Jarum jam menginjak pkl. 21.00, saat itu Pak Iwan tetangga
yang tinggal di blok P datang ke rumah saya. Kunjungannya malam itu untuk
menghampiri saya guna jaga malam bersama pada hari pertama. Ya, hari itu sampai
beberapa hari ke depan saya bersama dua orang lain bertugas untuk jaga kampung
di wilayah RT 17 guna keamanan rumah warga yang sedang ditinggal mudik.
Malam
itu, Rabu 15 Juli 2015 merupakan giliran pertama untuk jaga kampung. Mungkin
lebih tepatnya jaga komplek ya, karena wilayah yang kami diami ini merupakan
lokasi perumahan. Sebagaimana terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, tiap wilayah
RT diberi tugas untuk menjaga lingkungan masing-masing. Nah pada RT kami tugas
jaga ini dipercayakan pada tiga orang. Selain saya sendiri, ada juga Pak Iwan
dan juga Pak Saiful. Peserta tetap jaga mulai tahun lalu adalah saya dan Pak Iwan.
Sementara seorang lagi seringkali diserahkan pada warga yang tidak mudik namun
diyakinkan untuk mau menjaga.
Memang
tidak mudah untuk mengajak partisipasi warga supaya terlibat jaga keamanan
kampung. Selain mereka banyak yang mudik ke keluarga asalnya, juga kebanyakan
lebih memilih membayar iuran saja dari pada ikut begadang semalaman. Saya
sendiri pun baru tahun kedua ini ikut jaga kampung, mengingat pada
periode-periode sebelumnya papa saya yang bertugas jaga. Nah, ketika beliau
sudah almarhum maka tak mudah untuk mencari penggantinya. Mau tak mau tugas
jaga ini pun diwariskan pada saya. Sedangkan Pak Iwan sudah mulai ikut tugas
jaga sejak pertama kali ada pembagian jaga empat tahun lalu bersama papa saya.
Malam
itu kami berdua mulai tugas dengan duduk berdua di depan rumah yang terletak di
ujung blok. Tepatnya di depan rumah E-01 kami duduk di bawah cahaya yang
temaram, karena fasilitas listrik yang sudah mulai minim. Pemilik rumah yaitu
Pak Rofik sudah mudik ke Madura sejak beberapa jam lalu. Ngobrol ngalor ngidul
sembari mengawasi warga yang masih bertebaran di sepanjang malam itu, menjadi pilihan
aktivitas kami untuk membunuh malam. Pak Wan ini termasuk orang yang seru karena
selalu pandai membuat bahan pembicaraan. Apapun bisa dibicarakan dan menjadi
topik yang menarik untuk diikuti.
Pak Iwan
merupakan orang Sunda kelahiran Garut yang beristrikan perempuan asal
Tulungagung. Sang istri sudah lebih dulu berangkat mudik siang sebelumnya.
Sementara Pak Iwan memilih untuk berjaga di komplek perumahan sampai usai
lebaran. Sembari penasaran saya sempat bertanya pada Pak Iwan mengapa dia
memilih ikut berjaga di komplek dari pada ikut istri mudik ke Tulungagung atau
pulang ke Garut. Saya heran saja, kalau alasan demi keamanan warga maka terlalu
normatif untuk dijadikan alasan. Saya menduga pasti ada alasan lain yang
menjadi pegangan, sehingga empat tahun ini lebih memilih bertahan di Gresik
dari pada ikut latah mudik sebagaimana warga kebanyakan.
Pak Iwan punya argumen tersendiri mengapa tidak mau ikut
istrinya ke Tulungagung untuk berlebaran di rumah mertua. Menurut dia,
berlebaran di kota yang berbatasan dengan Kediri itu tidak ubahnya seperti hari
biasa. Bagaimana tidak, ketika dia berkunjung pada hari biasa di rumah
mertuanya itu sering mendapatkan suguhan makanan daging ayam yang dijadikan
opor. Sementara ketika lebaran menu yang sama pun didapatnya tak beda ketika
hari biasa itu. Dia membandingkan ketika berlebaran di Garut, makanan yang
dinikmati saat hari-hari istimewa berbeda dengan hari biasa. Hal itulah yang
membuat lebaran terasa beda dengan hari lain pada umumnya.
Selain itu Pak Iwan juga merasa kurang nyaman karena
ketika waktunya silaturahmi seringkali menunggu saat usai Maghrib tiba.
Sementara pada warga kebanyakan usai menunaikan Sholat Ied langsung berderet
untuk bersalaman ke masing-masing tetangga. Hmm, lain lubuk lain ikannya. Lain
padang lain belalang. Lain tempat lain pula adatnya. Namun semua boleh dan sah
saja untuk menjadi pertimbangan pribadi, termasuk bagi pak Iwan ini.
Sementara pilihan untuk tidak mudik ke Garut diambilnya
mengingat selain kedua orang tua sudah tidak ada juga dalam waktu dekat dia
akan pulang ke sana untuk menghadiri pernikahan salah satu kerabat. Dari pada
harus dua kali bolak balik ke sana, Pak Iwan pun memilih lebaran tidak mudik ke
Garut.
Dalam tugas jaga ini kami bertiga mendapatkan imbalan
sekedar pengganti uang lelah, yang nilainya lumayan juga untuk tugas selama
tujuh hari. Namun tentu sangat naif kalau alasan dapat imbalan uang dijadikan
dasar mau berpartisipasi menjaga keamanan kampung. Setiap warga sebelum mudik
membayar iuran sebesar lima puluh ribu yang salah satu alokasi dana iuran
tersebut digunakan untuk membayar jasa warga yang mau bertugas jasa.
Menariknya, setiap tahun imbalan jaga ini selalu naik sekitar lima puluh ribu.
Ya lumayan buat penambah semangat untuk yang bertugas jaga.
Kami mendapatkan tugas jaga ini terdiri atas tiga orang,
namun dalam setiap harinya diatur sehingga sepertinya ada dua orang yang
berjaga sedangkan yang satu beristirahat. Sementara itu dalam rentang tiap jam
ada seorang petugas dari lingkungan RW yang berkeliling mengedarkan absen tanda
tangan bagi yang berjaga mulai RT 11 sampai RT 17. Malam pertama kami sudahi
sampai pkl. 02.30 mengingat Pak Wan masih harus menyiapkan makan sahur dan saya
sendiri merasa kurang prima karena dinginnya udara Surabaya beberapa hari ini
yang diakibatkan adanya gejala alam yang disebut Badai Nangka.
Tugas jaga ini dibagi dalam dua sesi. Sesi satu dimulai
pagi hingga siang hari dan sesi malam
berlangsung sampai menjelang subuh. Pagi hari besoknya Pak Saiful yang berjaga
sendirian. Sementara pada keesokan malam giliran saya kembali bertugas jaga
bersama Pak Saiful. Mudah-mudahan berjaga bersama Pak Saiful tidak kalah seru dengan
saat berduet bersama Pak Iwan, supaya tidak cepat ngantuk kala malam tiba....
( Okky T. Rahardjo, 085645705091, 518CC94A )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar