Para
pasien anak memang mendapatkan jatah makan setiap hari sebanyak tiga kali dari
pihak rumah sakit. Namun bagaimana dengan nasib para orang tua dalam mengurus
problem “kampung tengah” mereka masing-masing ?. Bagi yang mendampingi pasien
rawat inap selama beberapa hari tentu hal ini membutuhkan kreativitas
masing-masing demi mendapatkan jalan keluar untuk mengatasi orkes keroncongan
di dalam perut ini.
Bila
siang menjelang mungkin urusan makan tidak begitu menjadi persoalan. Kiriman
konsumsi dari pihak keluarga atau pun pembesuk menjadi hiburan tersendiri di
kala menjalankan program penghematan biaya. Demikian juga kalau malam,
sepanjang jalan depan rumahs akit menawarkan banyak menu beraneka ragam. Jl.
Dr. Soetomo Madiun memang merupakan salah satu jalan protokol yang tentu
menjadi jujukan para pedagang kuliner. Apalagi menyambung lurus ke depan
terdapat stasiun besar Kota Madiun yang tentu memudahkan akses untuk mencari
makanan pengganjal perut di kala malam hari.
Namun
bagaimana ketika pagi hari harus mencari makanan untuk sarapan ?. Satu-satunya
jujukan bagi penunggu pasien rawat inap adalah penjual nasi pecel yang duduk
berjajar di sepanjang trotoar depan rumah sakit. Memang kala pagi hari tidak
terlalu banyak ragam kuliner yang bisa ditemukan di area sekitar rumah sakit
milik pemerintah provinsi Jawa Timur ini. Madiun yang terkenal sebagai kota
pecel membuktikan bahwa sepagi itu hanya makanan yang berkombinasi sayur dan
sambal itu yang akan mudah ditemukan. Mau tidak mau keluarga penunggu pasien
akan menjadikan nasi pecel ini sebagai rujukan utama bagi sarapan paginya.
Saat
pagi sudah menjelang, sekitar pkl. 04.30 sudah dapat kita jumpai berderet
ibu-ibu tua penjual nasi pecel di depan rumah sakit ini. Mereka berjualan
dengan bermodalkan dua buah meja kecil sebagai penopang barang dagangan. Selain
sayuran dan sambal yang menjadi muatan utama sajian ini, terdapat juga berbagai
lauk yang dapat dinikmati sesuai selera. Tempe goring, telur ceplok, ayam
goreng, ati dan ampla serta berbagai kerupuk atau rempeyek sebagai pendamping.
Semua bisa kita pilih dengan perbedaan harga pada masing-masing lauk yang
dipilih. Sementara pembeli yang makan di tempat disediakan tikar sebagai alas
duduk sekedarnya. Minuman yang bisa dipesan teh atau kopi hangat mampu
menyemarakkan acara sarapan sepagi itu di pinggir jalan yang masih sepi.
Setiap
pagi sekitar tiga atau empat pedagang nasi pecel mengadu nasib dengan berjualan
di depan rumah sakit terbesar di kota Madiun ini. Mereka berjualan dengan
saling toleransi. Tidak ada ritme persaingan sebagaimana irama hidup di Kota
Madiun yang menyajikan ketenangan. Satu dengan lainnya berusaha melayani
pelanggan dengan sebaik mungkin. Bila di satu tempat terlihat ramai pembeli,
maka pihak yang satu akan menyediakan diri untuk menampung. Menu yang
disediakan rata-rata sama antara satu penjual dengan lainnya. Sesekali penjual
kue bersepeda ikut menimbrung menawarkan dagangannya sebagai alternatif pencuci
mulut sesudah sarapan. Menjelang pkl. 07.00 para pedagang nasi pecel ini akan
segera membereskan dagangannya. Entah sudah kesepakatan atau memang peraturan,
setelah pkl. 07.00, kita tidak akan menjumpai mereka berjualan di trotoar depan
rumah sakit lagi.
Selama
beberapa hari mendampingi rawat inap di sini, ayah juga termasuk pembeli setia
nasi pecel ini di kala pagi hari. Pada awalnya memang menikmati sajian pecel
asli Madiun ini, namun hari berikutnya setengah terpaksa karena memang tidak
ada penjual makanan lain yang tersedia sepagi itu. Harga yang ditawarkan
relatif terjangkau sesuai menu yang dipilih. Pada hari pertama ayah mencoba
membeli nasi pecel dengan lauk ayam goreng sebanyak dua bungkus. Ternyata oleh
penjual dihargai masing-masing sebesar sepuluh ribu rupiah. Ketika keesokan
hari berganti dengan telur ceplok maka harga yang dipatok perkemasan hanya enam
ribu rupiah.
Namun
harus diakui bahwa penjual nasi pecel ini tanggap terhadap kebutuhan
pembelinya. Bila ada yang menghendaki untuk membeli dengan cara dibungkus
mereka juga menyediakan sendok plastik sehingga pembeli tidak kesulitan
menikmati makanan khas Jawa Timur ini. Selain itu mereka juga terkenal murah
hati dibandingkan penjual nasi goreng yang berdagang pada malam harinya. Bila
kita membeli nasi pecel tanpa nasi, kita masih bisa dilayani dengan baik. Lain
halnya dengan penjual nasi goreng, bila kita membeli tanpa pakai nasi mereka
biasanya marah-marah dan memasang muka cemberut. Duh,
(
Okky T. Rahardjo, 085645705091, okkie_rahardjo@yahoo.com,
518CC94A )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar