Bulan kedua di tahun 2014 ini kita akan mencoba
mengarahkan ruang dengar kita pada sebuah album yang dirilis oleh Koes Plus di
bulan yang sama sekitar tiga puluh empat tahun yang lalu. Album itu berjudul “Jeritan
Hatiku” yang diedarkan oleh Purnama Record. sebuah album Koes Plus yang
menandakan “kedewasaan” mereka dalam bermusik. Kedewasaan ini dapat dilihat
dalam pengolahan musik yang mulai tertata semakin rapi dan cenderung
berhati-hati, tidak lagi menghentak-hentak sama seperti ketika mereka eksis di
tahun tujuh puluhan. Kita juga meilhat kematangan mereka dalam menyusun syair
lagu sangat terasa sekali kepiawaian sebagai musisi yang sudah malang melintang
dalam dunia seni selama belasan tahun. Perasaan cinta dan sayang tidak lagi
diucapkan secara vulgar namun tidak kehilangan sisi romantismenya. Selain itu
sisi kedewasaan tentu juga karena faktor usia yang mengikuti mereka tidak dapat
diingkari, bahwa mereka bukan lagi musisi muda yang mencari jati diri sehingga
karya yang dihasilkan tidak lagi berdasarkan luapan emosi semata.
Ketika kita memutar tombol play pada tape pemutar pita
kaset, seketika akan terdengar bunyi-bunyian terompet pada lagu pembuka yang
bertajuk “Jeritan Hatiku”. Persis sama dengan judul album yang menjadi unggulan
pada rekaman kali ini. Koes Plus tampaknya berusaha mengikuti trend beberapa
pemusik yang menggunakan aliran brass
section, sehingga pada lagu pembuka ini dimunculkan suara terompet atau
saxophone yang cenderung dominan muncul pada lagu ini. Saat itu The Rollies
adalah band yang mulai mempopulerkan brass
section pada lagu yang dihasilkan. Memang sebelumnya The Mercys pun pernah menyajikan
saxophone namun tidak semeriah keberadaan The Rollies dalam penggarapan
bunyi-bunyian tiup pada sebuah karya lagu. Koes Plus berhasil menyajikan bunyi
tiupan ini secara menarik seakan sebuah permainan ansamble musik dimainkan pada
lagu ini. Saxophone yang dihasilkan lebih terasa bergemuruh dibandingkan ketika
mereka mencoba pertama kali setahun sebelumnya pada lagu Karen Julie. Entah siapa
yang membunyikan saxophone ini, apakah Tonny Koeswoyo langsung atau adakah musisi
tambahan, belum ada konfirmasi secara pasti mengenai pengisi suara alat musik tiup
ini. vokal Yon Koeswoyo pun masih terdengar manja dan mendayu pada lagu karya
Tonny Koeswoyo ini.
Selanjutnya kita akan menyimak lagu kedua yang berjudul Maafkan
Aku. Saat kita mendengarkan lagu ini kita terasa seperti sedang diberi cerita dengan
gaya bernyanyi oleh pengarangnya. Tiba-tiba saja tanpa ada pengantar yang
bersifat basa-basi, kita dikejutkan oleh kata “di senja hari sabtu, kau datang
lagi ke rumahku…”. Bukankah itu seperti seorang yang sedang bertutur pada
sahabatnya. Yon Koeswoyo seakan curhat tentang masalah asmara yang sedang
dihadapi. Dia sepertinya sedang resah atau galau, meminjam istilah bahasa anak
muda sekarang ini. Hal itu membuat dia tidak mau menemui kekasihnya, melainkan
bersembunyi di dalam kamar. Angan kita sepertinya tergiring pada kisah dalam
lagu ini. Kita sepertinya dibawa untuk bertanya-tanya, ada kisah apa di balik
lagu ini. Mengapa Yon sampai tidak mau menemui kekasihnya. Apa yang sedang
dialami oleh Yon Koeswoyo sehingga mengurung diri di dalam kamar. Emosi dan
angan kita sepertinya dengan lihai dibawa oleh sang pembuat lagu. Bahkan saat
pertama kali mendengarkan lagu ini, saya sempat bertanya dalam hati, siapa
saudara Yon Koeswoyo yang sampai hati “mengusir” sang kekasih yang datang di
malam minggu itu ya…Kita seakan dibawa pada sejuta penasaran yang tidak mudah
untuk dijawab.
