali beberapa orang yang sebelumnya bekerja di luar kota. Ya dengan kata lain, mudik juga tapi ke komplek perumahan kami. Sebagaimana malam itu sekitar pkl. 01.00, datang sebuah mobil yang ternyata merupakan rombongan keluarga Pak Komari. Mereka ini baru saja menjemput Pak Komari yang turun di Stasiun Pasar Turi usai naik kereta api dari arah Bandung. Adapun Pak Komari sendiri selama ini bekerja di Tasikmalaya. Selama saya dua kali jaga kampung, dua kali pula saya menjumpai Pak Komari mudik datang tengah malam seperti ini.

            Malam makin menunjukkan kekelamanya. Pak Saiful mulai gabung bersama saya. Pak Saiful menyiasati jaga malam dengan berbekal sebuah speaker aktif dan sebungkus rokok. Kami menghabiskan malam dengan berbincang kesana kemari untuk memecahkan kekakuan dan mengalahkan kantuk di malam hari. Pak Saiful ini sebenarnya asli Lumajang, setiap tahun mestinya selalu mudik untuk berlebaran di wilayah yang berbatasan dengan lereng gunung Semeru itu. Namun kali ini dia terpaksa tidak bisa mudik dikarenakan baru mempunyai anak berusia lima bulan. Dia tidak berani mengajak sang putra untuk perjalanan jauh membawa sepeda motor. Oleh karena itu dia mau menerima tawaran untuk jaga kampung selama musim mudik ini.

            Pak Saiful termasuk pria yang humoris dan suka memberi bumbu-bumbu yang menarik dan menyenangkan di setiap kisah yang dia ceritakan. Beda dengan Pak Iwan yang lebih suka menceritakan segala sesuatu yang dialaminya secara apa adanya. Makin seru berjaga dengan Pak Saiful karena speaker aktif mini yang dibawanya selalu menyuarakan lagu-lagu dangdut lama. Penasaran dengan hal itu saya pun bertanya seputar lagu dangdut yang disukainya, mengingat kalau artis-artis dangdut era jadul saya masih bisa memahami dibandingkan yang sekarang ini.

            Pak Saiful mengungkapkan bahwa dia masih lebih suka lagu-lagu dangdut era jadul dibandingkan yang sekarang ini karena lagu-lagunya lebih punya makna. Kalau yang sekarang, hmmm...Cuma mengandalkan goyangan saja. Sementara pada pemilihan kata seringkali jorok dan asal-asalan. Ya, untuk kali ini saya sepakat dengan Pak Saiful. Betapa kami mengagumi lagu-lagu dangdut masa lalu yang minim goyang tapi lagunya benar-benar murni dari hati dan bisa dinikmati oleh siapa saja. Pak Sul pun lancar menyebut nama-nama artis dangdut masa lalu macam Johny Iskandar, Muchsin Alatas, Mansyur S, Ida Laela, Evie Tamala, Iis Dahlia, Elvy Sukaesih dan tak ketinggalan Rhoma Irama tentunya.

            Perbincangan kami sudah mulai melebar kemana-mana sampai pada pembahasan tentang beberapa artis yang minim prestasi namun banyak sensasi. Apalagi kalau artis-artis tersebut melejit hanya karena mengumbar nafsu dan kecantikan fisik semata. Namun perbincangan kami tersebut bukan sekedar ngelantur, hal ini disebabkan ada seorang gadis yang baru melintas di depan kami dengan mengendarai sepeda motor dan mengenakan pakaian yang tampak bagus serta dandanan yang masih cantik. Padahal saat itu waktu menunjukkan pkl. 02.00, saat orang sudah seharusnya terlelap tidur.
            Kami mengenali gadis tersebut sebagai salah seorang anak penghuni blok N yang termasuk wilayah RT sebelah. Apapun yang dilakukan di luar sana, tidak ada yang bisa menilai. Positif maupun negatif tidak ada yang bisa menduga. Namun kalau seorang remaja putri usia kelas 3 SMA baru pulang lewat tengah malam, tentu akan mengundang pikiran yang negatif dari orang-orang yang mengetahuinya. Ya itulah pentingnya untuk menjaga diri ketika hidup bermasyarakat.

            Tak terasa kentongan pos satpam sudah berbunyi sebanyak tiga kali. Hal ini berarti kami harus segera mengakhiri tugas jaga. Mata sudah mulai mengantuk, obrolan pun mulai kering dan tenaga juga sudah menuju lelah. Namun petugas tanda tangan belum segera melintas. Menjelang pkl. 03.30, Pak Saiful mulai berinisiatif untuk menelpon ke petugas RW yang biasanya kontrol. Sekitar sepuluh menit kemudian, Supri sang petugas datang sambil membawa map berisi lembar tanda tangan. Usai Pak Saiful membubuhkan absen tanda tangan, kami pun berpisah.

            Besok pagi saya masih harus berjaga di kala orang sedang sembahyang Idul Fitri. Malamnya baru saya bebas. Sementara saya mau tidur dulu mumpung masih ada waktu...

            ( Okky T. Rahardjo, 085645705091, 518CC94A )

           


Minggu, 26 Juli 2015

Edisi Jaga Kampung (01) : Tugas Bersama Pak Iwan





            Jarum jam menginjak pkl. 21.00, saat itu Pak Iwan tetangga yang tinggal di blok P datang ke rumah saya. Kunjungannya malam itu untuk menghampiri saya guna jaga malam bersama pada hari pertama. Ya, hari itu sampai beberapa hari ke depan saya bersama dua orang lain bertugas untuk jaga kampung di wilayah RT 17 guna keamanan rumah warga yang sedang ditinggal mudik.

            Malam itu, Rabu 15 Juli 2015 merupakan giliran pertama untuk jaga kampung. Mungkin lebih tepatnya jaga komplek ya, karena wilayah yang kami diami ini merupakan lokasi perumahan. Sebagaimana terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, tiap wilayah RT diberi tugas untuk menjaga lingkungan masing-masing. Nah pada RT kami tugas jaga ini dipercayakan pada tiga orang. Selain saya sendiri, ada juga Pak Iwan dan juga Pak Saiful. Peserta tetap jaga mulai tahun lalu adalah saya dan Pak Iwan. Sementara seorang lagi seringkali diserahkan pada warga yang tidak mudik namun diyakinkan untuk mau menjaga.

            Memang tidak mudah untuk mengajak partisipasi warga supaya terlibat jaga keamanan kampung. Selain mereka banyak yang mudik ke keluarga asalnya, juga kebanyakan lebih memilih membayar iuran saja dari pada ikut begadang semalaman. Saya sendiri pun baru tahun kedua ini ikut jaga kampung, mengingat pada periode-periode sebelumnya papa saya yang bertugas jaga. Nah, ketika beliau sudah almarhum maka tak mudah untuk mencari penggantinya. Mau tak mau tugas jaga ini pun diwariskan pada saya. Sedangkan Pak Iwan sudah mulai ikut tugas jaga sejak pertama kali ada pembagian jaga empat tahun lalu bersama papa saya.

            Malam itu kami berdua mulai tugas dengan duduk berdua di depan rumah yang terletak di ujung blok. Tepatnya di depan rumah E-01 kami duduk di bawah cahaya yang temaram, karena fasilitas listrik yang sudah mulai minim. Pemilik rumah yaitu Pak Rofik sudah mudik ke Madura sejak beberapa jam lalu. Ngobrol ngalor ngidul sembari mengawasi warga yang masih bertebaran di sepanjang malam itu, menjadi pilihan aktivitas kami untuk membunuh malam. Pak Wan ini termasuk orang yang seru karena selalu pandai membuat bahan pembicaraan. Apapun bisa dibicarakan dan menjadi topik yang menarik untuk diikuti.

            Pak Iwan merupakan orang Sunda kelahiran Garut yang beristrikan perempuan asal Tulungagung. Sang istri sudah lebih dulu berangkat mudik siang sebelumnya. Sementara Pak Iwan memilih untuk berjaga di komplek perumahan sampai usai lebaran. Sembari penasaran saya sempat bertanya pada Pak Iwan mengapa dia memilih ikut berjaga di komplek dari pada ikut istri mudik ke Tulungagung atau pulang ke Garut. Saya heran saja, kalau alasan demi keamanan warga maka terlalu normatif untuk dijadikan alasan. Saya menduga pasti ada alasan lain yang menjadi pegangan, sehingga empat tahun ini lebih memilih bertahan di Gresik dari pada ikut latah mudik sebagaimana warga kebanyakan.

