Seorang anak adalah sebuah kepercayaan besar yang Tuhan
berikan kepada setiap pasangan yang membangun sebuah keluarga. Memiliki anak
merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri yang tidak bisa digantikan oleh apa pun
juga. Tidak berarti yang belum memiliki anak berarti tidak bahagia, semua
kebahagiaan menurut saya ada tingkatan tersendiri. Ada kebahagiaan yang bisa
dialami karena memiliki anak, tapi ada juga kebahagiaan yang bisa dialami hanya
karena masih berdua saja dalam sebuah keluarga.
Ketika tahun yang lalu Tuhan memberikan sebuah
kepercayaan dengan lahirnya putrid pertama kami, terasa begitu bahagianya hati
kami. Betapa tidak, putri kami ini seakan mau menunggu bulan Juni untuk keluar
dari kenyamanan di dalam perut ibunya. Dia seakan mau memberikan kado yang
istimewa melalui kehadirannya di muka bumi. Pernyataan ini bukan sesuatu yang
berlebihan, mengingat saat itu perkiraan kelahirannya adalah akhir bulan Mei.
Sementara ketika dia lahir pada enam Juni, ternyata bidan menyatakan dia
seharusnya sudah terlambat lahir. Hal itu dibuktikan dengan ari-arinya sudah
layu dan air ketuban sudah keruh. Nah, siapa juga yang menduga dia harus lahir
lebih cepat atau yang meminta dia lahir lebih lambat. Buat saya, kalau mau
lahir ya lahirlah. Hanya saja kalau lahir akhir Mei, waktu itu keuangan saya
belum siap…he he he..
Ketika putri kami, Christina Elvira Putri Rahardjo lahir
saya mengalami sesuatu yang berbeda. Diantaranya adalah perasaan yang timbul
sebagai seorang ayah. Perasaan ini yang saya maksudkan adalah adanya suara
batin sebagai seorang ayah. Kita mungkin pernah mendengar sebuah pernyataan
yang menyebutkan seorang anak memiliki ikatan batin dengan orang tuanya dan
sebaliknya. Saya bukan tidak percaya,tapi saya hanya ingin menguji sampai
seberapa benar pernyataan itu. Sampai akhrnya saya membuktikannya sendiri. Dulu
saya berpikir, kalau itu hanya berlaku pada ibu dengan anaknya, tapi kalau ayah
seberapa benar pernyataan itu berlaku, tentu harus dibuktikan dulu. Mohon maaf,
kadang segala sesuatu yang terjadi saya harus bisa mencerna secara logika dulu.
Maklumlah, saya seorang guru yang membuat segala sesuatu yang terjadi harus
masuk akal dan bisa dibuktikan.
Logika itu pada akhirnya terbantahkan juga ketika saya
mengalami sendiri beberapa peristiwa yang membuat saya yakin bahwa saya
ternyata juga memiliki ikatan batin dengan anak saya. Mungkin bagi beberapa
orang hal ini terkesan berlebihan, tapi bagi saya ini merupakan sesuatu yang
luar biasa. Maklum saya masih sedang hangat-hangatnya menjadi seorang ayah. Setidaknya
ada tiga hal yang bisa saya buktikan mengenai adanya ikatan batin antara
seorang ayah dengan anaknya. Beberapa peristiwa ini kelihatannya kebetulan,
sepele, remeh namun terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja.
Pertama ketika bayi kami harus masuk rumah sakit beberapa
jam setelah dia lahir. Saya pernah berkisah tersendiri tentang hal ini. Ya
intinya karena terlambat lahir tadi, maka ada beberapa gangguan yang dia alami.
Yang paling kelihatan adalah selama sekian jam dia tidak mau membuka mata dan
tidak mau minum. Mencegah terjadi sesuatu yang berbahaya, bidan menyarankan dia
dirujuk ke RSUD Dr. Soedono Madiun. Petang dia masuk, petang itu juga harus
saya tinggalkan ke Surabaya. beberpa hari saya tidak bisa menjumpai putri kami
yang saat itu berada di ruang perawatan bayi. Istri saya yang tiap hari
memantau di rumah sakit, terus memberi kabar perkembangan kondisi Nara,
panggilan untuk anak kami.
Sampai akhirnya pada hari Sabtu, 9 Juni 2012 saya
memiliki kesempatan untuk menuju Madiun. Sudah tidak sabar menengok Nara yang
masih terbaring di rumah sakit terbesar di kota itu. Tapi tetap tidak mudah
melihat keberadaan Nara. Dia berada di ruang steril yang tidak memungkinkan
siapa pun bisa masuk dengan bebas. Satu-satunya kesempatan untuk masuk adalah ketika
ibunya mengantarkan susu hasil perasan ASI pada perawat yang menjaga.
Mengantarkan ASI pun ada jam tersendiri. Yang paling akhir adalah jam 20.30,
seingat saya. Kesempatan mengantarkan ASI kali itu diberikan pada saya, supaya
bisa mencuri kesempatan melihat Nara yang sedang terbaring dalam keadaan
infus mengitari wajahnya.
Pelan-pelan saya masuk, setelah mengenakan baju khusus
untuk ruangan seril. Sambil membawa botol berisi ASI saya masuk ke ruangan yang
berisi belasan bayi dengan berbagai gangguan fisik. Semua tidur, tidak ada yang
melek. Mengingat jam yang sudah larut malam, ditambah kondisi ruangan yang
sejuk karena adanya AC serta situasi yang hening. Tapi begitu saya melangkah,
tiba-tiba terdengar suara tangis yang memecah kesunyian. Tangisan yang
meraung-raung, diantara bayi-bayi lain yang masih terlelap. Saya melongok
sebentar kearah tempat tidur, ya ampun…tangisan itu berasal dari tempat tidur
tempat Nara terbaring. Saya sadar itu bukan tangisan lapar, juga bukan tangisan
minta ASI…itu adalah tangis kerinduan pada ayahnya. Seakan mau memanggil saya
untuk kali pertama. Haru dan bahagia itu pasti walaupun saya tidak bisa
meresponi untuk dating ke ranjang tempat dia berbaring. Tapi saya bangga, dia
mengenali kehadiran saya sekalipun tidak ada deru langkah yang menghentak,
namun keberadaan saya sudah menggoncang hatinya. Jujur, itu tangisan pertamanya
yang saya dengar. Ketika dia lahir, saya tidak ada di sampingnya. Ketika saya
hadir, dia tidak bereaksi apa pun sampai akhirnya dibawa ke rumah sakit itu.
Ikatan batin itu yang akhirnya harus saya akui
benar-benar nyata antara seorang ayah dengan anaknya. Yang kedua, yang juga
masih membekas yaitu ketika 7 Juni 2013 lalu saya harus pulang sepagi mungkin
dari Madiun menuju Surabaya. saya harus mengejar keberangkatan kereta yang
pertama, yaitu Arjuno Ekspress. Maklum, selain supaya tidak terlambat menuju
tempat kerja, juga kereta ini yang paling murah. Pagi itu, waktu masih
menunjukkan pkl. 02.00 WIB. Saya sudah bersiap diri sebaik mungkin karena kereta
akan berangkat pkl. 03.35. Nara masih tertidur pulas, kami tidak berani
mengganggunya, masih terlalu pagi. Lima belas menit kemudian, menjelang saya
berangkat. Tiba-tiba saja dia menggulingkan badan lalu melek sambil tersenyum
menghadap saya. Ya ampun, dia mengerti kalau saya akan berangkat dan
meninggalkan dia. Manis sekali senyumnya pagi itu…
Yang ketiga, belum lama ini. Hari MInggu, 7 Juli 2013
saya pun akan meninggalkan Madiun menggunakan Arjuno Ekspress. Mengakhiri dua
minggu liburan di kota itu. Pagi-pagi sekali, jam 02.45 menjelang berangkat
saya dan istri berdoa bersama. Kami berusaha untuk tidak terlalu berisik supaya
Nara tidak terbangun. Benar saja, sampai sekian waktu ketika saya bersiap di
kamar dia tidak terganggu, nyenyak sekali tidurnya. Sampai ketika kami berdoa
pun, dia masih pulas. Hingga ketika dalam doa saya mengucapkan sesuatu menyebut
nama Nara serta berdoa untuk kebaikan hidupnya, dia berekasi. Ketika nama Nara
mulai saya ucapkan, seketika itu dia seperti anak yang merengek. Tidak menangis.
Hanya sekian detik saja dia merengek atau apalah istilahnya…Setelah itu kembali
dia terdiam, tertidur memeluk guling Doraemon kesayangannya. Dalam hati saya
merasakan, kok tau saja nih anak kalau namanya disebut….
Ketiga hal yang saya kisahkan di atas adalah sebuah
peristiwa yang remeh, kecil dan mungkin kelihatannya kebetulan. Tapi bagi anda
yang sudah menjadi seorang ayah pasti memahami apa yang saya alami. Apalagi
ketika anda mengingat saat-saat memiliki anak pertama. Ikatan batin itu
benar-benar ada. Ikatan batin itu tidak akan hilang. Jangan pernah sampai lepas
dan putus ikatan batin antara anak dan orang tua. Sebagaimana pun anak yang
dipercayakan kepada kita, tetap dia adalah harta yang istimewa.
Kami berharap bisa mengemban kepercayaan ini dengan baik.
Lebih dari itu, kami rindu keberadaan kami mampu menjadi manfaat yang baik bagi siapa pun…selamat
menjadi ayah yang baik. Selamat menjadi ibu yang bijak. Selamat menjadi orang
tua yang dipercaya. Selamat menjadi keluarga yang bahagia…
Okky T. Rahardjo
(085645705091)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar