Rabu, 29 Februari 2012

Kerupuk Upil Lapangan Kodam V Brawijaya Surabaya


Sore hari sekitar pkl. 16.00, kami melintasi terminal Joyoboyo selepas jembatan Mayangkara. Tak kami sangka, ada penjual krupuk Upil yang melintasi jalanan menjajakan dagangan makanan ringan khas Surabaya. Kerupuk upil ini adalah makanan ringan yang disajikan dengan cita rasa khas yang asin dengan bentuk bulatan kecil. Bagi sebagian warga Surabaya, tentu bukan hal yang asing lagi terhadap makanan yang satu ini. Selalu nikmat bila dimakan dengan sajian petis sebagai pelengkap.

Saat itu kami menjumpai pedagang kerupuk upil ini dengan bentuk dagangan yang khas sebagaimana pedagang kerupuk upil pria. Mendorong gerobak biru yang bermuatan seplastik besar kerupuk upil, diselingi es kelapa muda yang diletakkan tertutup di tengah dan seember kecil sambal petis. Sangat khas menghiasi jalanan kota Surabaya yang begitu macet dan panas.

Hampir semua sudut kota Surabaya terdapat penjual makanan ini. Selalu sama kemasan dagangannya. Tidak ada patokan harga yang pasti, berapa saja anda beli pasti dilayani. Saat itu kami membeli sejumlah tiga ribu rupiah yang dikemas dalam sebungkus plastik kecil. Terasa enak untuk kami nikmati sepanjang perjalanan pulang.

Penjual yang satu ini biasa mangkal di lapangan Kodam V Brawijaya Surabaya, mulai sore hingga jam sembilan malam beliau "berdinas" di lapangan bersama pedagang kaki lima yang lain. Tetap tekun menyusuri jalanan kota Surabaya sebelum menuju lapangan, bapak tua ini setia juga menjajakan kerupuk upil yang sangat digemari oleh tua muda warga metropolis. Sekali kali kami mengamati, ternyata peminat kerupuk ini bukan hanya "warga kampung kelas ekonomi menengah ke bawah", tapi sering juga penghuni mobil-mobil yang tergolong mewah berhenti hanya untuk membeli makanan murah meriah ini.

Kerupuk upil, pernahkah anda menikmatinya ?


Jumpa Krupuk Samiler di Kutisari Selatan

Suatu siang sepulang mengajar, saya mampir ke sebuah swalayan waralaba yang terletak di jl. Kutisari Selatan. Tiada diduga saat saya mendapati seorang pedagang krupuk duduk di depan swalayan yang memiliki ciri khas warna biru itu. Setelah menyelesaikan urusan pembelian sebotol air minum mineral, saya menghampiri pedagang krupuk tersebut. Singkat cerita, ternyata yang diperdagangkan adalah krupuk yang dikenal dengan nama Samiler.

Siapa pun yang pernah tinggal di Jawa Timur, pasti tidak asing dengan krupuk Samiler. Krupuk ini merupakan makanan ringan yang terbuat dari singkong / ketela pohon. Bila dinikmati akan terasa gurih dan renyah karena olahan singkong dicampur dengan bahan-bahan lain seperti garam dan daun seledri. Beberapa tahun lalu krupuk ini masih populer di kalangan anak-anak kecil, baik di pinggiran kota maupun di pedesaan. Biasanya penjual krupuk ini mengedarkan dagangan dengan cara memikul krupuk samiler yang ditaruh pada bungkusan plastik besar.

Siang hari yang panas itu, penjual krupuk Samiler ini mengadu nasib di antara derasnya arus kuliner yang makin beragam di era modern ini. Saat ini harus diakui, krupuk samiler sudah kurang begitu dinikmati. Anak-anak metropolis sudah kurang akrab dengan makanan ringan yang terbuat dari bahan-bahan alami ini. Mereka lebih suka menikmati makanan ringan cepat saji berbahan kimia yang tersedia di berbagai toko swalayan. Penjual krupuk samiler ini pun saat ini didominasi oleh kalangan tua yang mencoba untuk bertahan hidup dengan melestarikan makanan khas tradisional Jawa Timur ini.

Saat itu dengan semangat membantu penjualan makanan ringan ini, saya mengambil seplastik isi lima krupuk samiler dengan mengganti harga Rp. 2.500,00. Krupuk yang disajikan terasa gurih dan khas di lidah saya yang sudah terlatih dengan makanan asli Jawa Timur ini. Ada sebaris kenangan dan kesan terkesan tersendiri saat menikmati krupuk ini.

Krupuk Samiler, adakah kesan di hati anda ?


Sabtu, 18 Februari 2012

Kios Bendera Untuk Warga Surabaya


Saat ini masih bulan Februari, tapi kok tiba-tiba ada keperluan mendadak diharuskan menyediakan bendera merah putih...Wah, bagaimana yaa... Di mana mencarinya... Coba kalau bulan Agustus tentu lebih mudah di saat ramainya peringatan kemerdekaan. Namun bagi warga Surabaya masalah ini bukan sebuah masalah besar. Di sebuah sudut kota Surabaya ada sebuah lokasi yang terkenal dengan kumpulan stand pedagang bendera. Stand itu terletak di jl. Jagir Wonokromo. 

Tepat di atas sungai Jagir, seberang area Kebun Binatang Surabaya kita akan menjumpai deretan stand penjual bendera merah putih beserta atribut kenegaraan lain. Kita akan dengan mudah bendera dengan berbagai ukuran, gambar Presiden dan wakil, Pancasila dan berbagai atribut lain yang biasa kita jumpai di instansi pemerintah maupun kedinasan. Tidak perlu menunggu bulan Agustus, semua tersedia dengan lengkap di sini. Bahkan dengan harga yang "lumayan miring ", kita bisa mendapatkan bendera merah putih dengan mudah. Terlebih bila kita berada pada instansi yang sangat membutuhkan bendera merah putih sebagai operasional sehari-hari. Terutama untuk Upacara hari Senin. Sehingga bila kita membutuhkan bendera secara mendadak, tidak terlalu sulit mendapatkannya.

Para pedagang yang ada memang menggantungkan hidupnya dari "penjualan" sang saka merah putih, sehigga memudahkan warga kota Surabaya yang membutuhkan ketersediaan bendera. Bendera maupun tiang tersedia dengan berbagai ukuran, besar kecil, panjang dan pendek semua ada di sini. Jadi sekali lagi, bila butuh bendera merah putih namun masih jauh dari bulan Agustus, di Surabaya tersedia stand khusus yang menyediakan. Mau mampir, monggo.... 


Jumat, 17 Februari 2012

Es Campur dan Bakso Pojok Joyoboyo Surabaya

        Sabtu siang, sepulang kerja terasa haus sekali menyiksa kerongkongan. Setelah melintasi jl. Wiyung, menjemput isteri yang bertugas di sekolah swasta daerah tersebut, sepeda motor segera dilajukan mencari tempat perhentian minum yang memadai. Setelah melalui berbagai pertimbangan, teringatlah sebuah kompleks warung es campur dan bakso yang terletak di seberang terminal Joyoboyo Surabaya.


         Melintasi hiruk pikuk jl. Gunung Sari, sekitar 15 menit kemudian kami sampai di warung tersebut. Saya menyebut kompleks warung karena di sini terdapat dua pedagang menjadis atu, yaitu pedagang bakso dan pedagang es campur. Satu tempat, namun berlainan " manajemen pembayarannya". Saya pesan semangkuk es campur dan isteri mengorder seporsi bakso. Kami sering menjadikan tempat ini sebagai jujukan makan siang, karena terdapat es campur yang unik. Es campur ii terasa berbeda dari yang biasa kami temui. Isinya beraneka rupa, terkesan sederhana namun membuat kenyang. Bayangkan saja, dalam sebuah mangkuk ini kami mendapati campuran mulai dari kelapa muda, blewah, tape ketan hitam, kolang kaling, roti hingga dawet. Kalau minum es ini saja rasanya sudah seperti makan nasi saja.


       Bakso yang disajikan pun boleh dibilang menggugah selera. Walaupun untuk ukuran sebuah bakso, penyajiannya terkesan standar bahka tidak terlalu istimewa. Namun tempat ini seringkali menjadi tujuan makan siang orang-orang yang berlalu lalang melintasi terminal Joyoboyo. Warung ini tepatnya berada di seberang sekolah St. Yoseph dekat terminal Bis Hijau tujuan Mojokerto, depan gang yang dihuni personel Klanting. Dulu tempat ini juga dipakai sebagai stasiun Trem, kala masih berjaya di kota Surabaya.


       Kami berdua tertarik dengan es campur yang disajikan di warung ini. Es campur ini rasanya cocok untuk masyarakat ekonomi menengah-ke bawah sebagai alternatif minuman yang menyegarkan. Selain isi yang terkesan " kampungan " juga harganya yang relatif murah. Bahkan kami sering sengaja mampir ke tempat ini bukan mencari baksonya, namun es campurnya. Sehingga bila bakso nya buka namun es campur tutup maka kami batal membeli makanan di situ. Namun sebaliknya, bila es campur nya tersedia maka kami juga sekaligus pesan bakso yang berada di sisi kiri penjual es campur. Harga lima ribu rupiah cukup membuat saya merasa lega setelah menempuh tugas yang melelahka di hari Sabtu ini. Mau mencoba, tempatnya tidak terlalu sulit bila sudah menemukan terminal Joyoboyo. Monggo....















Kamis, 09 Februari 2012

Catatan tentang Album Koes Plus Volume 6





Apa yang ada di benak kita bila mendengar kata “album Koes Plus Volume enam“ ? Lagu-lagu yang sangat menarik. Kenangan yang tak mudah terlupa melalui kisah di balik lagu. Cover yang unik, personel Koes Plus berjajar di gunung kapur. Juga berbagai alasan lain yang membuat album ini memiliki kesan yang begitu mendalam bagi setiap penggemar Koes Plus.

Sekuel keenam album Koes Plus produksi Dimita ini semakin mengokohkan keberadaan Koes Plus di blantika musik populer Indonesia. Boleh diakui, album ini seolah menunjukkan kesan kematangan Koes Plus dalam menggali karya musik yang dihasilkannya. Betapa tidak, bila dibandingkan dengan album-album yang telah beredar sebelumnya maka akan tampak sekali perbedaan yang begitu rupa dalam penataan musik maupun keragaman karya lagu.

Mari kita mencoba menelaah sedikit, mulai album kelima Koes Plus sudah mulai mengurangi ramainya gebrakan drum dalam mengiringi lagu-lagu yang dibawakan. Menurut pendapat saya, ketika memasuki album volume lima Koes Plus sudah menghentikan masa adaptasi dan pengenalan diri pada telinga pendengar musik pop. Masa unjuk diri itu sudah dimulai ketika rekaman album pertama “ Dheg-Dheg Plas “ hingga album keempat “ Bunga Di Tepi Jalan “. Di antara masa-masa itu kita akan mendapati bahwa gebukan drum yang dilakukan Murry begitu menonjol seakan menjadi pengunjuk identitas bahwa mereka ini berbeda dengan Koes Bersaudara.

Album pertama hingga keempat, Koes Plus membuka dengan irama rancak dan penuh semangat. Mulai Awan Hitam, Lagu Dalam Impian, Hujan Angin hingga Bunga Di Tepi Jalan. Bahkan di album kelima pun Koes Plus mengawali dengan irama yang bergairah pada lagu Nusantara. Namun saat kita membuka telinga untuk album volume enam ini, sebuah lagu yang manis dan melankolis akan kita rasakan melalui tembang Kerinduan. Vokal Yon Koeswoyo yang mendayu terasa menyentuh dan meresap ruang hati kita yang terdalam. Syahdu dan mengesankan.

Belum habis hati kita dilanda suasana hening, kita akan langsung dibawa pada nuansa haru yang begitu mendalam melalui lagu berikutnya. Ibu dan lagunya merupakan karya Tonny Koeswoyo yang seakan mengajak kita untuk terbawa pada kenangan dia dan adik-adiknya pada ibu yang telah lama tiada. Tempo lagu yang lambat seakan membawa ketepatan tersendiri untuk menggambarkan kenangan pada seorang yang melahirkan kita ke dalam dunia. Bahkan emosi kita seakan terkuras saat lagu ini akan memasuki reffrein ternyata harus diperlambat dengan adanya interlude berupa petikan melody gitar yang membuat perasaan kita jadi ‘menggantung’. Semua kondisi itu pada akhirnya harus dipecahkan oleh refrrein yang diselingi oleh hentakan drum yang melaju tanpa harus merusak suasana syahdu yang telah terbangun. John Koeswoyo bahkan pernah berkisah bahwa konon intro yang digunakan pada lagu ini merupakan irama yang sering dipetik oleh ibu Atmini, ibu dari Koeswoyo bersaudara, saat sore hari duduk di teras sambil memainkan gitar.

Tears Are Falling muncul sebagai lagu pada urutan ketiga. Lagu berbahasa Inggris yang diciptakan oleh Yok Koeswoyo ini dibawakan dengan begitu manis oleh Yon dan Yok dengan perpaduan musik yang rapi. Sebuah lagu yang meratapi putusnya sebuah jalinan kasih tanpa tangisan yang mendayu-dayu. Patut dicatat, bahwa album volume enam ini merupakan album dengan lagu berbahasa Inggris terbanyak. Sebelum dan sesudahnya tidak ada. Tentu selain album Another Song For You yang memang khusus lagu berbahasa Inggris. Friendly Love, We Say Hallo, Unhappy Shade dan How Much I Love You merupakan lagu bahasa Inggris yang dapat kita temukan di album ini. Bahkan beberapa diantaranya bila diperdengarkan pertama kali pada orang lain yang bukan penggemar Koes Plus, tentu akan menyangka bahwa ini adalah lagu dari sebuah band yang berasal dari belahan barat. Padahal itu karya anak negeri sendiri. Itulah kehebatan seorang Tonny Koeswoyo dalam meramu musik dan kata.

Tonny Koeswoyo pada album ini tampaknya berusaha mencuri perhatian dengan membuat sebuah ciri baru pada lagu yang dinyanyikan. Sebuah lagu dinyanyikan dengan irama keras dan suara gahar kita dengarkan pada lagu Waktu Tjepat Berlalu. Segera saja lagu semacam ini kita kenali berikutnya sebagai ciri khas Tonny Koeswoyo yang menyelipkan sebuah lagu irama rock n roll dalam album Koes Plus dan dinyanyikan sendiri dengan vokal yang berbeda dibanding saat menyanyikan lagu yang lebih mellow.

Kita mungkin pernah mendengar kisah ketika Koeswoyo ayah dari Koes
Bersaudara melarang mereka untuk berkarier dalam musik. Namun tampaknya kekerasan hati bapak Koeswoyo mulai luluh, sehingga ikut mendukung dengan menciptakan sebuah lagu Oh Kasihku. Saat itu kita mulai akrab dengan kata KS yang merupakan akronim dari Koeswoyo Senior dan sering kita jumpai di album-album Koes Plus berikutnya.

Yok Koeswoyo pada album yang beredar pada tahun 1972 ini mengeluarkan dua karya yang semuanya berbahasa Inggris. Salah satunya yaitu How Much I Love You yang dinyanyikan dengan dinamis bersama kedua kakaknya, Tonny dan Yon. Bagaimana dengan Murry ? Setelah ikut menyumbangkan suara di volume empat, pada album ini beliau tidak ikut berdendang. Namun sebuah lagu karya beliau tampaknya menjadi lagu yang begitu fenomenal bagi penggemar Koes Plus. Hidup Tanpa Cinta disajikan dengan harmonis sekali oleh Tonny dan Yon Koeswoyo. Lagu ini unik karena terdapat sebuah pelafalan kata yang disajikan secara berulang “ sayang-sayang seribu kali sayang, siang malam hatimu tak tenang “. Sebuah kalimat yang sederhana namun penuh makna.

Yon Koeswoyo sebagai seorang vokalis utama tampaknya tidak mau ketinggalan menyajikan karya emasnya. Sebuah lagu yang disajikan sevara bertutur diberi titel Tiada Djalan Lagi. Lagu ini konon merupakan sebuah penuturan kisah putusnya jalinan cinta Yon Koeswoyo bersama Susy Nander “ Dara Puspita”. Merupakan sekuel berkelanjutan dari lagu Jeritan Hatiku ( vol. 4), Andaikan Kau Datang (vol. 2), dan Perasaan (vol. 5). Pembawaan Yon Koeswoyo yang halus, lembut dan penuh perasaan saat menyanyikan lagu membuat beliau diberi kepercayaan oleh Murry dan Tonny menyanyikan karya mereka berdua yang diberi judul Bukan Rahasia.

Saat ini Februari 2012, album volume enam ini tepat berusia empat puluh tahun namun terasa masih begitu indah untuk didengarkan. Ada begitu banyak kesan dan pengalaman yang bisa terlukiskan melalui lagu-lagu yang tersusun di dalamnya. Adakah kita juga mengalami salah satu diantaranya ?

( Okky T. Rahardjo, penggemar Koes Plus dari Surabaya- 085645705091 )