Pak Iwan punya argumen tersendiri mengapa tidak mau ikut istrinya ke Tulungagung untuk berlebaran di rumah mertua. Menurut dia, berlebaran di kota yang berbatasan dengan Kediri itu tidak ubahnya seperti hari biasa. Bagaimana tidak, ketika dia berkunjung pada hari biasa di rumah mertuanya itu sering mendapatkan suguhan makanan daging ayam yang dijadikan opor. Sementara ketika lebaran menu yang sama pun didapatnya tak beda ketika hari biasa itu. Dia membandingkan ketika berlebaran di Garut, makanan yang dinikmati saat hari-hari istimewa berbeda dengan hari biasa. Hal itulah yang membuat lebaran terasa beda dengan hari lain pada umumnya.

Selain itu Pak Iwan juga merasa kurang nyaman karena ketika waktunya silaturahmi seringkali menunggu saat usai Maghrib tiba. Sementara pada warga kebanyakan usai menunaikan Sholat Ied langsung berderet untuk bersalaman ke masing-masing tetangga. Hmm, lain lubuk lain ikannya. Lain padang lain belalang. Lain tempat lain pula adatnya. Namun semua boleh dan sah saja untuk menjadi pertimbangan pribadi, termasuk bagi pak Iwan ini.

Sementara pilihan untuk tidak mudik ke Garut diambilnya mengingat selain kedua orang tua sudah tidak ada juga dalam waktu dekat dia akan pulang ke sana untuk menghadiri pernikahan salah satu kerabat. Dari pada harus dua kali bolak balik ke sana, Pak Iwan pun memilih lebaran tidak mudik ke Garut.

Dalam tugas jaga ini kami bertiga mendapatkan imbalan sekedar pengganti uang lelah, yang nilainya lumayan juga untuk tugas selama tujuh hari. Namun tentu sangat naif kalau alasan dapat imbalan uang dijadikan dasar mau berpartisipasi menjaga keamanan kampung. Setiap warga sebelum mudik membayar iuran sebesar lima puluh ribu yang salah satu alokasi dana iuran tersebut digunakan untuk membayar jasa warga yang mau bertugas jasa. Menariknya, setiap tahun imbalan jaga ini selalu naik sekitar lima puluh ribu. Ya lumayan buat penambah semangat untuk yang bertugas jaga.

Kami mendapatkan tugas jaga ini terdiri atas tiga orang, namun dalam setiap harinya diatur sehingga sepertinya ada dua orang yang berjaga sedangkan yang satu beristirahat. Sementara itu dalam rentang tiap jam ada seorang petugas dari lingkungan RW yang berkeliling mengedarkan absen tanda tangan bagi yang berjaga mulai RT 11 sampai RT 17. Malam pertama kami sudahi sampai pkl. 02.30 mengingat Pak Wan masih harus menyiapkan makan sahur dan saya sendiri merasa kurang prima karena dinginnya udara Surabaya beberapa hari ini yang diakibatkan adanya gejala alam yang disebut Badai Nangka.

Tugas jaga ini dibagi dalam dua sesi. Sesi satu dimulai pagi hingga  siang hari dan sesi malam berlangsung sampai menjelang subuh. Pagi hari besoknya Pak Saiful yang berjaga sendirian. Sementara pada keesokan malam giliran saya kembali bertugas jaga bersama Pak Saiful. Mudah-mudahan berjaga bersama Pak Saiful tidak kalah seru dengan saat berduet bersama Pak Iwan, supaya tidak cepat ngantuk kala malam tiba....
           
( Okky T. Rahardjo, 085645705091, 518CC94A )


Kamis, 23 Juli 2015

Srimulat Riwayatmu Kini




           Kamis siang, 23 Juli 2015 secara spontan saya memindah chanel TV pada saluran Kompas TV. Saat itu terlihat di layar televisi seorang bintang komedi senior yaitu Bambang Gentolet sedang diwawancara. Melihat sosok pelawak yang cukup gaek ini saya pun langsung menyediakan diri untuk menyaksikan tayangan ini. Rupanya saat itu Kompas TV sedang menyiarkan acara talk show komedi bernama “Do-It” yang dipandu oleh Dodit Mulyanto, seorang tokoh stand up comedy asal Surabaya.

            Acara talk show ini tayang sejak pkl. 15.00. Saya sendiri kurang hafal hari tayangnya, mungkin saja setiap hari. Saya tidak pernah tahu pasti, hanya saja ketika pas kebetulan tayang dan temanya menarik saya berusaha untuk menyaksikannya. Kali ini topik yang diangkat sangat menarik dan mengusik perhatian saya. Topik tersebut yaitu bertajuk “Srimulat Riwayatmu Kini”. Bukan apa-apa, saya tertarik dengan tema ini karena saya merupakan salah satu penggemar Srimulat. Oleh karena itu apa saja yang berbau Srimulat saya usahakan untuk memperhatikan semampu saya.

            Saat itu yang hadir sebagai bintang tamu mewakili Srimulat selain Bambang Gentolet juga hadir Okky Marfuah yang termasuk anggota Srimulat Surabaya era generasi baru. Dodit yang merupakan host dalam acara talk show ini tampak kewalahan meladeni jawaban yang diberikan oleh kedua pelawak ini. Betapa tidak, pertanyaan yang maksudnya serius pada akhirnya menjadi tidak terarah karena jawaban yang diberikan seringkali melenceng dari seharusnya. Ya begitulah resikonya kalau mengajak pelawak berdiskusi.

            Bambang Gentolet yang dalam diskusi ringan siang itu mengenakan baju putih bertutul mencoba menyatakan kerinduannya bahwa suatu kali Srimulat khususnya yang di Surabaya akan menemukan kembali kejayaannya. Dodit saat itu bertanya kapan Bambang bergabung dalam barisan Srimulat. Pelawak yang saat ini tinggal di kawasan Manukan Surabaya ini menjawab bahwa Srimulat berdiri pada tahun 1961, sementara dia sendiri bergabung dalam grup lawak pimpinan Teguh ini pada bulan November 1969. Sampai hari ini tidak sekalipun dia tercatat mundur dari Srimulat sekalipun perkembangan grup lawak raksasa ini sepertinya kembang kempis.

            Sementara itu Okky Marfuah mengatakan dia bergabung dalam personel Srimulat Surabaya pada era 1990an. Pada awalnya dia merupakan seorang penyanyi dangdut yang kemudian ditarik untuk masuk meramaikan formasi lawak. Marfuah tampak menemukan jati dirinya sebagai pelawak perempuan yang kenes dengan logat Madura yang mampu mengocok perut siapa saja yang mendengarkan celotehannya. Bila menyaksikan aksinya ketika melawak, Marfuah sepertinya mampu menjadi ikon tersendiri setelah era pelawak perempuan asal Srimulat Solo yaitu Nunung, yang kini sukses di dunia hiburan ibu kota. Namun bila mendengarkan logat Madura yang diucapkannya sepintas mengingatkan kita pada era keemasan Marlena, bintang ludruk Surabaya era 1980an.

            Namanya juga pelawak Srimulat, tentu ada saja aksi yang ditampilkan oleh keduanya yang mengundang tawa baik bagi penonton di studio maupun yang menyaksikan di rumah. Seperti ketika usai jeda iklan dan memasuki segmen berikutnya, tiba-tiba saja terlihat kaki Bambang Gentolet hilang satu. Ketika obrolan mulai berlangsung, Bambang tiba-tiba nyeletuk kalau dia kehilangan kaki kanannya. Dodit yang pada awalnya akan menimpali keisengan Bambang ini langsung dipotong oleh Marfuah kalau yang dilakukan Bambang Cuma sekedar aksi untuk mengundang kelucuan. “Hayo, sikile ditekuk ben ketoke lucu yoo...”. Demikian protes Marfuah pada Bambang yang membuat dia  menjadi salah tingkah karena tingkah lakunya ditebak oleh rekannya sendiri. Bambang pun akhirnya mengembalikan kakinya sendiri sambil cengar-cengir.

Ya yang begini ini memang humor khas Srimulat yang sudah umum namun tetap mengundang tawa ketika diperagakan. Beberapa pelawak Srimulat sering beratraksi “menghilangkan kaki”. Mulai dari Timbul, Asmuni hingga Mamik yang sebenarnya diawali oleh Gepeng, pelawak cerdas asal Solo. Setiap pelawak Srimulat memiliki gaya dan aksi tersendiri yang seakan menjadi ikon masing-masing personel. Asmuni yang seringkali mengucapkan kata “hil yang mustahal”. Triman yang kerapkali bergaya layaknya pengusaha kaya sambil menggerakkan kaki seperti berdansa. Gepeng yang kalau bicara suka menunjuk tapi jarinya terbalik pada wajahnya sendiri serta banyak lagi ciri khas masing-masing personel Srimulat.

Marfuah pada siang itu juga berusaha mengeluarkan jurus lawakannya dengan meyakinkan bahwa dia dulu adalah penyanyi. Oleh karena itu Marfuah juga berkata bahwa dia pun mampu menyanyikan lagu barat. Dodit yang penasaran pun mempersilakan Marfuah mengeluarkan kemampuannya untuk menyanyikan salah satu lagu barat. Maka menyanyilah Marfuah “happy birthday to you...happy birthday to you...”.

Srimulat Surabaya memang menjadi yang pertama ada dan bahkan yang satu-satunya masih bertahan hingga kini. Bila kita menyaksikan di tayangan televisi acara Srimulat, maka itu sesungguhnya merupakan para alumni Srimulat yang berkumpul kembali dalam sebuah program. Sejatinya para pelawak ibu kota itu sudah mundur dari Srimulat beberapa tahun sebelum Srimulat Jakarta dengan resmi dibubarkan oleh pendirinya pada tahun 1989. Sementara itu Srimulat Surabaya walaupun terseok-seok langkahnya namun tidak pernah secara pasti menyatakan bubar.

Para pejuang seni yang tergabung dalam Srimulat Surabaya sampai hari ini masih berusaha terus berjuang mengibarkan bendera grup lawak yang membesarkan namanya. Didik Mangkuprojo, Eko Tralala, Hunter Parabola, Sokle ataupun Bambang Gentolet sendiri merupakan contoh awak Srimulat Surabaya yang tak pernah lelah untuk berdiri di barisan depan menghibur penonton yang haus akan hiburan lokal. Bambang mengatakan bahwa Srimulat masih sering tampil di THR Surabaya setiap sebulan sekali. Tidak ada biaya tiket yang dibebankan, malah disediakan door prize di akhir acara. Gedung Srimulat di THR Surabaya pun kini diakuinya sudah diperbarui dengan dilengkapi pendingin ruangan serta kamar mandi yang cukup bersih. Namun yang disayangkan adalah minimnya penonton yang hadir untuk menyaksikan pertunjukan Srimulat.


Beberapa tahun lalu penampilan Srimulat Surabaya sempat berkolaborasi dengan band pelestari Koes Plus yaitu KPM band sebagai pembuka pertunjukan. Keberadaan Koes Plus Mania Band ini mampu mempengaruhi jumlah penonton yang hadir, karena menggandeng komunitas penggemar Koes Plus yang berada di Surabaya untuk hadir menjadi penonton Simulat Surabaya. Srimulat Surabaya sebagaimana hiburan lokal lainnya, saat ini tengah berjuang keras melawan perubahan jaman yang menawarkan hiburan lain yang lebih modern. Jumlah penonton yang terus menyusut seringkali membuat ciut nyali para insan panggung ini.

Dodit pun menanyakan pada Bambang Gentolet selaku senior Srimulat, sebuah pertanyaan klise namun tetap mengena. Apakah Srimulat juga melakukan regenerasi pada pelawak-pelawak muda. Bambang Gentolet menjawab dengan gaya serius namun tetap santai. Terarah namun tetap jenaka. “Srimulat pernah manggung keliling ke daerah-daerah untuk mencari generasi baru di dunia lawak...” demikian jawab Bambang. “Lalu apakah ada hasilnya, pak Bambang...” kejar Dodit. Bambang menjawab lugas “Ada, sudah muncul pelawak-pelawak baru...Tapi sekarang mereka ada di rumah...Karena tidak banyak yang mau menanggap mereka...”.

Bambang pun mengakhiri perbincangan dengan mengatakan bahwa sebenarnya Srimulat siap saja menghibur siapa saja. Setengah berpromosi dia berkata bahwa dirinya bersama teman-teman yang lain siap untuk diundang menghibur di acara ulang tahun, perkawinan ataupun acara-acara lain yang membutuhkan hiburan. Kesempatan yang diberikan pada mereka sama saja menimbulkan rangsangan untuk bangkitnya kembali kejayaan Srimulat.

Menyimak perbincangan tersebut membuat kenangan akan kepopuleran mereka terkenang kembali. Saat-saat kita bisa menyaksikan hiburan dengan tertawa yang keluar tulus dari hati bukan karena dibayar atau disetting oleh stasiun televisi. Masa-masa ketika kita bisa tersenyum geli mendengar celotehan mereka bukan karena mendengar seorang pemain mencela lawan mainnya. Ketika menyaksikan berbagai hiburan modern yang ditayangkan oleh stasiun televisi yang beraneka ragam, tanpa sadar ternyata jauh dalam hati akan terungkap bahwa kita masih membutuhkan Srimulat. Terima kasih Srimulat, kalian akan selalu menjadi hiburan bagi kami...

( Okky T. Rahardjo, Penggemar Srimulat, 085645705091, 518CC94A )