Selasa, 20 Agustus 2013

Album "Glodok Plaza Biru", Sebuah Catatan Singkat




Bulan Agustus ini kita akan kembali mencoba menengok keberadaan album Koes Bersaudara maupun Koes Plus yang beredar di tahun-tahun yang lalu. Pada bulan kedelapan ini terdapat sebuah album yang rilis pada tahun 1980, yaitu Glodok Plaza Biru. Sebuah album yang direkam atas nama Koes Bersaudara. 

Kehadiran album ini sebenarnya cukup mengejutkan juga, kalau tidak boleh dibilang membingungkan. Mengingat setelah kurang berhasilnya reuni Koes Bersaudara melalui album Kembali dan beberapa album yang mengikutinya, keberadaan grup yang dikomandani oleh Tonny Koeswoyo ini sudah beralih kembali menjadi Koes Plus sejak tahun 1978. Namun keberadaan album dengan nama Koes Bersaudara ini pun juga bukan langkah yang pertama, karena setahun sebelumnya mereka sudah muncul melalui album “Boleh Cinta Boleh Benci”. 

Sebagaimana kemunculan album “Boleh Cinta Boleh Benci” yang tidak digarap secara utuh oleh personel Koes Bersaudara, album Glodok Plaza Biru (selanjutnya kita sebut GPB) pun juga tidak menghadirkan keempat musisi bersaudara itu dalam penggarapan albumnya. Bisa dikatakan bahwa kemunculan album Koes Bersaudara setelah era “Kembali”, seakan mereka hanya mencoba untuk eksis di tengah persaingan industri musik pop Indonesia yang seakan tak lagi ramah kepada mereka seperti pada masa sebelumnya. Hal ini dikarenakan rekaman album mereka tidak lagi diikuti dengan penampilan panggung sebagaimana lazimnya sebuah group musik yang mempromosikan album baru mereka.

Lagu pertama yang kita dengar ketika memainkan album ini melalui pita kaset produksi Purnama atau yang memiliki versi Piringan Hitamnya, kita akan mendengarkan sebuah lagu syahdu bertajuk “JanganLagi”. Lagu ini dinyanyikan dengan penuh penghayatan oleh Nomo Koeswoyo. Lagu ini mengisahkan kerinduan seseorang untuk berkumpul kembali dengan kekasihnya. Namun bisa juga dikiaskan sebagai kerinduan seorang Nomo untuk tetap akrab dan akur lagi bersama ketiga saudara kandung yang seakan meninggalkannya seorang diri. Nomo memang seorang yang ikonik dengan band Koes Bersaudara sehingga memunculkan suara emasnya dalam urutan pertama memang sebuah sajian yang menarik perhatian tersendiri. Penggemar akan mudah tertarik simpatinya terhadap personel yang dulu pada masa jaya Koes Bersaudara menduduki posisi penggebuk drum ini.

Urutan kedua yaitu “Glodok Plaza Biru” yang sekaligus merupakan judul album ini. GPB disajikan dengan melankolis oleh Yon Koeswoyo yang ditimpali oleh Tonny Koeswoyo pada bagian reffreinnya. Yon Koeswoyo melagukan keprihatinannya pada sebuah tempat yang lima belas tahun lalu mereka sebut sebagai bui sekarang telah berubah menjadi sebuah plaza yang berhiaskan kemewahan dan menjadi jujukan orang untuk berbelanja. Begitu manisnya sang pembuat lagu mengubah istilah yang seram seperti penjara, tahanan atau bui menjadi rumah dosa. Seakan mereka menyadari bahwa mereka pernah menghuni tempat tersebut sebagai orang yang berlumur aib. Oleh karena itu hanya pertobatan sebagai seorang berdosa yang membuat mereka harus mengalami proses di tempat yang pernah mereka tunggu itu. 

Hmm, cukup enak kedengarannya juga..”yang pernah ku tunggu” bukan “yang pernah aku mendekam atau sejenisnya..”. idiomatik seperti ini tentu membuat pendengarnya bertanya-tanya apa yang dimaksud oleh sang penyanyi sebelum akhirnya penasaran dan membuka catatan lama tentang kisah Koes Bersaudara. Mengapa Koes Bersaudara dipenjara ? Ah, rasanya saat ini bukan waktu yang tepat untuk membahasnya. Perlu ada sebuah ruang lain untuk kembali mengenang masa itu.

GPB sendiri bisa dibilang merupakan trilogi dari lagu-lagu yang mengisahkan sekelumit kisah mereka menghuni rumah dosa. Dua lagu yang lain yaitu “Di Dalam Bui” dan “Balada Kamar 15” telah dengan gamblang mereka dendangkan pada tahun 1967. Kedua lagu sebelumnya dilahirkan ketika energi muda mereka masih meluap dengan berbagai gejolak emosi yang tak terbendung, namun edisi ketiga ini hadir ketika mereka sudah matang oleh usia dan pengalaman hidup. Mengapa harus ada tambahan kata “biru”..Saya yakin bukan karena gedungnya berwarna biru. Namun biru merupakan sebuah warna yang melambangkan kesedihan. Situasi yang murung dan penuh keprihatinan. Hal ini pernah tergambarkan pula dalam sebuah lagu yang berjudul “Melati Biru”. Sekilas petikan melody gitar pada bagian interlude lagu ini oleh Tonny Koeswoyo mampu menyita sejenak emosi keharuan kita terhadap perjuangan hidup yang mereka alami. Itulah salah satu kejeniusan sang maestro musik pop Indonesia.

Tak mau larut dalam kesedihan, Tonny Koeswoyo menggebrak melalui lagu “Mengapa” pada urutan ketiga. Sebuah lagu rancak khas Tonny yang selama ini terselip dalam sebagian besar album mereka. Rasanya ada segudang lagu dengan judul “Mengapa” pada album Koes Plus namun yang ini rasanya tidak boleh dilewatkan begitu saja. Begitu kita mendengar intronya, seakan secara spontan mengajak kita untuk bangkit dari tempat duduk dan bergoyang mengikuti irama lagu. Bahkan kalau perlu ikut bergumam “oh yeah..” sebagaimana diucapkan oleh sang vokalis. Salah satu keunikan lagu ini yaitu adanya break pada akhir lagu. Pendengar yang menganggap lagu ini usai tiba-tiba saja dikejutkan dengan munculnya lagi vokal sang maestro melanjutkan sisa lagu yang masih belum rampung dibawakan.

Selanjutnya, joget dan berbagai goyangan sementara waktu berhenti dulu. Seakan menyilakan untuk kembali duduk, perasaan kita dihanyutkan melalui lagu “Tanpa Hati”. Rasanya saya tidak perlu banyak berkomentar tentang lagu ini. Coba nikmati lagu ini dalam sebuah kesunyian, ditemani cahaya lampu yang temaram. Kita akan benar-benar mengerti pesan apa yang disampaikan oleh pembuat lagu ini. Sebuah bunyian semacam suara saxophone akan mebuat perasaan kita ngelangut dan melayang mundur mengingat masa-masa hidup yang pernah kita alami. Tapi kalau kita mendengar sambil lalu saja, maka kedalaman lagu ini tidak akan pernah kita nikmati. Mau bukti ? Coba putar lagu ini melalui sarana apa pun yang anda miliki.

Segudang pula tema malam minggu yang pernah dinyanyikan oleh Koes Plus, kali ini Yon Koeswoyo melagukan “Minggu Malam”. Sebuah tema yang unik dan jarang sekali diangkat. Kalau Hari Minggu pun juga sudah beberapa kali diangkat, namun lagu tentang malam senin ya hanya sekali ini. Sebuah karya yang unik dan kreatif walaupun isi lagu masih seputar tentang cinta anak manusia, sebagaimana sebagian besar karya mereka. 

“Di Sepanjang Sungai Kecil” merupakan sebuah lagu yang terasa jazzy. Kita akan dibawa pada sebuah pengalaman nge-jazz bersama Koes Bersaudara melalui lagu yang sarat makna ini. drum yang dimainkan juga tidak banyak hentakan. Petikan gitar muncul sesekali seperti nyelonong untuk memberi hiasan khas nuansa jazz. Kita pun juga dibuat kagum dengan munculnya kembali suara saxophone yang diyakini dimainkan sendiri oleh Tonny Koeswoyo. Asyik juga mendengarkan lagu ini. sekali pun album Boleh Cinta Boleh Benci sepintas juga jazzy, namun sebagian besar penggemar meyakini bahwa yang memainkan musik bukan Tonny Koeswoyo karena tetulis iringan No Koes.

Tembang selanjutnya yaitu “Kasihku” merupakan salah satu bukti kedewasaan dan kematangan mereka sebagai seorang penyair yang berlagu. Ungkapan cinta yang ditujukan pada seorang kekasih tidak lagi dibawakan secara spontan namun dengan berbagai kata kiasan yang sarat makna namun tepat pada sasaran. Mau menyatakan cinta pada pasangan melalui syair pada lagu ini ? kelihatannya cocok sekali. Selain Doa Suciku, lagu ini juga memuat sebuah ungkapan doa untuk sang kekasih tersayang. Lagu ini tidak bisa dikalahkan oleh karya musisi-musisi muda masa kini yang cenderung vulgar dan tidak mengindahkan unsur keindahan kalimat dalam pembuatan lagu bertemakan cinta.

Penutup album ini yaitu “Harap Harap Cemas” yang seakan sengaja dipilih untuk menetralkan perasaan yang dari beberapa lagu sebelumnya terbawa melankolis. Lagu ini mengajak kita untuk kembali bergoyang walau sejenak. Sedikit menggerakkan pinggang, bolehlah. Saya tidak tau, apakah frase “Harap Harap Cemas” ini sudah populer sebelumnya ataukah Koes Bersaudara yang pertama kali memperkenalkan, namun rasanya unik juga menyebutkan kata-kata ini. “Harap Harap Cemas” sepertinya berpadanan dengan kata “Dheg Dheg Plas” yang pernah mereka lontarkan belasan tahun sebelumnya.  Bagi telinga saya pribadi, mendengarkan interlude musik pada lagu ini sekilas seperti mendengarkan musik pada parade marching band. 

Sedikit catatan tambahan pada album ini, album GPB sepertinya tidak lagi melibatkan personel secara utuh pada penggarapan musik. Bahkan Yok Koeswoyo pun sepertinya tidak ikut terlibat pada proses pembuatan album ini, mengingat beliau saat itu fokus pada proyek solo album pertamanya yang bertajuk Nyanyian Hitam. Album ini bisa diinterpretasikan sebagai proyek solo Tonny Koeswoyo. Solo di sini bukan berarti beliau menyanyikan sendiri secara keseluruhan lagu-lagu yang ada. Namun seluruh lagu pada album ini merupakan dominasi karya beliau. Bahkan seluruh musik pada album ini tampaknya merupakan garapan beliau seorang diri. Walaupun masih perlu diperkuat oleh analisis dan masukan dari pengamat musik Koes Bersaudara & Koes Plus lain yang lebih senior.

Tak ketinggalan pada desain cover album yang terlihat unik dan artistik. Menggambarkan sepasang malaikat yang menaungi sebuah lilin dan tangan yang terpasung. Mungkin artinya, sebuah harapan dan doa pada Tuhan Yang Maha Kuasa di tengah hidup yang penuh tekanan dan situasi yang serba gelap tak menentu. Sebagaimana yang mereka pernah alami di dalam bui. 

Suatu ketika dalam sebuah perjumpaan, kami sempat mengkonfirmasi tentang album ini pada Nomo Koeswoyo.  Namun sayang sekali, beliau tampaknya lupa akan keberadaan album GPB yang fenomenal ini. Beliau sempat bergumam “ Saya kok tidak diberi tau sama mas Ton ya kalau ada album ini..” Bahkan beliau menduga bahwa album ini rilis pada tahun 1967 selepas dari penjara, mengingat ada kata Glodok.

Demikian yang dapat kami sampaikan mengenai catatan seputar album Glodok Plaza Biru. Mohon maaf atas setiap rangkaian kata, kalimat maupun data yang kurang berkenan. Jayalah selalu musik Indonesia.

( Okky T. Rahardjo, penggemar Koes Bersaudara—085645705091 )


Tidak ada komentar:

Posting Komentar