Bulan
Agustus ini kita akan kembali mencoba menengok keberadaan album Koes Bersaudara
maupun Koes Plus yang beredar di tahun-tahun yang lalu. Pada bulan kedelapan
ini terdapat sebuah album yang rilis pada tahun 1980, yaitu Glodok Plaza Biru.
Sebuah album yang direkam atas nama Koes Bersaudara.
Kehadiran
album ini sebenarnya cukup mengejutkan juga, kalau tidak boleh dibilang
membingungkan. Mengingat setelah kurang berhasilnya reuni Koes Bersaudara
melalui album Kembali dan beberapa album yang mengikutinya, keberadaan grup
yang dikomandani oleh Tonny Koeswoyo ini sudah beralih kembali menjadi Koes
Plus sejak tahun 1978. Namun keberadaan album dengan nama Koes Bersaudara ini
pun juga bukan langkah yang pertama, karena setahun sebelumnya mereka sudah
muncul melalui album “Boleh Cinta Boleh Benci”.
Sebagaimana
kemunculan album “Boleh Cinta Boleh Benci” yang tidak digarap secara utuh oleh
personel Koes Bersaudara, album Glodok Plaza Biru (selanjutnya kita sebut GPB)
pun juga tidak menghadirkan keempat musisi bersaudara itu dalam penggarapan
albumnya. Bisa dikatakan bahwa kemunculan album Koes Bersaudara setelah era
“Kembali”, seakan mereka hanya mencoba untuk eksis di tengah persaingan
industri musik pop Indonesia yang seakan tak lagi ramah kepada mereka seperti
pada masa sebelumnya. Hal ini dikarenakan rekaman album mereka tidak lagi
diikuti dengan penampilan panggung sebagaimana lazimnya sebuah group musik yang
mempromosikan album baru mereka.
Lagu
pertama yang kita dengar ketika memainkan album ini melalui pita kaset produksi
Purnama atau yang memiliki versi Piringan Hitamnya, kita akan mendengarkan
sebuah lagu syahdu bertajuk “JanganLagi”. Lagu ini dinyanyikan dengan penuh
penghayatan oleh Nomo Koeswoyo. Lagu ini mengisahkan kerinduan seseorang untuk
berkumpul kembali dengan kekasihnya. Namun bisa juga dikiaskan sebagai
kerinduan seorang Nomo untuk tetap akrab dan akur lagi bersama ketiga saudara
kandung yang seakan meninggalkannya seorang diri. Nomo memang seorang yang
ikonik dengan band Koes Bersaudara sehingga memunculkan suara emasnya dalam
urutan pertama memang sebuah sajian yang menarik perhatian tersendiri.
Penggemar akan mudah tertarik simpatinya terhadap personel yang dulu pada masa
jaya Koes Bersaudara menduduki posisi penggebuk drum ini.
Urutan
kedua yaitu “Glodok Plaza Biru” yang sekaligus merupakan judul album ini. GPB
disajikan dengan melankolis oleh Yon Koeswoyo yang ditimpali oleh Tonny
Koeswoyo pada bagian reffreinnya. Yon Koeswoyo melagukan keprihatinannya pada
sebuah tempat yang lima belas tahun lalu mereka sebut sebagai bui sekarang
telah berubah menjadi sebuah plaza yang berhiaskan kemewahan dan menjadi
jujukan orang untuk berbelanja. Begitu manisnya sang pembuat lagu mengubah
istilah yang seram seperti penjara, tahanan atau bui menjadi rumah dosa. Seakan
mereka menyadari bahwa mereka pernah menghuni tempat tersebut sebagai orang
yang berlumur aib. Oleh karena itu hanya pertobatan sebagai seorang berdosa
yang membuat mereka harus mengalami proses di tempat yang pernah mereka tunggu
itu.
Hmm,
cukup enak kedengarannya juga..”yang pernah ku tunggu” bukan “yang pernah aku mendekam
atau sejenisnya..”. idiomatik seperti ini tentu membuat pendengarnya
bertanya-tanya apa yang dimaksud oleh sang penyanyi sebelum akhirnya penasaran
dan membuka catatan lama tentang kisah Koes Bersaudara. Mengapa Koes Bersaudara
dipenjara ? Ah, rasanya saat ini bukan waktu yang tepat untuk membahasnya.
Perlu ada sebuah ruang lain untuk kembali mengenang masa itu.
GPB
sendiri bisa dibilang merupakan trilogi dari lagu-lagu yang mengisahkan
sekelumit kisah mereka menghuni rumah dosa. Dua lagu yang lain yaitu “Di Dalam
Bui” dan “Balada Kamar 15” telah dengan gamblang mereka dendangkan pada tahun
1967. Kedua lagu sebelumnya dilahirkan ketika energi muda mereka masih meluap
dengan berbagai gejolak emosi yang tak terbendung, namun edisi ketiga ini hadir
ketika mereka sudah matang oleh usia dan pengalaman hidup. Mengapa harus ada
tambahan kata “biru”..Saya yakin bukan karena gedungnya berwarna biru. Namun biru
merupakan sebuah warna yang melambangkan kesedihan. Situasi yang murung dan
penuh keprihatinan. Hal ini pernah tergambarkan pula dalam sebuah lagu yang
berjudul “Melati Biru”. Sekilas petikan melody gitar pada bagian interlude lagu
ini oleh Tonny Koeswoyo mampu menyita sejenak emosi keharuan kita terhadap
perjuangan hidup yang mereka alami. Itulah salah satu kejeniusan sang maestro musik
pop Indonesia.
Tak
mau larut dalam kesedihan, Tonny Koeswoyo menggebrak melalui lagu “Mengapa”
pada urutan ketiga. Sebuah lagu rancak khas Tonny yang selama ini terselip
dalam sebagian besar album mereka. Rasanya ada segudang lagu dengan judul
“Mengapa” pada album Koes Plus namun yang ini rasanya tidak boleh dilewatkan
begitu saja. Begitu kita mendengar intronya, seakan secara spontan mengajak
kita untuk bangkit dari tempat duduk dan bergoyang mengikuti irama lagu. Bahkan
kalau perlu ikut bergumam “oh yeah..” sebagaimana diucapkan oleh sang vokalis.
Salah satu keunikan lagu ini yaitu adanya break pada akhir lagu. Pendengar yang
menganggap lagu ini usai tiba-tiba saja dikejutkan dengan munculnya lagi vokal
sang maestro melanjutkan sisa lagu yang masih belum rampung dibawakan.
Selanjutnya,
joget dan berbagai goyangan sementara waktu berhenti dulu. Seakan menyilakan
untuk kembali duduk, perasaan kita dihanyutkan melalui lagu “Tanpa Hati”.
Rasanya saya tidak perlu banyak berkomentar tentang lagu ini. Coba nikmati lagu
ini dalam sebuah kesunyian, ditemani cahaya lampu yang temaram. Kita akan
benar-benar mengerti pesan apa yang disampaikan oleh pembuat lagu ini. Sebuah
bunyian semacam suara saxophone akan mebuat perasaan kita ngelangut dan
melayang mundur mengingat masa-masa hidup yang pernah kita alami. Tapi kalau
kita mendengar sambil lalu saja, maka kedalaman lagu ini tidak akan pernah kita
nikmati. Mau bukti ? Coba putar lagu ini melalui sarana apa pun yang anda
miliki.
Segudang
pula tema malam minggu yang pernah dinyanyikan oleh Koes Plus, kali ini Yon
Koeswoyo melagukan “Minggu Malam”. Sebuah tema yang unik dan jarang sekali
diangkat. Kalau Hari Minggu pun juga sudah beberapa kali diangkat, namun lagu
tentang malam senin ya hanya sekali ini. Sebuah karya yang unik dan kreatif
walaupun isi lagu masih seputar tentang cinta anak manusia, sebagaimana
sebagian besar karya mereka.
“Di
Sepanjang Sungai Kecil” merupakan sebuah lagu yang terasa jazzy. Kita akan
dibawa pada sebuah pengalaman nge-jazz bersama Koes Bersaudara melalui lagu
yang sarat makna ini. drum yang dimainkan juga tidak banyak hentakan. Petikan
gitar muncul sesekali seperti nyelonong untuk memberi hiasan khas nuansa jazz.
Kita pun juga dibuat kagum dengan munculnya kembali suara saxophone yang
diyakini dimainkan sendiri oleh Tonny Koeswoyo. Asyik juga mendengarkan lagu
ini. sekali pun album Boleh Cinta Boleh Benci sepintas juga jazzy, namun
sebagian besar penggemar meyakini bahwa yang memainkan musik bukan Tonny
Koeswoyo karena tetulis iringan No Koes.
Tembang
selanjutnya yaitu “Kasihku” merupakan salah satu bukti kedewasaan dan
kematangan mereka sebagai seorang penyair yang berlagu. Ungkapan cinta yang
ditujukan pada seorang kekasih tidak lagi dibawakan secara spontan namun dengan
berbagai kata kiasan yang sarat makna namun tepat pada sasaran. Mau menyatakan
cinta pada pasangan melalui syair pada lagu ini ? kelihatannya cocok sekali.
Selain Doa Suciku, lagu ini juga memuat sebuah ungkapan doa untuk sang kekasih
tersayang. Lagu ini tidak bisa dikalahkan oleh karya musisi-musisi muda masa
kini yang cenderung vulgar dan tidak mengindahkan unsur keindahan kalimat dalam
pembuatan lagu bertemakan cinta.
Penutup
album ini yaitu “Harap Harap Cemas” yang seakan sengaja dipilih untuk
menetralkan perasaan yang dari beberapa lagu sebelumnya terbawa melankolis.
Lagu ini mengajak kita untuk kembali bergoyang walau sejenak. Sedikit
menggerakkan pinggang, bolehlah. Saya tidak tau, apakah frase “Harap Harap
Cemas” ini sudah populer sebelumnya ataukah Koes Bersaudara yang pertama kali
memperkenalkan, namun rasanya unik juga menyebutkan kata-kata ini. “Harap Harap
Cemas” sepertinya berpadanan dengan kata “Dheg Dheg Plas” yang pernah mereka
lontarkan belasan tahun sebelumnya. Bagi telinga saya pribadi,
mendengarkan interlude musik pada lagu ini sekilas seperti mendengarkan musik
pada parade marching band.
Sedikit
catatan tambahan pada album ini, album GPB sepertinya tidak lagi melibatkan
personel secara utuh pada penggarapan musik. Bahkan Yok Koeswoyo pun sepertinya
tidak ikut terlibat pada proses pembuatan album ini, mengingat beliau saat itu
fokus pada proyek solo album pertamanya yang bertajuk Nyanyian Hitam. Album ini
bisa diinterpretasikan sebagai proyek solo Tonny Koeswoyo. Solo di sini bukan
berarti beliau menyanyikan sendiri secara keseluruhan lagu-lagu yang ada. Namun
seluruh lagu pada album ini merupakan dominasi karya beliau. Bahkan seluruh
musik pada album ini tampaknya merupakan garapan beliau seorang diri. Walaupun
masih perlu diperkuat oleh analisis dan masukan dari pengamat musik Koes
Bersaudara & Koes Plus lain yang lebih senior.
Tak
ketinggalan pada desain cover album yang terlihat unik dan artistik.
Menggambarkan sepasang malaikat yang menaungi sebuah lilin dan tangan yang
terpasung. Mungkin artinya, sebuah harapan dan doa pada Tuhan Yang Maha Kuasa
di tengah hidup yang penuh tekanan dan situasi yang serba gelap tak menentu.
Sebagaimana yang mereka pernah alami di dalam bui.
Suatu
ketika dalam sebuah perjumpaan, kami sempat mengkonfirmasi tentang album ini
pada Nomo Koeswoyo. Namun sayang sekali, beliau tampaknya lupa akan
keberadaan album GPB yang fenomenal ini. Beliau sempat bergumam “ Saya kok
tidak diberi tau sama mas Ton ya kalau ada album ini..” Bahkan beliau
menduga bahwa album ini rilis pada tahun 1967 selepas dari penjara, mengingat
ada kata Glodok.
Demikian
yang dapat kami sampaikan mengenai catatan seputar album Glodok Plaza Biru.
Mohon maaf atas setiap rangkaian kata, kalimat maupun data yang kurang
berkenan. Jayalah selalu musik Indonesia.
(
Okky T. Rahardjo, penggemar Koes Bersaudara—085645705091 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar