“le tole kowe takon, takon opo tak sauri
Opo kowe durung kenal, Ki Markeso soko Wetan..”
Siang itu sebuah tape
kecil saya tekan tombol play yang posisinya sebelah tombol merah bertuliskan
record. Sebuah nyanyian terdengar merdu diperdengarkan oleh duet Sofyan dan
Said dari Usman Bersaudara. Baris demi baris lagu itu terdengar menarik dan
membawa seuntai kenangan masa silam yang tak terlupakan. Kala saya melihat
judul lagu itu pada cover kaset tertulis Cak Markeso.
Markeso adalah sebuah
fenomena seorang seniman ludruk yang legendaris di kota Surabaya. Mungkin saat
ini tidak banyak anak-anak muda yang mengenal nama ini. Sebagian besar bila
ditanyakan mengenai seniman ludruk Surabaya tentu akan mengaitkan dengan nama
Kartolo. Namun bertahun-tahun sebelum Kartolo melejitkan dirinya sebagai
seniman ludruk, Markeso sudah lebih dulu menancapkan tajinya sebagai pendekar
ludruk yang mumpuni di Kota Pahlawan ini.
Markeso sendiri
bukanlah seorang seniman ludruk yang memiliki grup ludruk sebagaimana pelaku
kesenian ini lainnya. Bila nama-nama seperti Kartolo, Sapari, Basman dan Tini
berada dalam satu grup ludruk. Demikian juga dengan nama Kancil, Markuat,
Sidik, dan Agus Kuprit pun berada dalam kubu ludruk yang lain. Tidak demikian
dengan Markeso yang memilih berada dalam jalur solo karier. Artinya dia
menekuni dunia ludruk secara sendirian. Tanpa ada teman dalam sebuah grup atau
pengiring yang demikian banyak. Belakangan apa yang digelutinya ini disebut
dengan nama ludruk garingan.
Memang tidak secara
langsung Markeso menekuni jalur solo dalam dunia ludruk ini. Sebelumnya dia
sempat tergabung dalam beberapa grup yang berganti-ganti, sebagaimana para
pelaku ludruk lainnya. Namun dia jengah ketika melihat para pelaku ludruk
sering kali terlibat konflik karena merasa tidak adil dalam pembagian honor. Darah
seninya yang mengalir deras seakan tak terima bila harus ribut hanya karena
masalah keuangan dengan orang lain. Oleh karena itu pula pada tahun 1949,
Markeso memutuskan untuk mengundurkan diri dari grupnya “Ludruk Cinta Massa”
yang saat itu sudah populer. Nama Markeso yang sedang naik daun pun menjadi
jaminan mutu untuk dia melakoni profesi ludruk secara seorang diri. Ludruk garingan
ini sempat dikenal masyarakat luas pada era tahun 1960an. Saat itu banyak orang
dari berbagai kalangan yang nanggap Markeso untuk bermain ludruk di berbagai
tempat hajatan. Bahkan tukang becak pun saat itu yang penghasilannya memang
banyak, sering memakai jasanya untuk menghibur. Perkawinan, sunatan maupun
pesta-pesta keluarga sering memanggil Markesi sebagai pengisi acara. Bahkan ketika
orang-orang berkumpul untuk minum tuak pun juga kerap nanggap ludruk garingan
termasuk Markeso. Saat itu hampir setiap malam jadwalnya penuh. Masa kejayaan
ini dirasakan hingga dasawarsa 70an.
Ludruk garingan sendiri
merupakan istilah untuk seorang pelaku ludruk yang bermain sendirian. Sebagian orang
menyebutnya sebagai ludruk tunggal karena hanya menampilkan seseorang yang
menembangkan jula juli dan melontarkan lawakan secara sendirian. Bagaimana
dengan musiknya, gamelan yang terdiri dari berbagai perangkat itu pun
disuarakannya secara monolog melalui satu mulut yang sama. Urusan pembagian
honor pun relatif lebih damai karena tidak perlu ribut membagi dengan orang
lain. Lebih hemat dan ringkas bagi siapa pun yang mengundangnya. Mungkin kalau
untuk ukuran saat ini bisa disamakan dengan orang yang memainkan musik organ
tunggal yang bisa meramu semua musik dari pada mendatangkan sebuah grup band.
Memasuki dekade 80an,
sudah sedikit pelaku ludruk garingan ini. Markeso yang semula mengawali bentuk
baru berkesenian ini, berikutnya harus menjadi satu-satunya orang yang bertahan
menekuninya di tengah kota Surabaya yang saat itu sudah bersolek menjadi kota
metropolitan. Di usianya yang makin renta dia harus menelusuri kampung ke
kampung, masuk gang satu ke gang lainnya. Tujuannya satu, mencari orang yang
memanggilnya untuk ditanggap menghibur dengan ludruk garingannya. Namun saat
itu semua tak mudah dilakoninya seperti puluhan tahun sebelumnya. Tukang becak
pun sudah tidak menggunakan jasanya lagi karena lebih banyak kalangan mereka
yang lebih suka menekuni judi domino untuk menghabiskan uang. Para pengusaha
yang mulai mapan pun sudah mulai memakai peralatan modern untuk menghibur diri.
Penampilan Markeso
dalam mencari order ludrukan mudah sekali dikenali. Menggunakan kopiah hitam
dan jas tanpa lengan menyelubungi batik yang selalu disandangnya. Pada bagian
pinggang Markeso melilitkan sebuah sarung di luar celana panjang warna terang
yang dikenakannya. Sepatu hitam jenis big boss selalu ada di kakinya mengiringi
perjalanan dinasnya setiap siang dan sore hari itu. Tak lupa sebuah kaca mata
rayband pemberian temannya selalu dipakainya untuk menutupi matanya yang juling
sebelah itu. pada tahun 90an, penampilan Markeso ini dilengkapi dengan sebuah
tongkat untuk memudahkannya melangkahkan kaki.
Markeso pun pernah pula
menjajal dunia rekaman dengan menjadi bintang tamu pada salah satu album
lawakan Kartolo Cs. Saat itu mereka merekam sebuah lawakan berjudul “Kebo Nusu
Gudel”. Yang secara harafiah berarti orang tua berguru pada yang lebih muda. Saat
itu Kartolo sedang mencapai masa kejayaan dan Markeso pun harus rela mengikuti
tawaran beradu lawak dengan tokoh ludruk yang lebih muda darinya itu.
Materi ludrukannya pun
tidak lepas dari situasi konflik yang terjadi di kalangan masyarakat. Seputar masalah
keluarga, tukang becak yang kalah berjudi tapi takut pulang ke rumah, kisah
orang kaya baru, kehidupan bertetangga dan berbagai kisah kehidupan keseharian
lainnya. Tidak sekali pun dia mau mengangkat masalah politik maupun hal-hal
yang menyangkut pribadi orang lain seperti agama dan kesukuan. Hal inilah yang
juga diteladani oleh Kartolo, seniman ludruk generasi berikutnya yang eksis
hingga hari ini.
Salah satu parikan
Markeso yang terkenal berbunyi sebagai berikut Sandale nilek, klambine ijo Areke
esek, pancen gak duwe bojo. Bahkan Markeso pula yang melontarkan ucapan khas
berbunyi “Kulo niki sinten” yang belakangan digunakan oleh Usman dalam rekaman
lagunya baik dalam grup Usman Bersaudara maupun bersama No Koes. Keberadaan Markeso
boleh disejajarkan dengan nama Cak Durasim, seorang seiman ludruk legendaris
yang dihukum mati karena kritis terhadap masa pemerintahan penjajah Jepang. Kalangan
seniman Surabaya pun sempat memberikan tambahan Cak untuk melengkapi panggilan
pada nama Markeso sehingga populer menjadi Cak Markeso sebagaimana pelaku
ludruk lain yaitu Cak Sidik, Cak Kancil atau Cak Kartolo.
Pada sekitar tahun
1992, keluarga kami yang saat itu tinggal di jl. Krukah Timur pun suatu kali
pernah nanggap Markeso yang kebetulan sedang melintas di depan rumah yang
terletak di seberang Kalisumo itu. saat itu ketika kakek kami sedang bersantai
di teras rumah, melihat sosok pria tua ini melangkah dengan dipandu tongkat
kayu kesayangannya. Segera saja setelah mengenali pria yang berjalan ini
dipanggilnya dengan berteriak “Markeso..Markeso..”
persisi seperti orang yang memanggil penjual makanan lewat. Markeso pun
datang ke rumah kami dan melakukan tugasnya menghibur melalui ludruk
garingannya.
Rumah kami pun kontan saja dipenuhi oleh
tetangga-tetangga sekitar untuk melihat penampilan Markeso, lumayan gratis. Beberapa
anak kecil pun duduk mengelilingi tempat Markeso melantunkan jula-juli dan
dagelannya. Saat itu saya melihat kepiawaian Markeso menjalankan tugasnya
sebaga seorang penghibur. Walaupun sendirian dan tidak berada di atas panggung
yang besar, imajinasi kami seakan dibawa pada suasana panggung yang megah. Tiba-tiba
saja dia berkata pada beberapa anak yang berada di depannya “Minggir..minggir, ojo ngidek kabel mengko
kesetrum..”. Jelas saja itu hanya sebuah leluconnya, karena saat itu tidak
ada satu kabel pun yang malang melintang di rumah kami mengiringi
pementasannya.
Pembawaan Markeso yang
khas berupa suara berat seperti bergetar memukau setiap orang yang menyaksikan
penampilannya. Setiap kali dia mengawali kidungannya selalu membuka dengan
sebuah ucapan salam yang dilanjutkan dengan kata “Muuuu....laaaiiiii” yang diucapkan dengan jenaka, membuat tertawa
orang ayng mendengarnya. Berikutnya tersajilah kidungan demi kidungan dari
mulut rentanya itu. acapkali di sela kidungannya, dia berhenti untuk menyela
dan melontarkan guyonan khas seorang pemain ludruk. “sik..sik sarungku mlorot...” atau “anake sopo iku kok eleke..” demikian celetukan khasnya di sela
kidungan yang dilagukannya.
Setelah peristiwa
nanggap Markeso itu berlalu, jarang sekali saya mendengar berita tentang
beliau. Sampai suatu kali saya melihat sebuah tayangan TVRI Surabaya yatu
Rona-Rona yang diasuh oleh Didit Hape mengulas tentang tokoh Markeso. Saat itu
digambarkan seniman ludruk ini berada di rumahnya dalam suasana yang begitu
prihatin.Dia menghuni sebuah rumah kontrakan yang sudah lama dtinggalinya di
jl. Putat Jaya, hanya menikmati fasilitas seadanya berdua bersama isteri tercintanya.
Dia harus berjuang melawan penyakit tua yang dideranya yang menghambat lajunya
untuk mencari rejeki dengan menjajakan kidungan. Dia pun harus meninggal dalam
kondisi yang jauh dari hingar bingar pemberitaan di rumah yang terletak di
komplek gang dolly itu.
Usman Bersaudara pun
mengenang keberadaan Markeso ini melalui sebuah lagu karyanya yang direkam
dalam album Pop Jawa volume 1 yang beredar pada tahun 1978. Saat itu di tengah
lagu dimunculkan suara khas Markeso yang diucapkan oleh salah seorang personel
band asal Surabaya ini. Tatkala lagu ini diperdengarkan melalui tape lusuh yang
saya putar, ingatan saya menerawang kembali pada sosok Markeso yang pernah
hadir memeriahkan jagad hiburan warga kampung di Kota Surabaya yang saat itu
masih belum banyak dicemari oleh permainan digital seperti saat ini.
Hari ini ketika situasi
hiburan di sekitar kita sudah dipenuhi dengan berbagai fasiliats canggih dan
serba komputerisasi, adakah kita masih sempat mengingat walau sejenak tentang
Markeso, seorang pejuang seni yang gigih membela eksistensi ludruk yang makin
tergerus jaman ini. Markeso memang telah meninggalkan kita semua, namun karya
dan semangatnya akan tetap terus kita
kenang dan teladani. Matur nuwun Cak Markeso.
Sayup-sayup lagu berjudul
Markeso itu terdengar perlahan mengakhiri nyanyiannya sebagai berikut : “Sembah nuwun pak, kulo pun kenal..nami
sampean jebule Pak Markeso..”.
( Okky T. Rahardjo, penikmat
Kota Surabaya, 085645705091 )