Jumat, 30 Januari 2015

Kenangan di RSUD Dr. Soedono Madiun (9) : Nasi Pecel Depan Rumah Sakit



Para pasien anak memang mendapatkan jatah makan setiap hari sebanyak tiga kali dari pihak rumah sakit. Namun bagaimana dengan nasib para orang tua dalam mengurus problem “kampung tengah” mereka masing-masing ?. Bagi yang mendampingi pasien rawat inap selama beberapa hari tentu hal ini membutuhkan kreativitas masing-masing demi mendapatkan jalan keluar untuk mengatasi orkes keroncongan di dalam perut ini.

Bila siang menjelang mungkin urusan makan tidak begitu menjadi persoalan. Kiriman konsumsi dari pihak keluarga atau pun pembesuk menjadi hiburan tersendiri di kala menjalankan program penghematan biaya. Demikian juga kalau malam, sepanjang jalan depan rumahs akit menawarkan banyak menu beraneka ragam. Jl. Dr. Soetomo Madiun memang merupakan salah satu jalan protokol yang tentu menjadi jujukan para pedagang kuliner. Apalagi menyambung lurus ke depan terdapat stasiun besar Kota Madiun yang tentu memudahkan akses untuk mencari makanan pengganjal perut di kala malam hari.

Namun bagaimana ketika pagi hari harus mencari makanan untuk sarapan ?. Satu-satunya jujukan bagi penunggu pasien rawat inap adalah penjual nasi pecel yang duduk berjajar di sepanjang trotoar depan rumah sakit. Memang kala pagi hari tidak terlalu banyak ragam kuliner yang bisa ditemukan di area sekitar rumah sakit milik pemerintah provinsi Jawa Timur ini. Madiun yang terkenal sebagai kota pecel membuktikan bahwa sepagi itu hanya makanan yang berkombinasi sayur dan sambal itu yang akan mudah ditemukan. Mau tidak mau keluarga penunggu pasien akan menjadikan nasi pecel ini sebagai rujukan utama bagi sarapan paginya.

Saat pagi sudah menjelang, sekitar pkl. 04.30 sudah dapat kita jumpai berderet ibu-ibu tua penjual nasi pecel di depan rumah sakit ini. Mereka berjualan dengan bermodalkan dua buah meja kecil sebagai penopang barang dagangan. Selain sayuran dan sambal yang menjadi muatan utama sajian ini, terdapat juga berbagai lauk yang dapat dinikmati sesuai selera. Tempe goring, telur ceplok, ayam goreng, ati dan ampla serta berbagai kerupuk atau rempeyek sebagai pendamping. Semua bisa kita pilih dengan perbedaan harga pada masing-masing lauk yang dipilih. Sementara pembeli yang makan di tempat disediakan tikar sebagai alas duduk sekedarnya. Minuman yang bisa dipesan teh atau kopi hangat mampu menyemarakkan acara sarapan sepagi itu di pinggir jalan yang masih sepi.

Setiap pagi sekitar tiga atau empat pedagang nasi pecel mengadu nasib dengan berjualan di depan rumah sakit terbesar di kota Madiun ini. Mereka berjualan dengan saling toleransi. Tidak ada ritme persaingan sebagaimana irama hidup di Kota Madiun yang menyajikan ketenangan. Satu dengan lainnya berusaha melayani pelanggan dengan sebaik mungkin. Bila di satu tempat terlihat ramai pembeli, maka pihak yang satu akan menyediakan diri untuk menampung. Menu yang disediakan rata-rata sama antara satu penjual dengan lainnya. Sesekali penjual kue bersepeda ikut menimbrung menawarkan dagangannya sebagai alternatif pencuci mulut sesudah sarapan. Menjelang pkl. 07.00 para pedagang nasi pecel ini akan segera membereskan dagangannya. Entah sudah kesepakatan atau memang peraturan, setelah pkl. 07.00, kita tidak akan menjumpai mereka berjualan di trotoar depan rumah sakit lagi.

Selama beberapa hari mendampingi rawat inap di sini, ayah juga termasuk pembeli setia nasi pecel ini di kala pagi hari. Pada awalnya memang menikmati sajian pecel asli Madiun ini, namun hari berikutnya setengah terpaksa karena memang tidak ada penjual makanan lain yang tersedia sepagi itu. Harga yang ditawarkan relatif terjangkau sesuai menu yang dipilih. Pada hari pertama ayah mencoba membeli nasi pecel dengan lauk ayam goreng sebanyak dua bungkus. Ternyata oleh penjual dihargai masing-masing sebesar sepuluh ribu rupiah. Ketika keesokan hari berganti dengan telur ceplok maka harga yang dipatok perkemasan hanya enam ribu rupiah.

Namun harus diakui bahwa penjual nasi pecel ini tanggap terhadap kebutuhan pembelinya. Bila ada yang menghendaki untuk membeli dengan cara dibungkus mereka juga menyediakan sendok plastik sehingga pembeli tidak kesulitan menikmati makanan khas Jawa Timur ini. Selain itu mereka juga terkenal murah hati dibandingkan penjual nasi goreng yang berdagang pada malam harinya. Bila kita membeli nasi pecel tanpa nasi, kita masih bisa dilayani dengan baik. Lain halnya dengan penjual nasi goreng, bila kita membeli tanpa pakai nasi mereka biasanya marah-marah dan memasang muka cemberut. Duh,


( Okky T. Rahardjo, 085645705091, okkie_rahardjo@yahoo.com, 518CC94A )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar