Siapakah
Murry ? Bila hal itu ditanyakan pada anak muda sekarang ini, saya yakin banyak
yang akan mengernyitkan dahi. Nama ini rasanya terdengar asing bagi telinga
anak gaul era millenium apalagi bagi mereka yang mengaku sebagai anak band.
Sosoknya sebagai pemain drum tampaknya mulai tergerus oleh arus gobalisasi yang
menerpa siapa pun tanpa ampun. Kebanyakan musisi muda sekarang lebih bangga
mengenal pemain drum luar negeri dari pada musisi lokal.
Keberadaannya
yang jarang dikenal itulah yang membuat dirinya tenggelam dalam sebuah figur kesahajaan.
Murry dalam pengabdiannya sebagai seorang seniman tampaknya tidak mau neko-neko
dalam menjalani hidup. Hal ini tampak ketika Koes Plus, grup yang membesarkan
namanya dan yang turut dia besarkan pula, harus mengalami masa-masa kritis
akibat tergerus oleh arus penyanyi-penyanyi solo masa itu. Murry tetap bergulat
dengan segala kemampuannya untuk tetap eksis di dunia musik.
Siapa
sangka, seorang Murry yang adalah musisi terkenal dari sebuah band beraliran
pop harus banting setir menyanyikan lagu-lagu dangdut. Pada tahun 1980, kala
Koes Plus sedang bergelut untuk tetap eksis di dunia hiburan, Murry mencoba
peruntungan dengan merekam suaranya dalam sebuah album dangdut. Dengan dibantu
oleh Pius, rekan sesama personel Murrys Group masa silam, Murry mengeluarkan
sebuah album bertajuk Lenggak-Lenggok.
Jangan
dibayangkan bahwa musiknya mirip dengan Koes Plus, album ini memang merupakan
full dangdut karena diiringi oleh grup orkes melayu. Saat itu Murry seakan
melawan arus musik komersil masa itu. Namun nalurinya sebagai seorang seniman
yang bebas mengeluarkan ekspresi membuat dia tidak segan mengumandangkan
suaranya dalam musik yang mengajak joget itu.
Tentu
bukan bermaksud untuk mengkhianati ketiga rekannya yang lain, manakala dia
merekam album dangdut secara solo karier. Tuntutan hidup sebagai seorang kepala
keluarga tentu tidak bisa dihindari yang mebuat dia harus berkarya saat itu.
Toh, tampaknya sang pemimpin grup yaitu Tonny Koeswoyo mengijinkan ketiga
personel lainnya untuk berkreasi di luar Koes Plus. Tonny paham bahwa sebagai
musisi mereka tentu memiliki selera yang lain yang tidak bisa dituangkan dalam
grup Koes Plus. bagi seniman, kebebasan untuk mengeluarkan ekspresi merupakan
sebuah kemewahan tersendiri. Walaupun tentu tidak akan meninggalkan kebersamaan
mereka sebagai sebuah keutuhan dalam band yang bernama Koes Plus.
Murry
yang di kalangan artis dikenal sebagai seorang yang sedikit bicara namun banyak
bekerja itu, seakan tidak mau diam dalam kiprahnya sebagai seorang musisi.
Setahun berikutnya yaitu pada bulan Desember 1981, kembali sebuah album dangdut
dirilisnya dengan judul “Non Stop Disco
Dangdut”. Di mana pada album ini kita akan menjumpai lagu-lagu Koes Plus ciptaan
Murry yang beriramakan dangdut atau pop melayu. Pada langkah kali ini dia
bekerja sama dengan Ucok Surodipuro yang sebelumnya sukses memoles aransemen
lagu-lagu Koes Plus secara medley.
Selanjutnya
kita tidak banyak mendengarkan kiprah Murry benar-benar meledak dalam karya
lagunya sebagaimana yang pernah terjadi pada dasawarsa ‘70an. Hanya sesekali
dia muncul bersama Koes Plus dalam rekaman terbaru yang tidak begitu banyak
ditanggapi dengan antusias oleh penikmat musik Indonesia masa itu. Hanya saja
penggemarnya sesekali masih berusaha mengikuti kemunculan album baru grup musik
senior ini. Bahkan konon beberapa album Koes Plus era ‘80an sudah tidak lagi
diisi oleh gebukan drumnya lagi. Sekalipun wajahnya masih tampak dalam acting
promo album di stasiun televisi kala itu.
Murry
pada era ‘80an selanjutnya lebih banyak tampil di belakang layar sebagai penemu
bakat penyanyi-penyanyi baru. Tersebutlah nama Yayuk Suseno yang saat itu
sukses dibesut oleh Murry lewat rekaman album yang berjudul “Telaga Biru” atau “Cinta dan Sepeda Kumbang”. Begitu juga ketika dia menemukan
beberapa artis pendatang baru yang lain macam Lira Rosdiana, Tetty Damayanti,
dan Lies Aksmy. Nama lain yang juga cukup dikenal yaitu Nia Zulkarnaen yang
juga sukses dibimbing Murry dalam berolah vokal. Public pun juga sempat
dikejutkan manakala Murry muncul dengan seorang artis baru yaitu Army Bellinda
menyanyikan sebuah lagu dangdut jenaka berjudul “Garuk-Garuk Kepala”.
Saat
itu arus musik Indonesia
memang sedang berpihak pada genre dangdut, selain pop melankolis yang juga
sedang digemari masyarakat kala itu. Di sini terletak kejelian seorang Murry
sebagai seniman yang mampu menangkap pasar. Biasanya Murry menggembleng
penyanyi pendatang baru itu selama dua atau tiga bulan sebelum akhirnya
digiring menuju dapur rekaman. Sehingga kualitas yang dihasilkan benar-benar
tidak mengecewakan. Sekalipun dangdut, boleh dibilang bukan dangdut kualitas
rendah. Mohon beribu maaf, tidak seperti sekarang yang asal berwajah cantik,
bertubuh menarik dan penampilan menggoda maka berhak menyandang sebutan sebagai
penyanyi dangdut.
Mungkin
sebagian besar dari kita sempat memiliki asumsi bahwa Murry dan Nomo Koeswoyo
terlibat persaingan yang ketat bahkan cenderung “bermusuhan”. Kita akan dibuat
terheran bahwa ada salah satu album Chicha Koeswoyo, yang notabene adalah putri
pertama Nomo, yang aransemen musiknya digarap oleh Murry. Bahkan dia juga ikut
andil menciptakan beberapa lagu di album tersebut. Album apakah itu ? Ah, coba cari
sendirilah…hehehe.
Masih
meremehkan Murry ? Dia memang merupakan salah satu sosok pria terkenal yang
tidak mau mengumbar popularitasnya. Kala Koes Plus benar-benar mati suri, sejak
Tonny Koeswoyo meninggal dunia, Murry sempat ditawari untuk mcenjadi pelatih
drum di sebuah sekolah musik. Namun tawaran itu ditolaknya. Dia tidak suka
hidup dengan rutinitas yang mengikat. Bila tidak ada lagi kesibukan di dunia
musik, dia akan segera pergi menyalurkan hobbynya mencari batu permata. Untuk
urusan ini dia sering bekerja sama dengan Johny Indo dan Robby Sugara.
Kadang
juga dia meladeni hobbynya yang lain yaitu memancing. Kalau soal yang ini dia
lebih banyak berurusan dengan Yok Koeswoyo. Sahabat karibnya dalam Koes Plus.
Kalau sudah memancing, seakan tidak i8ngat waktu. Berbagai tempat pun pernah
mereka kunjungi. Memancing ini murni hobby, sehingga ketika dia pulang membawa
banyak ikan, segera dia bagikan kepada tetangga sekitar rumahnya.
Masih
mau memandang sebelah mata ? Tidak ada yang menyangka bahwa salah seorang
pemain drum kaliber dunia yang berasal dari Jepang yaitu Mr. Akira Jimbo dari
grup Casiopea, saat pertama datang ke Java Jazz Festival yang dicari pertama
kali adalah Murry. Ketika itu sekitar tahun 1997, saat sesi klinik drum, Akira
bertanya pada Gilang Ramadhan sebagai wakil dari Indonesia mengenai sosok Murry.
Saying sekali saat itu Gilang tidak bisa menjawab. Sehingga Akira tidak
berhasil bertemu pemain drum idolanya itu.
Saat
ini di usia yang terbilang senja, Murry masih mencoba eksis di dunia musik
dengan gayanya sendiri. Beberapa kali even jumpa penggemar dia hadiri sebagai
pengobat rindu dirinya dengan fans yang mengaguminya. Kemampuannya bermain drum
memang makin merosot seiring usia yang makin mengejar. Namun guratan
keperkasaan itu tampak masih tersisa kala dia diberi kesempatan duduk di
belakang set drum yang pernah menjadi kebanggaannya dulu.
Hari
ini, saat usia mu menginjak enam puluh empat tahun, saat orang-orang menyandang
predikat tua, tanpa terasa engkau telah melintasi berbagai kerikil tajam
perjalanan hidup seorang anak manusia. Pahit manisnya ketenaran pernah engkau
cicipi di dunia yang fana ini. Tidak ada kata lain yang pantas selain ucapan
selamat meraih usia mu yang baru, pak Murry…tetap sehat dan jangan pernah lelah
untuk berkarya. Kami semua penggemarmu, akan selalu merindukanmu.
Demikian
yang dapat kami sajikan mengenai sosok seorang Murry. Mohon maaf atas segala
kesalahan dalam rangkaian kata dan kalimat. Terima kasih atas perhatiannya.
Jayalah selalu musik Indonesia.
(
Okky T. Rahardjo, penggemar Murry dari Surabaya—085645705091
)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar