Setiap jaga malam bersama pak Wawan seringkali merupakan sesuatu hal yang mengesankan bagi saya. Betapa tidak, seringkali beliau berkisah seputar kehidupan saat di kampung dulu. Pak Wawan ini merupakan pria asli Garut, Jawa Barat. Sudah sekian belas tahun merantau ke Jawa Timur yang akhirnya mendapatkan isteri seorang perempuan asal Tulungagung.
Dalam kesempatan jaga ini beliau mengisahkan seputar suasana lebaran saat beliau masih di kampung, yang begitu beda jauh dengan kondisi lebaran di Tulungagung tempat keluarga isterinya. Tentu bukan bermaksud diskriminatif beliau bertutur tentang perbedaan ini. Mungkin hanya sekedar mengenang masa silam semasa mudanya saja.
Ada beberapa hal perbedaan yang sepertinya itu membuat hati beliau berat untuk menghabiskan waktu liburan lebaran di kampung halaman mertuanya dalam waktu lama. Saat di Garut, usai menunaikan Sholat Ied sesama warga secara spontan langsung saling mengunjungi satu sama lain. Sekalipun masih mengenakan sarung, kaum pria tidak perlu berganti busana langsung bersilaturahmi sesama warga. Hal ini tidak ditemui oleh pria berusia empat puluh tujuh tahun ini saat berlebaran di Jawa Timur. Di Tulungagung, aktivitas silaturahmi dilakukan saat sore hari. Sementara pagi sampai siang kebanyakan keluarga hanya menghabiskan waktu santai di rumah.
Di Tulungagung, makanan yang ditemui seperti tidak ada beda dengan sehari-hari. Sementara di Garut, saat lebaran merupakan kesempatan untuk menikmati menu masakan yang istimewa. Dalam keluarga pak Wawan, sebenarnya terbilang mampu kalau membeli lauk daging seminggu sekali. Namun ayah beliau memberlakukan makan enak sekelas daging, hanya pada hari-hari istimewa terutama lebaran.
Berbicara mengenai makanan, kalau orang Garut atau orang Sunda pada umumnya ada kuliner khusus yang selalu ada di hampir setiap rumah pada saat lebaran. Kuliner ini pun seringkali diburu kalau kunjungan ke rumah warga untuk silaturahmi. Ada ketan hitam yang dibungkus daun, serta ada juga kacang goreng dalam wadah toples. Tak ketinggalan kuliner yang mudah ditemui hanya saat lebaran yaitu Mayang Mekar. Penganan yang dibuat dari tepung beras dan parutan kelapa ini tidak mudah dijumpai sehari-hari. Bahkan di rumah makan Sunda pun tak akan ada. Hanya saat lebaran Mekar Mayang ditemui di rumah warga, selain kedua kuliner lain yang disebutkan sebelumnya tadi.
Pak Wawan juga membedakan ketupat di Garut dan Jawa Timur. Ketupat di Jawa Timur kebanyakan dimasak menggunakan kompor gas, sehingga berdampak pada ketahananan ketupat yang hanya sebentar dan rasa makanannya tidak terlalu nikmat. Di Sunda, masak ketupat memerlukan bahan bakar api dan kayu supaya terkesan alami. Proses memasak pun membutuhkan waktu lama sekitar 5-6 jam. Oleh karena itu hasil ketupat terasa enak dan natural, ketahanan makanannya pun lebih lama hingga satu minggu masih terasa nikmat.
Lebaran di adat Sunda sudah bisa menikmati ketupat saat hari H, sementara di Jawa Timur masih menunggu sekitar satu minggu setelah hari raya Idul Fitri berlangsung. Perbedaan di sana-sini tentu bukan untuk memburukkan yang satu dan mengunggulkan yang lain. Namun dari sini saya boleh memahami beberapa hal tentang lebaran dalam sudut pandang masyarakat Sunda.
Hmm, benar tidak yang saya tulis di atas bolehlah kalau ada masukan. Sementara, bagaimana tradisi lebaran di tempat anda sendiri. Sepertinya seru juga kalau boleh saling mengenal kebiasaan masing-masing.
Selamat menyambut hari raya Idul Fitri. Tetap bahagia dan saling menjaga toleransi diantara kita. Mohon maaf lahir dan batin.
(Okky T. Rahardjo, 085645705091, D06F638E)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar