Menjelang berakhirnya bulan September ini, kita akan mencoba mengenang kembali masa-masa perjuangan seniman musik Koeswoyo bersaudara. Sebagian besar dari kita mungkin sudah mengetahui kisah ini, tapi tak ada salahnya kita mengenang kembali peristiwa itu. Sebagaimana yang kita ketahui, pada akhir September empat puluh lima tahun yang lalu, Koes Bersaudara keluar dari tahanan yang mengurung kebebasan mereka selama sekitar tiga bulan itu.
Semua berawal pada 24 Juni 1965, Koes Bersaudara hadir di sebuah pesta yang diadakan oleh Koesno, seorang Kolonel Angkatan Laut. Selain Koes Bersaudara, turut diundang pula grup musik lain yaitu Quarta Nada dan Dara Puspita. Pesta yang berlangsung di daerah Djati Petamburan, Tanah Abang Jakarta itu dihadiri juga oleh beberapa duta besar , atase militer Amerika Serikat, serta perwira angkatan darat dan angkatan laut.
Sebagian besar pengunjung yang hadir malam itu meminta grup yang tampil untuk menyanyikan lagu-lagu barat. Sesuatu yang saat itu dianggap tabu oleh pemerintah, terpaksa dilanggar demi memenuhi kepuasan penonton. Koes Bersaudara mendapatkan giliran yang terakhir untuk tampil. Tidak begitu lama setelah Tonny Koeswoyo mendendangkan tembang populer dari The Beatles, I Saw Her Standing There hujan batu pun mulai bermunculan melanda rumah itu. Semua yang hadir termasuk pengisi acara menjadi sasaran amuk massa yang dengan beringas berteriak “ Ganyang Nekolim, Ganyang Manikebu atau Ganyang Ngak-Ngik-Ngok “.
Koes Bersaudara yang saat itu terpaksa turun dari panggung, dipaksa keluar rumah oleh massa yang sudah tidak bisa menahan diri itu. Beberapa pemuda menuntut Koes Bersaudara untuk meminta maaf karena menyanyikan lagu-lagu barat, selanjutnya Tonny Koeswoyo dan adik-adiknya diminta menyanyikan lagu “Nasakom Bersatu” sebagai bukti “pertobatan” mereka. Tonny Koeswoyo kemudian meminta maaf dan menanda tangani pernyataan untuk tidak mengulangi lagi perbuatan itu.
Tak pernah disangka, beberapa hari setelah itu Tonny Koeswoyo dijemput paksa oleh tiga orang petugas Kejaksaan Negeri Istimewa. Rupanya kasus memainkan musik itu sudah sampai pada pihak pemerintah. Setelah menjawab beberapa pertanyaan, ternyata Tonny tidak diijinkan untuk pulang. Tak beberapa lama, menyusul Yon Koeswoyo yang juga dijemput oleh petugas kejaksaan berseragam hijau-hijau. Belakangan menyusul juga Yok lalu Nomo Koeswoyo untuk menjalani pemeriksaan.
Setelah mengalami berbagai tanya, sangka dan duga yang tak berujung di Kantor Kejaksaan Negeri yang berada di Jalan Gajah Mada, Koes Bersaudara harus mengalami proses yang tak pernah mereka kira sebelumnya. Koes Bersaudara dianggap tidak mengindahkan peringatan tentang pelarangan musik ngak-ngik-ngok. Oleh karena itu, sebagai akibatnya keempat personel itu menerima Surat Perintah Penahanan Sementara bernomor 22/023K/SPPS/1965 yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Negeri Istimewa Jakarta dan ditanda tangani oleh jaksa Aroean. Surat itu membuat mereka harus mendekam di dalam Lembaga Pemasyarakatan Khusus Glodok.
Penangkapan Koes Bersaudara diikuti dengan penyitaan peralatan musik mereka serta penggeledahan surat-surat. Tidak ada yang berbahaya dari surat-surat itu, karena ternyata hanya surat-surat dari penggemar.
Koes Bersaudara saat itu di-cap sebagai pelopor Subversi di Bidang Kebudayaan. Sesuatu yang sangat mengerikan. Saat itu, seseorang yang mendapat cap subversi adalah seperti seorang yang dikutuk oleh negara. Orang itu harus dijauhi atau bahkan dimusnahkan. Tonny Koeswoyo sempat protes dengan mengatakan “ kalau saya melakukan subversi kebudayaan, potong leher saya”. Dia tentu saja tidak terima terhadap perlakuan yang dialami, karena usahanya untuk kreatif seketika itu dipasung begitu saja. Bukannya mendapatkan bantuan dari pemerintah, tapi karya-karyanya malah dianggap cengeng.
Satu pernyataan keras sempat pula dia lontarkan “ Apakah kami harus jadi pengemis yang pekerjaannya minta-minta, pakai tempurung ? Pokoknya saya akan tetap main dan berpedoman musik untuk musik ( bukan musik untuk politik ) “. Sebuah tekad bulat dan penuh komitmen yang akhirnya malah membawa dia dan adik-adiknya pada suatu tempat terkucil dengan situasi yang tak menentu.
Rumah tahanan Glodok yang mereka tempati ternyata membawa inspirasi tersendiri. Banyak karya yang mereka hasilkan dengan berbagai kondisi yang mereka alamai saat itu. Kepedihan mereka dalam penjara tertuang dalam “ Di Dalam Bui”, kamar tahanan mereka pun menginspirasi sebuah lagu “ Balada Kamar 15 “. Kebimbangan yang mereka hadapi saat itu melahirkan sebuah lagu “ Lonceng Yang Kecil”. Yon, Yok dan Nomo pun harus menangis terharu ketika Tonny menyenandungkan “ Untuk Ayah Dan Ibu “ sebagai ungkapan kerinduan pada orang tua mereka.
Koes Bersaudara mendekam dalam tahanan bersama dengan seorang koruptor dan dua orang pembunuh. Bisa kita bayangkan, betapa buruknya gambaran persamaan musisi bersaudara yang ditahan tanpa alasan yang tidak begitu jelas itu. Namun hal itu tidak menyurutkan tekad mereka untuk terus mengabdikan diri dalam dunia musik. Tidak ada keputus asaan dan frustrasi. Yang ada hanya semangat untuk terus berkarya dan tetap berjuang dalam dunia seni.
Tepat sehari sebelum meletusnya peristiwa pembunuhan perwira Angkatan Darat atau yang dikenal dengan istilah G 30 S/PKI ( istilah nya Bung Karno “Gestok” ), Koes Bersaudara dikeluarkan dari penjara Glodok. Aruan, SH yaitu sang jaksa mengeluarkan mereka dari tahanan dengan disertai ancaman yang antara lain isinya : tidak boleh, berhubungan dengan ABRI, pers dan umum bahkan alat-alat musik yang disita tidak boleh diminta kembali.
Mendapatkan ancaman seperti itu, tidak membuat Tonny pasrah begitu saja. Dengan penuh keberanian, dia menggebrak meja penuh amarah pada Jaksa Aruan, SH sambil berkata “ Tidak selayaknya jaksa berbuat begitu…!!! ”. Beberapa hari setelah itu, Tonny Koeswoyo meminta bantuan seorang perwira ABRI yang akhirnya mengirimkan dua peleton serdadu untuk membantu Tonny mengambil alat-alat musiknya.
Selepas dari penjara, dua tahun berikutnya mereka mendapatkan kesempatan untuk rekaman lagi. Dua album mereka rekam yaitu “ Djadikan Aku DombaMu” dan
“To The So Called The Guilties “ direkam masing-masing pada bulan Januari dan Mei 1967. Kemunculan pertama kali Koes Bersaudara di atas pentas terjadi di Taman Ismail Marzuki, saat itu Koes Bersaudara sama sekali tidak sudi memberi hormat pada seorang jaksa yang kebetulan duduk di barisan paling depan.
Selamat memperingati hari kebebasan Koes Bersaudara pada 29 September.
Demikian yang dapat kami sampaikan, mohon maaf bila ada kata dan kalimat yang kurang berkenan. Semua kisah di atas kami rangkum dari berbagai sumber. Merdeka….!!!
( Okky T. Rahardjo-Ketua JN Surabaya, 085645705091 )