Suasana yang galau itu semakin dibawa mengharu biru
manakala Yok Koeswoyo melantunkan lagu pada urutan ketiga yaitu Kekasihku
Kembali. Yok Koeswoyo dengan gaya lembut mendendangkan perasaan cintanya pada
sang kekasih yang sedang dirindukan. Tapi simaklah, baris demi baris syair yang
dilantunkan sudah menunjukkan kematangan seorang musisi yang sudah teruji melewati
berbagai masa dan tantangan. Bukan lagi seperti musisi muda yang ketika membuat
lagu terkesan meraung-raung sedih ditinggalkan sang kekasih. Cobalah mendengarkan
lagu ini sembari memejamkan mata, maka akan terbersit sebaris kenangan manis
yang mampu menitikkan air mata kita tatkala mengenangnya.
Sudah cukup dengan galau, resah dan sendu saatnya untuk
kembali riang dan ceria menghadapi hidup ini. hal itulah yang ingin dituangkan
oleh Koes Plus dalam lagu berikutnya. Ibu Jangan Menangis didendangkan dengan
penuh semangat oleh Yok Koeswoyo. Pada lagu ini kita mendengrkan lagi sentuhan
brass yang menghiasi lagu ini di sela permainan bass dan drum yang terdengar
sebagai ciri khas musik Koes Plus. Yok Koeswoyo berusaha tampil maksimal pada
lagu ini sehingga duet vokal pun beliau isi sendiri pada bagian reffrein. Lagu ini
seakan menyiratkan seorang yang sedang berjuang untuk menggapai cita-cita. Kegagalan
memang pernah diraih, namun dia tidak mau berputus asa. Dia siap membaktikan
dirinya pada ibu pertiwi yang telah memberikan yang terbaik pada dirinya.
Bukan Koes Plus kalau tidak menampilkan lagu bertema
cinta tanah air dalam album yang dihasilkan. Pulau Kelapa sebagai pemujaan pada
bangsa dan negara disajikan dengan nuansa yang sedikit jazzy. Di sinilah letak
kejeniusan Tonny Koeswoyo sebagai musisi dalam meramu musik pada sebuah lagu. Kita
akan melihat betapa asyiknya melantunkan keindahan negeri ini tanpa terasa
monoton dan menjemukan. Bahkan sesekali terdengar Tonny Koeswoyo melakukan unjuk
kebolehan bermain keyboard. Salut untuk lagu yang bagus ini…
Lagu-lagu yang disajikan pada lagu ini seakan terasa
nikmat bila dinikmati saat sorehari, sambil duduk di beranda rumah sembari
melepas lelah setelah seharian bekerja. Betapa tidak, beberapa kali kata senja
diucapkan menghiasi lagu ini. Apalagi bila kita menyimak sebuah lagu yang
berjudul Hujan Di Senja Hari. Pikiran kita akan dibawa melayang, sebuah lagu sendu
yang dibawakan secara nge-beat. Yon Koeswoyo
merupakan pilihan tepat untuk membawakan lagu-lagu macam ini. Tema yang
dsajikan memang terkesan klasik. Mengenang sang kekasih di kala hujan. Dulu kala
ada lagu serupa berjudul Tetes Hujan Di Bulan April, atau juga Awan Cerah
Kembali yang direkam oleh Favourite’s Group. Bahkan kelak sesudahnya akan
muncul lagu yang berjudul Hujan Di Malam Minggu. Namun ketika Koes Plus membuat
lagu Hujan Di Senja Hari, tetap terasa nyaman untuk kita nikmati.
Album ini ditutup oleh sebuah lagu yang berjudul Seribu
Khayalan. Sebuah lagu yang cukup membuat kita mengerutkan dahi akan apa makna
di balik lagu ini. maklum saja, saat itu Koes Plus sudah mulai dihinggapi
penggunaan “kata-kata sulit”sejak era 1978an. Sebuah penyajian yang berbeda
dibandingkan saat mereka eksis kala dasawarsa tujuh puluhan. Pada lagu terakhir
ini kita akan mendengarkan vokal Tonny Koeswoyo yang hanya berperan sebagai
backing vokal. Cukup lumayan, mengingat dari awal kita tidak mendengarkan suara
beliau secara utuh sebagaimana pada album-album sebelumnya.
Secara keseluruhan, saya secara pribadi berpendapat bahwa
album ini merupakan salah satu album Koes Plus terakhir yang terasa keberadaan
mereka secara maksimal sebagai sebuah band. Kita bisa mendengar secara baik
permainan keyboard Tonny Koeswoyo, cabikan bass yang mantab yang mungkin masih
dilakukan oleh Yok Koeswoyo secara langsung, mengingat pada album berikutnya
permainan bass tidak lagi terdengar maksimal sebagaimana pada album ini.
Permainan drum Murry pun masih terasa menghentak dan menggetarkan ruang dengar
kita.
Pada segi cover, Koes Plus tetap tampil sederhana dengan
menampilkan posisi duduk yang memanfaatkan sebuah kursi sofa untuk sarana pose
bersama. Kalau urusan yang satu ini mereka tidak berbeda dari saat eksistensi
di dekade tahun tujuh puluhan. Sebuah gaya yang bersahaja namun mengemas
sesuatu yang istimewa.
Tiada gading yang tak retak, bila boleh melihat suatu
kekurangan dari karya hebat seorang anak manusia. Pada album ini ada sebuah
lagu yang sangat janggal sekali ketika didengarkan. Pada track keenam saat
menampilkan lagu Berlarut, telinga kita akan segera mengadaptasinya dengan lagu
Begadang karya Rhoma Irama. Mungkin sebagai penggemar Koes Plus kita akan
segera menangkis dengan kata-kata pembenaran semacam “ terinspirasi, kebetulan
sama atau penyebutan kemiripan yang tidak sampai delapan bar atau sejenisnya”. Namun
harus diakui bahwa satu dua baris pada lagu itu memang mirip dengan bagian awal
pada lagu Begadang yang pernah sangat populer di tahun-tahun sebelumnya. Saya juga
tidak sedang menuduh Koes Plus sedang kehabisan ide, namun keterbatasan karya
manusia membuat karya mereka menjadi hampir serupa dengan karya manusia
lainnya.
Kira-kira apa yang kurang lagi dalam album ini, ya benar…Tidak
ada vokal Murry menghiasi album yang memiliki nomor seri 444 ini. Pada album
rilisan Purnama Record sebelumnya, suara emas Murry masih mengisi pada urutan
lagu yang disajikan. Namun pada album ini tidak ada sama sekali. Entah apa yang
melatar belakangi, bisa jadi karena lagu yang ada tidak sesuai dengan vokal
beliau. Bisa juga Murry memang tidak memiliki karya yang siap untuk direkam
saat itu. Atau memang jatah lagu yang direkam sudah lebih dari cukup, mengingat
lagu terakhir saja muncul pada side B urutan pertama. Namun yang pasti, album
Jeritan Hatiku telah muncul sebagai upaya Koes Plus untuk tetap eksis dalam industri
musik Indonesia yang saat itu sedang digempur oleh penyanyi-penyanyi solo pria
maupun wanita.
Demikian yang dapat kami sajikan mengenai catatan singkat
tentang salah satu album Koes Plus. Mohon maaf atas setiap rangkaian kata dan
kalimat yang kurang berkenan. Jayalah selalu musik Indonesia.
( Okky T. Rahardjo, penggemar Koes Plus dari
Surabaya—085645705091 )
Bravo.... !!
BalasHapus