Kota Surabaya sangat beruntung
memiliki pernah melahirkan seorang pemain drum berbakat yang legendaris. Namanya
adalah Kasmuri atau yang biasa dikenal dengan nama Murry. Kalau nama ini sudah
disebut, pasti kita akan langsung mengarahkan ingatan pada grup musik Koes
Plus. Benar, Murry adalah salah seorang personel Koes Plus yang dilahirkan di
Surabaya pada 18 Juni 1949.
Pria kelahiran jl. Keraton ini
memang terlihat bakat bermain musiknya sejak usia sekolah menengah pertama. Saat
masih menempuh pendidikan di SMP Muhamadiyah, Murry di bawah asuhan guru
keseniannya yaitu bpk Sayuti, membentuk band bocah untuk mewadahi bakat seninya
yang sudah mulai muncul. Dalam beberapa kali kesempatan, Murry sering unjuk
kebolehan dengan beraktraksi bermain drum dengan mata tertutup. Pendek kata, saat
itu Murry merupakan salah seorang pemain drum yang patut diperhitungkan di kota
Surabaya.
Pada tahun 1968, Murry bergabung
bersama Tonny Koeswoyo dan Yon Koeswoyo untuk membentuk sebuah grup musik Koes
Plus, sebagai pengganti Koes Bersaudara. Bersama pemain bass yang juga
kelahiran kota Surabaya yaitu Toto AR, mereka melahirkan rekaman perdana yang
bertajuk Dheg-Dheg Plas. Di kemudian hari, album ini sering disebut sebagai
album Koes Plus volume 1.
Murry sebagai musisi termasuk
seorang yang terbuka. Karya-karyanya tidak hanya dinyanyikan oleh personel Koes
Plus, namun juga dibawakan oleh artis lain. Edy Silitonga, Titiek Sandhora, Amy
Belinda, Yayuk Suseno dan Nia Zulkarnaen
termasuk yang pernah meraih sukses berkat polesan tangan dingin beliau. Pada tahun
1977, Murry sempat memisahkan diri dari Koes Plus membentuk Murry’s Group bersama
personel Yeah-Yeah Boys, grup band yang juga berasal dari kota Surabaya.
Murry ditemani Pius, Uki dan Hari
berhasil melahirkan sejumlah hits yang cukup mewarnai dunia musik Indonesia
masa itu. Murry’s Group menelorkan lagu-lagu berirama rock ‘n roll macam Papiku
Mamiku, Besi Tua dan Palapa. Bahkan sebuah lagu yang cukup menyayat hati
sebagai tanda perpisahan yaitu Selamat
Tinggal Saudaraku sempat popular di radio-radio masa itu.
Sebagai musisi kelahiran kota
Surabaya, Murry juga memiliki kepedulian dengan kampung halamannya melalui
beberapa lagu yang diciptakannya. Pop Jawa merupakan sarana Murry untuk
berekspresi dengan gaya suroboyoan. Bila dalam album jawa Koes Plus lagu yang
beliau hasilkan terkesan hati-hati menggunakan bahasa yang halus, saat bersama
Murrys group gaya Suroboyoannya terasa kental diucapkan.
Simak saja syair lagu berikut :
“Bulane padhange koyo rino,
yo’ konco rame-rame suko-suko
Yo’ podho ndeleng ludruk suroboyo…”
Pada
lagu yang berjudul jula-juli suroboyo itu Murry memasukkan kidungan suroboyo
yang dimainkan oleh seorang pemain tambahan. Lagu ini mengingatkan akan
kesenian asli masyarakat Surabaya yaitu ludruk. Murry benar-benar memainkan
dirinya sebagai sosok seniman yang tidak lupa akan asalnya. Kacang tidak akan
meninggalkan kulitnya. Beberapa lagu lain yang dinyanyikan oleh Murrys group
juga menunjukkan bahwa mereka solid sebagai seniman asal Surabaya walaupun
eksis di ibu kota. Hal ini bisa dibuktikan ketika kita mendengarkan Konco
Becaan, Jo Bowo Jo Miling, Eh Ya Ya Oh dan Jok Rerasan.
Saat
ini menjelang usia kota Surabaya ke-720, kita merindukan sosok seperti Murry
yang berani menunjukkan ciri khas lokal walaupun sudah melangkah sukses di ibu
kota Jakarta. Murry adalah sosok seniman yang membanggakan kota Surabaya dengan
sosoknya yang sederhana itu.
Pengagum Fuad Hasan dan Ringo Star yang besar di
jl. Genteng Butulan itu kini tetap berusaha eksis sebagai musisi walaupun
usianya sudah tidak mudah lagi. Sosok semangatnya yang merupakan jiwa Surabaya itu
menjadi cermin bagi musisi generasi selanjutnya.
Suwun
Cak Murry, tetap sehat dan terus berkarya.
(
Okky T. Rahardjo, penggemar Murry dari Surabaya-085645705091 )