Sabtu, 26 Maret 2011

Tonny Koeswoyo, Yang Telah Pergi Namun Tetap Abadi


Beberapa hari menjelang berakhirnya bulan Maret 1987, keluarga besar Koeswoyo sedang resah, gelisah dan seakan menanti yang tak pasti akan datangnya sebuah jawaban. Saat itu salah seorang anggota keluarga mereka yaitu Koestono yang kita kenal dengan nama Tonny Koeswoyo sedang tergolek lemah tiada berdaya di salah satu kamar RS Setia Mitra Jakarta Selatan.
Sudah sekitar dua bulan Tonny Koeswoyo dirawat di rumah sakit ini namun tiada perkembangan yang berarti bagi kesehatan musisi senior asal Tuban tersebut. Penyakit kanker usus yang dia derita sejak sekitar dua tahun terpaksa menahan kelincahan aktivitas dirinya dalam bermusik. Pada 22 Desember 1986, Tonny Koeswoyo sebenarnya pernah mengalami operasi di RS Fatmawati. Operasi itu dilakukan karena menurut dokter, terjadi penyempitan pada bagian anus. Namun hal ini pun tak juga membuat kondisi kesehatan Tonny Koeswoyo stabil. Sempat sedikit membaik, namun selanjutnya terus menurun.
Penyakit kanker usus yang diderita Tonny Koeswoyo bukan penyakit yang saat diderita langsung menjadi parah, namun karena pencegahan yang sangat terlambat membuat penyakit ini menjadi sesuatu yang mengerikan bagi penderitanya. Sebelum akhirnya menjalani operasi, Tonny Koeswoyo termasuk yang sangat sulit bila diajak menjalani perawatan medis. Tonny lebih memilih pengobatan yang bersifat tradisional atau yang saat ini dikenal dengan cara alternatif. Walaupun saat itu Nomo Koeswoyo, adiknya sempat menawarkan untuk membiayai pengobatan Tonny bila bersedia menjalani perawatan medis.
Saat itu Tonny sempat melakukan ikhtiar pada salah seorang pemuka agama, yaitu James Willy seorang pastor dari Amerika. Apabila setelah didoakan secara Katolik kondisi kesehatannya makin membaik, maka dia bersedia memeluk agama Katolik. Namun kondisi kesehatan Tonny tidak kunjung membaik, walaupun setiap hari Pastor Willy ini dating membezuk bersama rekan-rekannya. Tentu bukan semata karena doa sang Pastor yang tidak berhasil, namun semua kembali pada kehendak Tuhan Yang maha Kuasa di atas segalanya. Bahkan orang-orang terdekatnya pun paham, bahwa Tonny Koeswoyo adalah seseorang yang menomor satukan musik bahkan melebihi keluarga dan agama yang dia yakini. Sekalipun dia sendiri juga terbuka mempelajari semua agama.
Tonny tidak pernah benar-benar merasakan penyakit yang dideritanya itu sebagai suatu beban yang berat. Dia lebih suka menahan dengan senyuman dari pada menunjukkan wajah murung dan tak bersemangat. Sembari dia terus mencari alternatif pengobatan melalui beberapa orang. Namun semua tidak kunjung membuat kondisi kesehatannya makin membaik. Namun semua menjadi terlambat untuk disadari, ketika tubuhnya makin kurus dan setiap apa yang dia makan selalu keluar lagi. Kesehatan Tonny Koeswoyo makin menurun. Bahkan untuk duduk pun dia sudah mengalami kesulitan. Seakan ada semacam bisul pada bagian pantat yang menjadi tidak nyaman bila dibuat duduk.
Penyakit yang dialami Tonny Koeswoyo ini serupa dengan apa yang diserita oleh Idris Sardi, pemain biola terkenal. Namun idris sardi lebih dulu tanggap dalam pencegahan sehingga saat itu langsung berobat ke Singapura. Tonny Koeswoyo tidak menyadari kondisi kesehatan tubuhnya, sehingga tanpa diduga sudah mencapai stadium empat. Sesuatu hal yang terlambat untuk diadakan penyembuhan secara maksimal.
Semua berawal pada September 1985, saat itu diketahui bahwa Tonny menderita tumor kecil. Tak sekali pun dia mau dibawa ke dokter untuk menjalani pengobatan medis. Dia lebih mempercayakan kesehatan tubuhnya pada ramuan obat-obatan yang didapatnya dari seorang sahabat dari Jawa Tengah. Sejak kondisi kesehatan suaminya makin menurun, Karen Julie bekerja sebagai pengajar Bahasa Inggris pada sebuah TK Internasional di Pondok Indah Jakarta. Hal itu dilakukan untuk mencari biaya hidup keluarganya. Karena praktis tidak ada pemasukan yang ebrarti sejak Tonny Koeswoyo mengalami sakit. Bahkan untuk mebiayai perawatannya pun beberapa sahabat sesame artis sempat memberikan batuan dana. Diantaranya Edy Sud, koordiantor artis Safari yang sempat memberikan sumbangan sebanyak Rp 2,5 juta.
Saat menjalani perawatan di RS Setia Mitra, ketika penyakit yang diderita makin parah, hasrat sebagai seorang musisi tidak sedikit pun berkurang. Dengan dibantu oleh Onny Suryono, kawan akrabnya yang membantu memegang gitar saat Tonny menemukan ide sebuah lagu. Terciptalah beberapa lagu yang terasa seakan merupakan warisan terakhir Tonny Koeswoyo sebagai seorang musisi. Cakrawala Hati, Dewi Sri, Nenek Sayang dan Wit Gedhang seakan menjadi saksi sisa-sisa kedahsyatan seorang musisi yang merupakan revolusioner musik pop Indonesia.
Kurus kering dan tergolek lemah tak berdaya. Itulah yang menjadi gambaran keberadaan Tonny Koeswoyo saat dirawat di rumah sakit. Bahkan sering kali gumpalan darah mengucur dari tubuhnya sampai berliter-liter, sampai harus diwadahi oleh timba yang diletakkan di bawah ranjang. Saat itu dokter yang merawat sampai mengatakan supaya lebih baik “ diselesaikan dengan cepat”. Tentu bukan bermaksud untuk mengakhiri hidup, tapi pada kenyataannya dokter hanya mampu menahan sampai beberapa waktu saja usia hidup Tonny Koeswoyo. John Koeswoyo, kakaknya sempat berkata “ Kami sudah ikhlas Ton, bila sampai terjadi sesuatu….”.
Chicha Koeswoyo beberapa hari sebelumnya sempat mendapatkan firasat kalau Tonny Koeswoyo, oom yang dia sayangi menemui dia dalam mimpi. Saat itu dia sedang studi di luar negeri. Dia tidak tahu kalau kondisi Tonny sudah begitu parah, akhirnya memutuskan untuk pulang ke Jakarta. John Koeswoyo pun juga seakan mengalami pertanda yang aneh saat dalam mimpinya menjumpai Tonny dalam balutan jubah putih berkata “ Tidak usah kuatir, aku sudah menyiapkan tempat bagimu…”.
Seakan menanti datangnya hari-H yang tiada pasti. Kekhawatiran itu terjadi juga. Jumat malam, Tonny yang semula tertidur pulas tiba-tiba terbangun. Dia memandang wajah Karen, istrinya dan Kenny, anaknya tertua. Seakan ada yang ingin dikatakan, tapi suaranya tidak terdengar. Hanya sebuah tarikan nafas panjang. Ternyata, adalah nafas yang terakhir. Selanjutnya Tonny Koeswoyo menutup matanya untuk selama-lamanya. Pada 27 Maret 1987 pkl. 22.30 WIB seorang musisi legendaris meninggalkan dunia untuk selamanya.
Tonny Koeswoyo meninggal dalam kesunyian. Tiada kabar berita yang riuh rendah. Memang sempat mengejutkan penggemarnya saat menyaksikan kabar itu pada siaran Berita Nusantara TVRI keesokan harinya pkl. 17.00 WIB. Tidak banyak surat kabar yang memberitakan kepergian sang maestro musik pop Indonesia. Suatu kejadian tragis sempat mengiringi kepergian beliau. Konon, saat usai menghadiri pemakaman Tonny Koeswoyo, seorang penggemar terlihat sangat terpukul sekali. Hingga tanpa diduga dia menabrakkan dirinya pada sebuah mobil yang sedang melaju kencang sehingga mengakibatkan dia menyusul ke alam baka.
Tiada warisan harta yang melimpah. Alat musik yang tersisa pun hanya sebuah gitar akusitik hitam, yang saat ini konon senarnya sudah putus. Hanya sebuah nama besar yang akan kita kenang untuk selamanya. Sebuah nama dan berbagai karya abadi yang melebihi harta benda dan ribuan penghargaan sekalipun.
Hari ini telah dua puluh empat tahun Tonny Koeswoyo meninggalkan kita. Tapi karya dan semangatnya tak sekalipun akan meninggalkan kita sedetik pun. Selamat jalan Tonny Koeswoyo. Kami penggemarmu akan selalu merindukanmu.

( Okky T. Rahardjo, JN Surabaya – 085645705091 )

Rabu, 16 Maret 2011

John Koeswoyo, Semangat Yang Tak Pernah Padam


Minggu pagi, 13 Maret 2011 menjelang pkl. 08.00 saya mendapatkan telepon yang mengejutkan. Saat saya lihat di layer HP ternyata yang menelepon adalah bpk. John Koeswoyo. Saat itu beliau menanyakan kabar setelah lama tidak bertemu. Bahkan yang sedikit surprise bagi saya adalah beliau mengatakan “ Saya ingin menyanyikan Tuhan Adalah Gembalaku bersama mas Okky…”. Segera saya responi, “ Monggo, pak…” Selanjutnya baris demi baris lagu tersebut kami dendangkan bersama. Namun tak lama saya mengatakan kalau nanti siang saya menemui beliau saja di rumah.


Sepulang dari gereja, segera saya menghubungi teman-teman anggota JN Surabaya untuk berjanji menemui bpk. John Koeswoyo yang ternyata sudah seminggu ini berada di Surabaya. Siang itu pkl. 13.30 WIB, kami berempat. Yaitu Sam Sugeng, Koesyanto, Juliadi dan saya bersama-sama menemui John Koeswoyo, sulung dari Koeswoyo bersaudara di kediaman putrid beliau di daerah Jemur Sari.


Suasana pertemuan diawali dengan perbincangan yang hangat seputar kehidupan Koeswoyo bersaudara. Sebagaimana layaknya bila kita berjumpa dengan personel Koes Bersaudara atau Koes Plus, kisah pribadi seputar keluarga mereka merupakan topic menarik untuk didengarkan. John Koeswoyo yang adalah kakak dari Tonny Koeswoyo saat itu juga menyampaikan banyak wejangan yang bersifat membangun. Sebagaimana layaknya orang tua kepada anak atau cucunya. Wejangan itu seputar falsafah kehidupan dari seseorang yang sudah mengalami banyak asam garam kehidupan.


Saat perbincangan sudah makin akrab dan hangat, John Koeswoyo mengutarakan keinginan hati beliau yang saat ini mengendap. Dalam usia yang sudah semakin senja ini, John Koeswoyo ingin dimunculkan kembali ke hadapan umum. Bahkan maksud kemunculan beliau ini bukan untuk mencari popularitas. Beliau ingin kemunculan beliau ini adalah sekaligus pamitan dari masyarakat umum, terutama penggemar Koes Bersaudara dan Koes Plus.


John Koeswoyo merasa usia sudah sepuh, tidak tahu kapan Tuhan akan memanggil pulang. Karena itu melalui kemunculan ini, beliau ingin mengingatkan lagi pada penggemar musik sekalian bahwa John Koeswoyo merupakan pendiri Koes Bersaudara. Selain itu, dalam usia yang menurut beliau sudah mendekati puncak ini, beliau ingin menyampaikan banyak petuah, wejangan dan nasehat khususnya untuk generasi muda dalam menjalani kehidupan di dunia ini.


Tidak ada ambisi untuk menjadi terkenal. Populer. Tidak pula terbersit untuk mencari keuntungan materi yang besar. John Koeswoyo ingin mengajarkan tanpa terkesan menggurui bagaimana menjadi seorang yang hidup dengan santun di tengah dunia yang semakin hedonis dan individualis ini. Hal itulah yang kami tangkap dari sosok seorang John Koeswoyo yang saat ini berusia 78 tahun.


Beberapa kali John Koeswoyo menyampaikan maksud hatinya tersebut kepada kami. Sebuah harapan yang kami tangkap adalah beliau ingin kami mau membantu mewujudkannya. Tanpa banyak ucap dan kata, kami segera meresponi kerinduan hati beliau. John Koeswoyo sangat senang dan gembira sekali mengetahui kami begitu antusias menyambut kerinduan hati beliau. Saya menyampaikan janji dalam waktu dekat akan segera sowan lagi dengan konsep yang lebih matang. Sebelum berpamitan pulang, kami sempat berfoto untuk kenang-kenangan. Perjalanan pulang, kepala kami dipenuhi dengan banyak gagasan dan rencana untuk mewujudkan keinginan hati John Koeswoyo, seorang yang pernah menjadi tokoh utama di balik munculnya grup musik legendaries Indonesia.

Dalam perjalanan pulang, kami berempat sempat berhenti di sebuah pos satpam untuk berunding sejenak. Kami mulai menyusun rencana awal untuk membuat sebuah live show dengan penampilan band pelestari yang menyanyikan lagu-lagu karya John Koeswoyo. Setiap jeda lagu, akan diisi dengan diskusi antara penonton dengan John Koeswoyo sebagai narasumber utama.

Singkat cerita, pertemuan hari minggu kami lanjutkan dengan pertemuan selanjutnya pada hari selasa, 15 Mei 2011. sore hari selepas dinas, saya bersama Sam Sugeng dan Herry Purwanto menemui John Koeswoyo yang sedang santai selepas istirahat siang. Pertemuan berlangsung cair dan penuh keakraban karena diawali dengan bernyanyi bersama. Lebih terasa akrab, karena John Koeswoyo memainkan ukulele yang juga diikuti oleh Herry Purwanto, anggota JN Surabaya memainkan sebuah gitar akusitk yang dipinjami oleh pak John. Kebanyakan yang kami mainkan saat itu adalah lagu-lagu kuno terutama lagu Belanda yang masih diingat oleh John saat masih muda. Lagu yang akrab di telinga kami yaitu Nasi Goreng dalam bahasa Belanda juga dapat dimainkan tanpa hafal dengan jelas liriknya.

Sore itu, saya menyampaikan kepada beliau konsep acara yang sudah kami rancang. Terutama mengenai band pelestari yang akan siap mendukung menyanyikan lagu-lagu karya John Koeswoyo. Pihak yang akan merekam acara pun juga siap. Termasuk juga rencana lokasi acara live show. Walaupun sederhana tapi kami mencoba segera meresponi apa yang menjadi pemikiran John Koeswoyo.

Saat itu jujur kami katakan, dana belum tersedia. Kebutuhan yang harus kami sediakan banyak. Sementara di depan kami terbentang suatu ‘proyek yang mulia’. Kami sebut demikian karena hal ini bisa jadi merupakan dokumentasi dari salah seorang pelaku musik munculnya Koes Berrsaudara, band legendaris yang besar dari sebuah keluarga yang sederhana. Karena hal itu maka yang bias kami lakukan adalah terus saja berjalan. Apalagi mumpung beliau masih berada di Surabaya dalam beberapa waktu ini.

Tidak ada maksud mulia tanpa kendala. Tapi seberapa pun kendala itu, maksud yang diawali dengan hati tulus akan berjalan dengan baik dan tidak ada kendala satu pun yang berhak membatalkan segalanya. Tanpa bermaksud membuat saingan atau tandingan dengan rekan-rekan dari kota lain, ijinkan kami menyelenggarakan suatu live show yang menampilkan seorang John Koeswoyo dalam karya lagu dan tutur kata yang membangun jiwa manusia menjadi lebih beradab.

Doa tulus serta dukungan dalam berbagai bentuk dari rekan-rekan semua tentu akan sangat kami hargai demi terselenggaranya even ini. Sebuah even yang kami persembahkan sebagai apresiasi kami terhadap keluarga Koeswoyo dan penggemar musik Koes Bersaudara & Koes Plus.

Selanjutnya, nantikan langkah kami berikutnya yang masih menyusun strategi dalam even yang kami rencanakan terselenggara bulan depan. Mendesak dan sangat mendadak. Tapi tidak ada yang tidak mungkin bila dikerjakan dengan motivasi hati yang benar.

Salam hormat dari kami, Jiwa Nusantara Surabaya ( Okky T. Rahardjo a/n penyelenggara live show “ Lagu lan Pitutur John Koeswoyo” ) c.p 085645705091.


Keterangan gambar : 1. John Koeswoyo pose bersama Okky.
2. John Koeswoyo pose bersama Sam Sugeng dan putrinya.
3. John Koeswoyo pose dengan kacamata hitam
4. John Koeswoyo bermain gitar bersama Herry Purwanto
5. John Koeswoyo menuliskan gagasannya pada selembar kertas