Pada setiap tanggal 25 November bangsa Indonesia
menyediakan hari untuk peringatan bagi bapak dan ibu guru. Saat itu sebagian
besar jiwa kita seakan terlempar sejenak ke masa lalu. Masa di mana kita masih
berada di bangku sekolah untuk menuntut ilmu. Tanpa sadar kita seakan
diingatkan kembali akan jasa dan pengabdian para guru yang pernah mendidik dan
mengajar kita sehingga menjadi insan yang berpengetahuan.
Pada tanggal 25 November yang sudah berlalu, sebagian
besar kehidupan sosial kita tertuju pada sosok seorang guru. Status BBM,
Facebook, Twitter serta berbagai lini sosial lainnya sebagian besar memberikan
perhatian dan selamat pada guru yang sedang ber-hari raya. Mulai dari sekedar
mengucapkan selamat hari guru, mengutip syair lagu tentang guru hingga
mengenang romantisme pada sosok masing-masing guru yang pernah mendidik dan
mengajar para pengguna media sosial.
Presiden Joko Widodo pun dalam puncak peringatan hari
guru tampk bahagia ketika di hadapan beliau duduk beberapa orang guru yang
pernah mengajar beliau semasa SMA. Tanpa luput beliau menyebutkan nama beberapa
guru yang sengaja dihadirkan dari Kota
Solo untuk memperingati hari guru bersama Presiden Republik Indonesia yang
notabene merupakan bekas murid mereka.
Setiap kita tidak lepas dari sosok seorang guru dalam
berbagai tingkatan pendidikan. Mulai tingkat TK, SD, SMP hingga SMA. Jujur
tidak banyak guru TK yang bisa saya ingat. Kalau guru SD saya masih ingat
karena memang jangka waktu mereka mengajar cukup lama. Setidaknya masing-masing
guru mengajar setiap hari selama satu
tahun. Salah satu yang saya ingat diantaranya guru kelas 5 yang sekarang sudah
almarhum. Pada guru laki-laki ini saya seakan menaruh ”dendam” dan saat itu
membuat saya tidak mau memiliki impian sebagai seorang guru.
Betapa tidak, saat itu beliau ketika pelajaran
berlangsung seringkali menggoda murid perempuan. Bahkan tidak
tanggung-tanggung, menggodanya menjurus kea rah fisik sekalipun tidak sampai
berlebihan. Saat murid-murid mengerjakan tugas, bapak ini acapkali mendatangi
tempat duduk murid perempuan. Bahkan yang dikunjungi oleh bapak ini merupakan
murid perempuan pilihan, artinya hanya yang memiliki paras cantik dan menarik
saja yang didatangi oleh pak guru. Setelah duduk di sebelah sang murid putri,
segera rambutnya dibelai dan tangannya dipegangi. Bila murid yang dirasa kurang
cantik atau bahkan yang laki-laki, jangankan didatangi kalau ada yang bertanya
pun tidak akan segera direspon.
Memang
tindakan pak guru ini tidak sampai mengarah pada perbuatan mesum, namun
tindakan dengan alasan kasih saying namun berlebihan tersebut sangat membuat risih.
Bagi kami yang melihatnya saja rasanya jengah apalagi bagi murid perempuan yang
mengalaminya, tentu muak namun sungkan untuk menyampaikan. Pada saat kami naik
ke kelas 6, saya merasa bahagia karena tidak dajar oleh guru tersebut lagi.
Ketika
saya masuk di tingkatan SMP yang termasuk SMP favorit nomer dua d kota
Surabaya. Bangga juga karena di sekolah ini banyak anak pejabat yang
bersekolah, sekalipun pada masa berikutnya ada juga yang belakangan diusut oleh
penyidk KPK. Berita itu saya ketahui jauh setelah saya sudah lulus SMP,
mengingat waktu saya SMP masih masuk dalam jaman orde baru. Oya ternyata di
sekolah ini ada juga anak pelatih sepak bola yang menjad idola saya. Suatu kali
ketika saya piket jaga di dekat lapangan sekolah, ada sosok Rusdy Bahalwan yang
tiba-tiba mengajak saya bicara. Wah, bangga banget ada orang yang selama ini
saya idolakan secara tak terduga mengajak berbincang sekalipun hanya basa-basi
seputar keadaan sekolah. Tau kan Rusdy Bahalwan, pelatih Persebaya Surabaya
yang fenomenal itu. Saat itu saya menggemari Persebaya yang sedang mencapai
puncak kejayaan ditangani oleh duet Rusdy Bahalwan dan Subodro.
Pada
masa SMP ini pula pandangan saya terhadap guru mulai berubah seratus persen. Saya
mulai melupakan tindakan guru SD saya yang lalu itu. Saat itu saya menemukan
sosok guru yang benar-benar menjadi panutan. Chamim Rosyidi Irsyad merupakan
guru yang menyita perhatian saya dan sebagian besar siswa lain. Sosok beliau yang
sederhana, lugas dan mau menghargai orang lain menjadikan saya rindu untuk
suatu kali menjadi seorang guru seperti beliau. Semua pendapat dari berbagai
siswa yang tentu beragam dan berbeda dapat diolahnya dengan baik. Menerima tapi
selektif, menolak tapi tidak menyakiti.
Gaya
beliau dalam mengajarkan Bahasa Indonesia membuat pelajaran yang semula
diremehkan itu menjadi menarik untuk diikuti. Bahkan ketika beliau suatu kali
harus tidak masuk, saya sepertinya kelewatan kesempatan besar. Pernah ketinggalan
sebuah film serial yang rutin ditayangkan di televisi, nah seperti itu
kira-kira rasanya saat saya mendapati Pak Chamim tidak masuk mengajar. Memang hasil
didikan beliau tidak langsung saya rasakan saat itu, namun ketika belakangan
saya mulai menekuni profesi sebagai pengajar dan mulai rajin menulis, baik di
dunia maya maupun ketika menerbitkan buku maka ilmu yang beliau transferkan
saat itu mulai terasa manfaatnya.
Saking
kagumnya saya pada Pak Chamim, maka gaya beliau mengajar dapat saya tirukan
dengan baik. Seperti ketika beliau menerangkan sebuah materi seringkali mengawali
dengan perkataan “begini anak-anak….”
sembari mengusap rambut bagian belakang. Pak Chamim saat itu masih terbilang
sebagai guru baru di sekolah kami, sehingga saya sering mendengar selentingan negatif
tentang beliau yang diucapkan oleh guru lain yang lebih senior. Namun saya
tidak ambil pusing, bagi saya apapun komentar orang tentang Pak Chamim tidak
akan mengurangi rasa hormat saya pada beliau.
Pada
masa SMA saya kembali menemukan sosok guru ideal. Ketika saya kelas III jurusan
IPS, sosok Suad Suryadinata seperti menunjukkan arah untuk kehidupan saya selanjutnya.
Pak Suad selaku pengampu pelajaran Tata Negara mampu menerangkan masalah
politik, hukum dan kebangsaan yang semestinya ruwet menjadi sederhana bagi otak
anak seusia SMA yang biasanya malas berpikir ribet apalagi anak IPS. Istilah-istilah
kenegaraan yang tidak mudah dapat saya serap dengan baik karena penyampaian
yang lugas dan sesekali ditimpali humor. Saya yang saat itu masih gamang harus
melanjutkan pendidikan ke mana, segera bertanya pada Pak Suad di mana beliau
dulu kuliah.
Pak
Suad yang asli dari Tasikmalaya ini menjawab kalau dulu kuliah di IKIP Surabaya
jurusan PMPKn. Tanpa pikir panjang, pada waktu Ujian Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (UMPTN), saya segera mendaftarkan diri untuk masuk kuliah di Universitas
Negeri Surabaya (Unesa) yang dulunya bernama IKIP Surabaya. Jurusan pendidikannya
tidak lain di PMPKn, tempat yang sama dengan Pak Suad kuliah dulu. Bahkan sebagian
dosen yang mengajar saya, dulunya merupakan dosen Pak Suad juga.
Sosok
Pak Chamim dan Pak Suad merupakan figur yang secara kuat mempengaruhi saya
untuk saat ini memilih profesi sebagai seorang guru. Adapun guru SD yang masih
membekas di hati saya hanya Bu Emi guru kelas 6, beberapa kali ketika bertemu
di jalan saya sempatkan untuk berhenti hanya untuk sekedar cium tangan. Bahkan saya
sempat juga mengantar beliau pulang saat mendapati beliau harus berjalan kaki
setelah suaminya meninggal dunia, sehingga tidak ada yang menjemput di sekolah
lagi.
Hari
ini sudah delapan tahun saya secara resmi menjadi seorang guru, mengikuti jejak
para penerus saya untuk mencerdaskan anak bangsa. Saya tidak akan melupakan
jasa semua guru yang pernah mendidik saya dari kecil hingga lukus sekolah. Kalau
pun ada sosok tertentu yang tidak bisa saya lupakan, itu karena figur mereka
terlalu kuat melekat di hati dan ingatan saya. Terima kasih bapak dan ibu guru…terima
kasih Pak Chamim dan pak Suad, anda berdua pahlawan bagi saya…Tuhan membalas
kebaikan anda dengan kesehatan, kesejahteraan dan kedamaian hidup bersama
keluarga.
(
Okky T. Rahardjo, 085645705091, 518CC94A )