Hari ini saat aku menghitung butiran angka di kalender,
aku menyadari seharusnya usia mu menginjak lima puluh sembilan tahun. Tapi apa
daya pada tanggal yang sama bulan yang lalu, engkau telah menutup lembaran
perjalanan hidupmu untuk selamanya. Tak terasa sebulan engkau meninggalkan
segala kisah demi kisah yang telah tertuang dalam catatan hidupmu.
Pada malam yang sunyi ini aku mencoba menengok kembali
lembar demi lembar perjalanan bersamamu. Pahit manis, suka dan duka serta
segala liku-liku hidup semua telah tertuang dalam lembaran hidup yang bernama
pengalaman. Hari demi hari yang aku lalui bersamamu memang tak selalu berhiaskan
manis, tak selalu berlandaskan suka namun semua terlalu indah untuk dilewatkan
begitu saja. Tak mudah untuk dilupakan walau pun juga tak akan mungkin untuk
terulang lagi.
Salah satu yang tak mungkin terlupa adalah ketika kita
berdua duduk di pelataran gedung World Trade Center (WTC) Surabaya untuk
sekedar menantikan kedatangan personel Koes Plus yang akan manggung untuk
pertama kali di Surabaya, usai mereka vakum sekian waktu. Saya sadar bahwa kita
tidak mungkin masuk ke dalam gedung tersebut. Saya sadar bahwa kita tak mungkin
akan menyaksikan Koes Plus manggung malam itu. Saya juga sadar bahwa tiket
seharga dua puluh lima ribu atau bahkan lima puluh ribu masih terlalu mahal
untuk kita jangkau saat itu. Namun kenangan duduk berdua di halaman gedung
pertunjukan yang saat itu masih belum banyak tandingannya, masih membekas
hingga hari ini. saat kita menyaksikan orang berlalu lalang mempersiapkan diri
menyaksikan penampilan grup kesayangan mereka. Sekian lama kita menantikan
hanya sempat menyaksikan kehadiran Benny Panjaitan yang meluangkan waktu untuk
hadir. Akhirnya kita memutuskan untuk pulang saja tanpa menunggu lagi
kedatangan Koes Plus yang tiada jelas kapan tiba di gedung yang terletak di
belakang Delta Plasa itu.
Saat kita mampir sejenak untuk makan malam di warung gule
kambing sebelah kantor Damri, saat itu melintas serombongan mobil dengan
pengawalan beberapa anggota kepolisian, melintas memecah kemacetan jl. Basuki Rahmat.
Sirine yang meraung-raung itu ternyata mengawal personel Koes Plus yang sedang melaju
dari arah hotel Mirama menuju lokasi pertunjukan di jl. Pemuda. Antara nelongso,
kagum, kecewa dan bangga bercampur jadi satu manakala kita hanya melihat mobil
mereka melaju di depan kita. tapi ya sudah, menjadi keputusan kita untuk tidak
lagi ke area pertunjukan mengingat waktu sudah semakin larut. Saat itu 23 Juli
1993, dua puluh satu tahun berlalu di depan mata, namun tak mudah untuk
dilupakan begitu saja.
Kali lain tak akan terlupa saat sebelum tidur, tiap malam
engkau mengisahkan tentang perjalanan musik popIndonesia melalui grup musik
yang pernah menghiasi ruang dengar era tujuh puluhan. Satu per satu engkau
kisahkan bak dongeng pengantar tidur. Di usia ku yang masih menginjak tingkatan
lima pada sekolah dasar, telah kau kenalkan aku pada nama-nama semacam Panbers,
The Mercys, D’lloyd, Favourites Group, The Gembell’s, De Hands, Bimbo dan lain
sebagainya. Bahkan dengan penuh kebanggaan aku mulai memutar koleksi lawas
kasetmu yang sudah lapuk termakan usia pada tape deck murahan yang maish
tersisa di rumah. Ketika satu per satu pita kaset itu putus, engkau dengan
telaten membongkar dan menyambungkan lagi. Sungguh, papa adalah seorang teman
diskusi ku tentang musik untuk pertama kalinya.
Tak akan pernah aku lupakan ketika engkau mengenalkan
kepadaku kegagahan dan ketangguhan kota Surabaya di masa lalu. Kisah demi kisah
seputar kota ini pernah engkau tuturkan kepadaku dengan bahasa yang mudah
dimengerti. Walaupun aku sadar engkau bukanlah pejuang saksi kemerdekaan, namun
pengalamanmu yang lebih dulu hidup di kota ini membuat aku makin kagum dan
mengenali ragam keunikan kota kelahiranku ini. Makin terasa kagum ketika engkau
kisahkan perjalanan rangkaian kereta trem listrik yang melintas membelah kota
Surabaya yang pernah engkau tumpangi. Makin terbuai ketika engkau sajikan
beberapa cerita seputar jalan-jalan tertentu yang memiliki kekhasan tersendiri
di kota ini. Makin menambah wawasan ketika engkau dongengkan kebiasaan warga
kota dengan berbagai istilah yang saat ini sudah tak lagi akrab didengar. Makin
terhenyak ketika mendengar secuil kisah tentang seorang pejuang yang
mengkhianati kepercayaan orang-orang kecil yang menitipkan amanah kepadanya. Sungguh,
papa adalah seorang teman diskusi ku tentang keunikan kota Surabaya untuk
pertama kalinya.
Tak mudah aku hapus kenangan saat engkau sering mengajak
berdoa ketika menghadapi momen-momen tertentu yang harus dihadapi bersama. Nasehatmu
tak pernah panjang lebar engkau ucapkan, namun melalui untaian kata dalam doa
yang engkau sampaikan, aku mulai menangkap apa yang engkau harapkan terjadi
pada putramu ini. Sebuah kebanggaan ketika sering mendampingimu beribadah di
gereja kala hari minggu. Aku yang kebiasaan duduk di deretan belakang, mulai
sering menemanimu duduk di deretan depan. Bahkan lebih dari itu, engkau
mengajarkan aku untuk tidak terlambat berjumpa dengan Tuhan dalam ibadah dengan
hadir sekian menit lebih awal dari yang lainnya. Sungguh, papa adalah seorang
teman diskusi ku tentang perlunya hubungan yang baik dengan Tuhan untuk pertama
kalinya.
Ketika pada akhirnya aku harus menjalin hubungan yang
lebih serius dengan pasangan hidup yang sudah aku pilih sendiri, engkau tidak
pernah menolak atau meragukan keputusanku. Sebuah keputusan penting dalam
hidupku, telah engkau dukung tanpa sekalipun menyatakan keberatan. Saat aku
mengenalkanmu kepada keluarga pasangan hidupku, engkau terlihat begitu antusias
dan semangat sekalipun harus menempuh jarak yang jauh di luar kota. Ketika pada
saatnya aku meutuskan untuk menikah, engkaulah yang pertama kali menyatakan
dukungan penuh tanpa syarat apa pun. Sekalipun engkau menyatakan dengan terus
terang tidak mampu mendukung secara ekonomi, namun restumu sudah lebih dari
cukup untuk semua. Keyakinanmu bahwa aku mampu mengatasi segala situasi,
membuat engkau tidak perlu kuatir dengan pertimbangan harus menunda pernikahan
atau hal yang lebih buruk dari itu. Sungguh, papa adalah seorang teman diskusi ku
tentang iman yang tidak perlu diragukan lagi.
Aku selalu mengingat senyum dan tawamu manakala aku
berkisah perkembangan fisik dan tingkah laku dari putri pertama kami yang juga
cucumu. Sedikit masukan dan saranmu selalu menimpali kala aku menyampaikan
kondisi terbaru putri kami yang sedang bertumbuh dengan lucu dan menggemaskan. Aku
tahu, engkau tak pernah bermaksud buruk padanya namun engkau menghargai
keputusan kami dengan penuh kepercayaan, manakala kami memutuskan untuk
membesarkan putri kami dengan gaya kami sendiri. Terima kasih papa…
Pergaulanku bersamamu hari demi hari mengenalkanmu
kepadaku beberapa hal penting dalam hidup ini. Pertama, menghargai orang tua
yang pernah mendidik dan membesarkanku. Oleh karena itu, sungguh terasa senang
ketika aku mampu memenuhi apa yang engkau inginkan. Jujur, aku tersentuh dan
terharu ketika engkau dengan antusias mau menerima makanan yang aku berikan
padamu dari hasil keringatku. Ketika engkau menyantapnya dengan lahap masakan
hangat di saat sakitmu, ketika ragamu tak mampu lagi mencerna makanan dengan
baik. Semangkuk hidangan yang aku berikan masih mampu engkau nikmati dengan
sempurna. Sendok demi sendok masih mampu engkau tuangkan masuk ke mulutmu. Hingga
engkau berkata “Besok titip belikan ini lagi ya…”. Membuatku tersirat bangga
bahwa aku masih mampu membuatmu senang di sela sakitmu.
Di sela ketidak berdayaanmu, aku masih mendapatkan
kehormatan membantumu berdiri ketika terduduk di kamar mandi. Menyuapkan makanan
walaupun dua atau tiga sendok. Menolong ketika engkau harus membuang kotoran
airmu setiap lima belas menit. Bahkan kudengarkan segala keluh kesahmu yang tak
yakin aku mampu menjawabnya.
Pelajaranku kedua saat bersamamu adalah engkau mengajarku
untuk mandiri. Berkali-kali keputusan terpenting dalam hidupku, engkau telah
biarkan aku untuk menentukan sendiri bagaimana pemecahannya. Bahkan untuk
beberapa hal yang engkau sendiri masih mampu mengerjakan, telah engkau
percayakan kepadaku untuk mengurusnya. Dalam beberapa hal engkau mengajarkan
aku untuk meraih kedewasaan walaupun dengan langkah yang tidak mudah.
Seringkali aku harus berbeda pendapat denganmu. Kerasnya hati
membuat kita sering berbeda dalam menentukan keputusan. Beberapa hal harus aku
hadapi dengan menerima makian, cercaan dan umpatan yang pada akhirnya
mendewasakan langkah kaki serta cara berpikirku. Tekadmu yang kuat untuk terus
berjuang kala penderitaan sudah makin menerpa, membuatku makin mendapatkan
keteladanan seorang pekerja keras yang menghadapi dunia ini dengan berbagai
tantangannya. Sungguh, papa merupakan
salah seorang teladan kehidupan yang paling berkesan di hati.
Oya, tanggal ini bukan hanya ulang tahunmu yang aku
ingat. Aku masih terkenang kala engkau hadir di hari pertunanganku tiga tahun
lalu. Saat dengan linangan air mata engkau berkata penuh haru bahwa hari
pertunanganku dengan pasanganku merupakan kado ulang tahunmu yang terindah. Hari
ini dengan air mata yang tertuang pula aku akan mengenang peristiwa itu sebagai
salah satu kesan terindah dalam hidupku. Sebuah tangisan seorang ayah yang
menghantar anaknya menuju kedewasaan. Sebuah tangisan seorang ayah yang bersiap
melepas anaknya menuju dunia yang mandiri. Sebuah keteladanan yang siap aku
wariskan pada anakku yang juga merupakan cucumu.
Pada akhir tulisan ini, aku mengingat ketika beberapa
tahun lalu di suatu pagi saat engkau melepas kepergian istrimu yang adalah mama
dengan sebuah untaian syair lagu yang adalah lagu kesukaanmu. Sebuah lagu yang
adalah harapan yang kita tahu, tak mungkin terjadi untuk dihadapi dalam
kehidupan ini. dengan lirih ijinkan aku ucapkan senandung itu lagi “Andaikan kau datang kemari, jawaban apa
yang kan ku beri..adakah jalan yang kau temui, untuk kita kembali lagi…”
Selamat jalan papa…
( Okky T. Rahardjo- Endah
Krisnawati & Christina Elvira Putri Rahardjo )