Bila
menyebutkan nama Sujarwoto Sumarsono, tentu anak-anak muda era millennium akan
mengernyitkan dahi sambil menerka siapa yang dimaksud. Namun bila kita
menyebutkan nama Gombloh, saya yakin konotasi kita akan tertuju pada satu tokoh
itu. Ya seribu julukan dan nama Gombloh boleh disandang oleh masyarakat Jawa
namun kita tetap tidak bisa meluputkan diri dari figur seorang musisi fenomenal
asal kota Surabaya ini.
Gombloh
dalam perjalanan kariernya menurut saya terbagi atas dua fase. Fase yang
pertama yaitu ketika dia menapaki karier bersama grupnya yang bernama Lemon
Tree’s. Bersama grup ini Gombloh memulai perjalanan kariernya sebagai seorang
musisi. Jiwa seninya sempat ter pendam sekian waktu, mengingat saat itu orang
tuanya menghendaki dia menempuh pendidikan formal selepas lulus SMA. Ketika
pada akhirnya jiwa seni itu semakin membuncah dan tidak dapat diabaikan lagi,
Gombloh mengajak beberapa rekannya untuk membentuk sebuah band. Jadilah Lemon
Tree’s hadir meramaikan jagad hiburan di kota Surabaya.
Gombloh
pada fase ini muncul sebagai sosok pemuda berambut panjang sedikit berombak,
bila tidak bisa disebut keriting. Dia benar-benar muncul sebagai ikon kebebasan
anak muda. Figur yang menyuarakan kebebasan dalam berekspresi di dunia seni.
Keberadaan Gombloh saat itu cenderung berani dan nakal khas anak muda saat itu.
Bebas menyuarakan lagu-lagu yang kritis tanpa harus takut diberangus oleh siapa
pun. Mungkin itulah kelebihan musisi-musisi asal kota Surabaya saat itu.
Apalagi ditunjang adanya perusahaan rekaman yang juga bercokol di bumi Pahlawan
ini, beberapa seniman asal kota Surabaya lebih berani bersuara karena jauh dari
pusat kekuasaan di ibu kota.
Lemon
Tree’s sendiri resminya bernama Lemon Tree’s Anno ’69 karena didirikan pada
tahun 1969 dengan formasi awal yaitu : Wisnu Padma (piano, vokal), Gatot
(gitar), Tuche (bas gitar), Totok (drum), Lorena (vokal) , Reny C. (vokal), dan
Ais (vokal). Serta Gombloh sendiri pada lead vokal dan gitar. Keberanian
Gombloh terlihat pada lirik-liriknya yang unik dan cenderung menghindari arus
lagu-lagu cinta yang mainstream saat itu. Lagu-lagu yang diciptakan saat itu
banyak bermuatan kritik sosial terhadap laju kota Surabaya, kebanggaan pada
bangsa Indonesia dan kekaguman pada alam semesta ini. Lagu populer yang kita ingat
diantaranya adalah Kebyar-Kebyar dan Berita Cuaca. Salah satu kata yang
fenomenal dan nakal namun menggelitik adalah pada sebuah lagu yang bertajuk
“Tahi Kucing Rasa Coklat”. Nah, pasti pernah dengar kata tersebut kan…
Walaupun
didirikan pada tahun 1969, Lemon Tree’s merekam debut albumnya pada tahun 1978.
Dalam perjalanannya, sejumlah musisi tercatat pernah tergabung dengan grup yang
pernah berkiprah di Jember ini. Sederet nama kondang macam Wahid Ajie
(C’Blues), Murry (Koes Plus), Leo Kristi dan Franky Sahilatua pernah mewarnai
band ini dalam awal perjalanan karier mereka. Sebuah album jawa nyentrik
berjudul Sekar Mayang pernah direkam oleh grup ini pada tahun 1981.
Fase
kedua perjalanan karier Gombloh adalah ketika dia bersolo karier. Semua berawal
pada tahun 1983, dengan sebuah album pop eksentrik yang berjudul “Gila”. Pada
album yang direkam secara live studio ini Gombloh mulai menancapkan tajinya
sebagai seorang musisi yang patut diperhitungkan. Bahkan keberadaannya saat itu
mampu menjadi trend setter bagi sejumlah musisi yang berkecimpung dalam jalur
musik pop. Hal ini tidak bermaksud berlebihan, kita lihat saja sejumlah lagu
yang saat itu muncul seakan meniru gaya dan ciri khas pada music dan lagu yang
pernah direkam oleh Gombloh.
Sukses
dengan Gila, Gombloh melanjutkan dengan album berjudul “1/2 Gila” yang dirilis
pada tahun 1984. Gayanya yang terkesan apa adanya dengan topi kotak yang kadang
bertuliskan “CAT” selalu dipakainya ditambah dengan kacamata yang dirangkai
oleh seuntai rantai menempel pada telinganya. Gombloh yang saat itu usianya
sudah tidak bisa dibilang muda lagi tampaknya mampu membuat inovasi dan kreasi
tersendiri, sehingga dia tidak terkalahkan oleh penyanyi-penyanyi baru yang
muncul tiada henti.
Wajah
keriputnya sering kali menghiasi tayangan Aneka Ria Safari yang sesekali
ditemani model cantik, diantaranya Titi Qadarsih. Bahkan sempat juga Gombloh
muncul sebagai cameo dalam salah satu sekuel film Catatan Si Boy. Gombloh
merupakan sebuah legenda yang kemunculannya benar-benar fenomenal. Di mana-mana
orang membicarakan Gombloh. Tidak ada orang yang tidak hafal lagu baru yang
direkam oleh Gombloh. Tidak ada satu pun yang melewatkan kemunculannya semalam
di Aneka Ria Safari. Paginya, pasti membicarakannya dan bahkan menertawakan kelucuan
dalam syairnya. Tidak ada satu pun yang tak henti memujinya. Bahkan, bukan
orang Surabaya bila tidak mengenal Gombloh.
Fase
kedua Gombloh ini berada di bawah naungan label Nirwana Record yang dulu berada
di area jl. Tunjungan dekat pertokoan Siola. Kaset-kasetnya selalu ditunggu
oleh penggemarnya. Keberpihakannya pada rakyat kecil pinggiran dan terabaikan
membuat namanya harum di kalangan penggemarnya. Penyajian lagu-lagu cinta yang
dibuatnya tidak membuat pendengarnya mengharu biru macam lagu-lagu era ‘80an.
Bahkan putus cinta pun tidak perlu ditangisinya secara cengeng, malah
ditertawakannya dalam lirik lagu “Kugadaikan Cintaku”.
Tanpa
bermaksud kedaerahan, seakan Surabaya adalah milik Gombloh. Demikian juga
sebaliknya, Gombloh adalah milik kota Surabaya. Namun cintanya pada tanah air
membuat penggemar musik menjadi yakin bahwa dia juga milik bangsa Indonesia.
Betapa tidak, karyanya Kebyar-Kebyar saat ini sudah seperti menjadi lagu
kebangsaan kedua setelah Indonesia Raya. Siapa orang yang tidak terbakar rasa
nasionalismenya ketika mendengarkan lagu itu. Titik air mata tak terasa akan
keluar manakala mendendangkan lagu yang sempat direkam ulang pada tahun 80an
itu.
Belum
terlambat ketika melalui tulisan ini
kami harus menyampaikan “Selamat ulang tahun cak Gombloh…”. Beliau lahir
pada 14 Juli 1948 dan besar di sebuah kampung yang bernama Kebangsren. Walaupun
kini engkau telah tiada, karyamu akan tetap abadi di hati kami semua. Dalam
sebuah perbincangan dengan seorang teman yang juga penggiat seni, sempat
terlontar kami berucap seandainya saja gedung kesenian kota Surabaya yang
dibangun di atas lahan eks bioskop Mitra diberi nama “Gedung Kesenian Gombloh”.
Namanya layak diabadikan, karena sejatinya dia juga pantas disebut sebagai
pahlawan.
(Okky T. Rahardjo, penggemar
Gombloh dari kota Surabaya-085645705091)